PUTRA HARAPAN BANGSAT

Orang-orang meninggalkan makam setelah acara prosesi pemakaman Jamidi selesai. Nazar masih berdiam diri, bersimpuh di atas pusara ayahnya. Suasana sepi menyelimuti dirinya karena tak ada lagi orang di situ. Hanya gadesu angin dan nyanyian burung-burung hantu yang sekilas terdengar.
Dia elus-elus batu nisan ayahnya itu. Mungkin dia sedang membayangkan kesempatan bertaruhan bersama ayahnya; tapi kini sudah mati. Harapan satu-satunya yang tersisa. Begitu sangat disesali olehnya.
“Pak…Pak…” Nazar memanggil ayahnya sambil memegang nisan. “kuwe ape tak ajak totohan kok wes mati disik? 1”

Nazar masih ingin berlama-lama di sana. Kembali dia tata duduknya agar lebih nyaman. Dia sulut rokok. “Kepuuuul !!!” kepulan asap memenuhi mulutnya. Asap melayang di udara bersama angin melaju ke udara, dan hilang entah kemana. Pun fikiran Nazar waktu itu.

**

“ Le2, cepat tobat ” pinta ibu melas. “sawah di belakang rumah sudah kita jual untuk kamu. Itu warisan satu-satunya” keluh ibu Nazar sambil meniup api ditungku.
“Alah mbok3, jangan mengeluh terus. Besok aku ganti kalau sampean merasa aku rugikan mbok!” jawab nazar dengan nada tinggi.
“Bukan gitu le, apa kamu gak malu sama anak muda tetangga yang sudah sama kerja. Daftar jadi pekerja srawutan di perusahaan minyak di kampong tetangga itu, Lumayan kan, meskipun bayaran rendah tapi gak kelihatan nganggur” nasihat ibu pada Nazar.
“Alah mbok, mana bisa aku masuk perusahaan itu. Lha wong aku gak punya ijazah” jawab Nazar sambil menyisir rambutnya di depan kaca. “ah, aku mau keluar, pusing aku di rumah” Nazar ngluyur tanpa perasaan salah.

***

Hampir semua orang yang ada di warung menolak tawarannya.
 “hai bro, nanti malam final MU musuh Barcelona. Aku pegang Barca. Kuwe wani opo ora?4” kata Nazar kepada orang yang duduk di sampingnya, di warung kopi Mbak Ria.
“Aku ora wani bos5” kata orang yang ada di sampingnya tadi.
Dan tak ada satupun orang yang mengiyakan tawarannya. Ia tawarkan tawaran itu pada semua orang yang duduk di warung kopi itu. Sampai menjelang tengah malam ia duduk di depan warung itu.
“hai, yuk taruhan” teriaknya kepada seseorang yang kebetulan lewat di depannya .
Ternyata tak ada seorang pun.
“hai…siapa yang berani…..”  suaranya menggema di riuh malam yang semakin pekat.

****
Dengan wajah membawa sejuta beban, Nazar menyeret kakinya pulang ke rumah dengan membawa satu harapan, bapaknya mau ia ajak taruhan. Bapaknya itu yang selalu menuruti keinginannya sejak kecil. Mungkin karena inilah dia selalu bergantung pada orang tuanya. Sampai ayahnya pernah menjual tanah yang diwariskan kepadanya hanya untuk membeli handphone keinginan anak satu-satunya itu. Sampai usia 30 warsa ini, Nazar juga masih meminta uang pada orang tuanya untuk memenuhi keinginannya.
Dari kejauhan, dilihatnya ada orang banyak berkumpul di depan rumahnya. Seketika wajahnya yang pucat berubah menjadi semakin cerah dihinggapi berjuta harapan lagi.
“wah…! Ternyata masih ada kesempatan” dia menepukkan telapak tangannya satu kali. “Plaaakkk”
Nazar mempercepat langkahnya agar cepat sampai rumah.

*****
“Hai pak Karwo, apa sampean berani…..” suaranya terhenti sekita ketika melihat orang membujur diselimuti dengan kain batik-batik. “Itu siapa?”tanya Nazar kepada Pak Karwo.
“lha sampean itu dari mana aja to le” jawab Pak Karwo sambil memegangi pundak Nazar. “Kamu tadi sudah dipanggil-panggil lewat speaker masjid. Semua orang cari kamu. Tapi gak ketemu” lanjut Pak Karwo sambil menatap wajah Nazar.
“Emang ada apa?” perasaan Nazar sudah tak enak.
“Bapakmu meninggal habis pulang dari sawah tadi” Pak Karwo menundukkan kepala karena takut melihat kesedihan yang akan hinggap di wajah Nazar.
“Oo…gitu to. Sssssttt! Ngomong-ngomong tadi gimana?” bisik Nazar di dekat kuping Pak Karwo.
“Apa? Kronologi matinya maksudmu?”terpaksa Pak Karwo mengangkat kepalanya lagi.
“Bukan” suaranya pelan.
“Terus?” Pak Karwo mengernyitkan keningnya.
“Taruhan. Berani gak?” mata Nazar melirik kanan kiri, memastikan tak ada yang mendengar.
“haaaa….??” Pak Karwo tertegun, mata membelalak kaget.

OLEH: Moh. Haris Suhud
Malang, 11 Juli 2011
Arti kata;
  1. Mau tak ajak taruhan kok mati duluan.
  2. Panggilan untuk anak kecil cowok (berasal dari kata “kontole”). [Jawa]
  3. Panggilan untuk ibu. [jawa]
  4. Kamu berani apa tidak?
  5. Aku tidak berani.

0 Comments