SULUK ADOLESEN

Sudah sekian lama ia merenung, menenggelamkan diri dalam kamar. Sebenarnya, ia adalah orang periang, kemudian ia kehilangan senyumnya sejak ia kehilangan wanita yang ia cinta.
            Sudah empat tahun, ia menjalin hubungan cinta dengan kekasihnya, tapi hubungan itu harus kandas di tengah jalan karena wanita pujaan hatinya berpaling pada orang ketiga yang sudah lama mendekatinya. Kekasihnya pergi, ia sakit hati. Amuk badai kesedihan di hati menggiringnya ke dalam lembah sepi, menenggelamkan dalam kesunyian  tak bertepi. Begitulah cara cinta menyakiti. Bagaimanapun, cinta adalah jalan yang licin untuk dilewati. Orang yang terjatuh di jalan cinta bisa mengalami kelumpuhan hingga tak mampu berdiri kembali.
            Ia hidup seperti bulan kehilangan cahaya matahari, matanya redup tak mampu bersinar. Ada tapi seperti tak ada. Jiwanya kosong. Ia lebih banyak menyelam dalam lautan kesunyian, berombak air mata yang menyeretnya jauh ke tengah luas samudera papa. Semakin jauh ia terhembas oleh badai air mata kehilangan hingga ia tak memikirkan nasib kuliahnya, di jurusan sastra. 



            Jika di dalam kelas, yang ada dalam otaknya hanya banyangan-bayangan tentang dia, tentang masa indah bersamanya, tentang rasa sakit karenanya. Semuanya melebur menjadi satu, menjadikan hati dan otak kalut tak karuhan.

            “Siapakah tokoh teori psychoanalysis, Rama?” tanya dosen padanya di dalam kelas, pagi itu.

            “Friska, Pak” Jawabnya gagap sebab terkejut dari lamunanannya. 

            Gelagak tawa teman-temannya menjadikan ia malu karena  jawaban spontannya itu. 

           “Rama…!!!” bentak dosennya, “jangan membuat lelucon di kelas ini” dosen itu berjalan menuju kursi tempat ia duduk.

            “Maksud saya, Sigmund Freud, Pak” raut wajahnya tegang sambil membetulkan duduknya.

            “Apa yang kamu tahu tentang teori itu?”

            “Emmm…bahwa tindakan-tindakan kita tidak selalu dituntun oleh akal” ia diam sejenak menggali ingatan di otaknya.

            “Ya, lalu?”

            “Tindakan kita adalah manifestasi dari kenangan yang kita simpan dalam bawah alam sadar sejak masa kecil.”

            “Berikan contoh!” dosen itu kembali berjalan menuju ke tempat duduknya di depan.

            Ia memeras otak untuk mencari contoh, ia teringat kejadian barusan yang terjadi pada dirinya. “Tindakan saya ketika mengatakan ‘Friska’ tadi, Pak. Itu adalah alam bawah sadar saya yang berbicara berdasarkan pengalaman-pengalaman pribadi saya di masa lalu.” sekali lagi, seluruh kelas menertawakannya.

            Lama kelamaan dia semakin tak betah belajar dalam kelas. Sebab, saat dalam kelas ia jarang sekali konsen pada penjelasan dosen. Dia lebih sering merenungkan tentang wanita yang telah meninggalkannya, kemudian ia sering mendapat semprot dari dosen karena dia selalu menjawab dengan jawaban-jawaban konyol saat ditanya.

            Akhirnya, ia meninggalkan kuliah. Orang tuanya menerima surat pemberitahuan ‘drop out’ untuknya karena telah meninggalkan kuliah selama satu semester penuh tanpa kabar yang jelas.

 Dia malu karena kegagalannya di kampus itu$2C kemudian ia melarikan diri dari rumah tanpa pamit. Dia merasa telah mengecewakan orang tuanya. Karena orang tuanya telah memeras keringat hanya untuk melanjutkan sekolahnya di perguruan tinggi yang cukup punya nama.

            Kini, sudah sekian lama ia menempuh perjalanan semenjak pelariannya dari rumah beberapa waktu silam. Akhirnya ia tinggal di sebuah  kampung yang belum pernah ia kunjungi, jauh ke arah selatan dari rumahnya. Ia tak pernah menghubungi orang tua agar keberadaannya tidak diketahui oleh mereka. Ia tak pernah memikirkan, apakah keluarganya mencari atau membiarkannya. Ia hanya ingin melarikan diri karena rasa malu yang mendalam pada mereka. Karena sebenarnya, dia adalah anak yang sangat diharapkan; dia adalah anak laki satu-satunya dari dua bersaudara. Kakak perempuannya sudah menikah dan tinggal di rumah suaminya.

 Di kampung tersebut ia tidak punya tempat tinggal, ia gunakan pos kampling di kampung itu sebagai tempat tidurnya setiap malam, yang kebetulan tidak dimanfaatkan oleh warga.

            Untuk memenuhi kebutuhan makan, ia menjadi pekerja panggilan di toko yang berada di sebelah pos kampling. Setiap hari ia diberi pekerjaan menurunkan barang-barang kiriman dari truk dengan bayaran 20 ribu setelah selesai menurunkan semua barang dari bak truk itu. Waktu dia bekerja hanya beberapa jam saja, sesuai jumlah muatan barang yang diangkut.

***
Dengan kening mengerut, ia mengamati kartu yang ia pegang di pangkuan jemarinya. Ia nampak memikirkan sesuatu dengan amat mendalam saat memandang gambar yang berbeda-beda di setiap kartu yang berjejer di depan matanya. 

Meski jumlah kartu selalu sama, yakni berjumlah 52 tanpa kartu joker, yang dibagikan kepada empat pemain yang sedang duduk membentuk sebuah lingkaran di pos kampling itu, tapi kartu itu sanggup memberikan harapan kemenangan. Ya, selalu memberi sebuah harapan kemenangan. 

Pesan yang ditangkap dari kartu itu sangat berbeda dengan kehidupannya. Rangkaian hari yang berjumlah tujuh yang ia jalani, ternyata tak sekalipun pernah memberi harapan kepadanya. Dia hanya merasakan bahwa hari-harinya, akhir-akhir ini, hanya seperti angin yang berhembus; datang dan pergi, begitu seterusnya. Karena ia tak pernah menanam suatu pengharapan di hari depan.

Terbesit di otaknya, untuk menjadikan hari yang ia jalani memiliki makna dan harapan—bukan hanya datang dan pergi—agar hidup yang dijalani lebih menggairahkan dari pada hanya berjalan seperti di kehampaan, seperti sekarang ini. 

Tapi, menjadikan hidup bergairah hanya menjadi semacam bunga tidur untuknya saat ini. Sangat berbeda ketika ia masih memiliki segalanya; keluarga, cinta, dan pendidikan. Hari-hari yang ia lewati sekarang hanya seperti angin sepoi yang membelai ujung rambutnya, lalu pergi entah kemana. Ia bahkan tak peduli dengan nama-nama hari dan urutannya, yang ia tahu hanya kemarin, sekarang, dan esok; tak ada pelajaran di hari kemarin, tak ada yang istimewa hari ini, tak ada harapan esok hari. Biasa saja, tanpa impian.

Harapan, adalah semacam hiburan untuk menyambut hari mendatang. Orang tanpa harapan akan merasakan kehampaan yang pekat dalam gerbong waktu yang membawanya pergi dalam perjalanannya melalui hari-hari yang panjang. Harapan menjadi semacam kekuatan tuhan yang diberikan kepada manusia yang masih hidup untuk melawan kekejaman dunia. Karena tanpa harapan, seseorang akan mengalami depresi hingga membunuh diri.

Di tengah lantai pos kampling itu, dia dan ketiga temannya duduk dalam formasi melingkar. 

“Sial, kartu macam apa ini!” orang yang duduk tepat di depannya membanting satu kartu ke lantai.

Ia tertawa mengejek, “Kartuku sangat istimewa, aku pasti menang.”

Setelah menyelesaikan satu putaran terakhir  dengan kemenangan, ia keluar dari lingkaran. 

“Maaf, kawan, aku ingin pulang” dengan senyum tersungging di bibirnya. “Saya pamit untuk meninggalkan tempat ini” ia bergegas menyusuri jalanan.

Ketiga temannya memandangi langkahnya dengan wajah terheran-heran. Mereka menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Kenapa dia tiba-tiba pergi dan mengatakan ingin pulang? Bukankah tempat tinggal dia adalah di pos kampling ini? Bukankah dia merasa lebih bahagia dibandingkan dengan awal kemunculannya di sini dulu, yang selalu memangku dagu dengan telapak tangannya dan pandangan kosong.
 
Beberapa bulan ini, di pos kampling itu, mereka habiskan hari-hari untuk bermain kartu siang dan malam. Mereka adalah pemuda kampung setempat yang sama-sama pengangguran, tapi bedanya mereka punya keluarga untuk dimintai makan. Sedangkan dia harus mencari makan sendiri, bagaimanapun itu. Jika suatu hari dia tak mendapat uang karena toko sebelah pos kampling itu tutup atau hal yang lainnya, maka dia pergi ke jalanan untuk menjajakan suaranya yang tak merdu dengan alat musik tepukan tangannya.

“Hai, kemana kamu akan pergi?” teriak salah satu temannya ketika ia sudah agak jauh.

“Aku ingin pulang, aku ingin menemukan harapan” lalu dia hilang di tikungan-jalan panjang itu.
 

2 Comments

  1. Pos kampling bukankah seharusnya ditulis pos kamling yg merupakan singkatan dari keamanan lingkungan?

    ReplyDelete