Senja Bening Lazuardi II



            Adzan magrib menggema dari seluruh penjuru mata angin, menggaung-gaung di udara. Cahaya yang tersisa lamat-lamat hilang dari cakrawala.
           “Kata nenekmu, waktu seperti ini—perpisahan antara cahaya dan gelap—adalah waktu yang banyak turunnya mara bahaya. Mereka menyebutnya Sandek Olo, artinya mendekati hal yang jelek.” Ucapku sambil mengangkat tubuh dari kursi di teras rumah pada sore itu. “Orang dulu sangat percaya dengan mitos ini. Mereka akan segera menyuruh keluarga mereka agar cepat masuk ke dalam rumah, jika sedang ada kepentingan di luar agar selalu waspada.”
              “Kenapa mereka, orang-orang dulu percaya dengan hal yang tak ilmiah seperti itu?” tanya Senja.
          “Tapi menurutku ilmiah sekali, meski tanpa data yang valid. Mereka yakin akan kebenaran hal ini karena mereka, sebenarnya telah melakukan pembacaan  gejala alam dalam waktu yang panjang. Bukan doktrin semata.“

            “Tapi aneh.”
         “Memang aneh. Tapi masuk akal.” Aku berhenti sejenak. “Orang dulu sering menyampaikan pesan secara tak langsung. Misal, ‘jangan pidah makan dari atas kemudian turun di bawah, karena bisa menjadikan hilangnya kemulian, berubah menjadi kehinaan.’ ‘Jangan makan di pintu rumah, menyebabkan disambar petir. ‘Kalau nyapu lantai yang bersih agar suami atau istrinya tak brewokan’. Dan, masih banyak ungkapan lainnya.”
              “Apa benar seperti itu, Pa?
        “Tentu tidak, seperti yang aku bilang tadi, mereka menyampaikan pesan sering tidak langsung. Mungkin, agar mudah diingat.”
            “Lalu, maksudnya?” tanya Senja.
            “Pasti semua ada artinya. Jika aku mentafsirkan, larangan pindah-pindah saat makan, karena mereka khawatir, jika yang sedang makan pindah tempat, makanan yang dibawa ditakutkan akan terjatuh, akhirnya tak jadi makan. Kemudian, larangan makan di pintu adalah agar tidak dilihat tetangga, karena masakan pada hari itu hanya cukup untuk keluarga sendiri.”
       “Terus yang menyebabkan punya pasangan brewokan tadi?” Senja memotong, mungkin ia amat penasaran dengan yang satu ini.
            “Agar kalau nyapu bener-bener bersih aja, menurutku.”
            “Heemmm...Kalau menurut Senja bukan gitu, Pa.”
            “Apa?”
            Senja melirihkan suaranya dan mendekatkan mulutnya di dekat kupingku, “Kalau nyapunya bersih, akan dilirik tetangga untuk dijadikan menantu.” Senja tertawa menggoda, aku pun tersenyum.
         Hening sejenak, aku melanjutkan, “Yang pasti semuanya tadi adalah hasil penelitian orang-orang dulu. Kemudian diwariskan dari generasi ke generasi, hingga sekarang. Di era informasi ini kepercayaan seperti itu sudah hampir punah. Kajian yang membahas ini disebut Folklore.”
            Setelah berbincang-bincang di waktu surup itu, kami masuk rumah untuk melaksanakan sembahyang  magrib, aku dan Senja sembahyang bersama. Setelah usai sembahyang, tak lupa kami mendaraskan kitab suci dan doa. Setelah ritual itu usai, Senja meraih tanganku bersalaman dan mengecupnya.
           Sambil mengelus bagian kepalanya yang atas, aku bilang, “Kamu sudah dewasa, bersikaplah dewasa. Jangan pernah tiru Papamu, menjadi seorang pengecut. Ambilah sekecil kemungkinan yang ada.”
            “Dari seorang pengecut seperti Papa, Senja dapat banyak pelajaran hidup.”
            “Sebab itulah kenapa adanya orang tua sangat penting, Nak. Menjadi anak muda jangan sombong, merasa selalu benar padahal tak tahu apa-apa.”
         “Pa, aku kangen sama nenek di kampung. Besok kuliahku libur pekan sunyi sebelum ujian akhir semester. Sekalian Senja mau minta doa.”
            “Besok Papa juga libur kerja.”
           Malam semakin gelap. Di rumah tempat aku tinggal ini terasa sangat sepi. Apalagi berada di komplek perumahan. Gerbang-gerbang rumah di kanan-kiri sudah terkunci rapat. Memang kita tidak begitu saling kenal. Kalau siang komplek ini sepi karena penghuninya sedang kerja, kalau malam sepi karena gerbang tertutup semua. Dan keadaan dalam rumah ini semakin sepi mencekam sejak kepergian istriku, Sowimah.
          Sowimah adalah tetangga jauh di tanah kelahiranku, di Bojonegoro. Setelah kelulusanku dari salah satu perguruan tinggi di Malang, aku bekerja di kota yang sama, kota yang sempat dapat julukan kota dingin (sekarang sepertinya tak cocok lagi, kecuali pada bulan tertentu, antara Mei-Juni), aku menikah dengannya atas perintah Ibuku.
          Aku dan Sowimah tak pernah bertemu sebelumnya. Aku menurut saja apa yang dikatakan oleh ibuku. Baru bertemu menjelang akad nikah. Satu hal yang tak pernah aku ragukan di dunia ini adalah kata-kata ibu. Selain itu, setiap urusan yang membuatku bingung selalu aku konsultasikan dengan ibu. Selama ibuku masih ada, aku tak pernah sekali pun sholat istikharah (sholat untuk minta petunjuk di antara beberapa pilihan).
         Bagaimana pun juga, pernikahanku dengan Sowimah dikarunia seorang anak yang cantik, yang kami beri nama Senja Bening Lazuardi. Sekarang, ialah yang menjadi teman hidupku saat ini. Karena, Sowimah harus pergi meninggalkan dunia saat akan melahirkan adiknya Senja.
         Sebelum aku tertidur, aku mendoakannya agar ia bahagia di alam sana melihat Senja yang kini sudah dewasa.
         Pagi masih petang ketika aku dan Senja bersiap-siap berangkat ke Bojonegoro, ke rumah ibuku, nenek Senja. Kami melesat saat matahari belum terik. Malang-Bojonegoro berjarak sekitar 200km, kami tempuh dengan motor sembari menikmati perjalanan melewati hutan-hutan yang masih rimbun di daerah Nganjuk. Sesekali kami turun istirahat untuk menikmati sejuknya pepohonan di pinggir jalan.
            Memasuki kampungku di pelosok barat dari kota Bojonegoro, aku selalu merasakan hal yang sama. Tak banyak berubah dari kampungku ini. Sejak dulu, ketika aku meninggalkan kampung ini merantau ke Malang untuk menuntut ilmu.
            Meskipun kampung ini merupakan ladang minyak yang paling banyak menyumbang minyak mentah di Indonesia, masyarakat di kampung ini tetaplah miskin. Keberadaan sumber minyak tak mampu memberi kesejahteraan pada masyarakat sekitar atau paling tidak memberi pekerjaan pada pemuda kampung ini yang rata-rata berpendidikan rendah. Dan aku adalah satu-satunya orang beruntung dari kampung itu yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
            Banyak pemuda lari ke kota untuk mencari kerja. Mengadu nasib di kota metropolitan dari modal menjual sapi, kambing, perhiasan, bahkan tanah. Banyak tanah terjual murah pada pihak perusahaan pengeboran minyak yang dikelola oleh perusahaan dari Amerika itu, yang sedang memperluas lahan besar-besaran.
            Ketika sampai di depan rumahku, ibuku sedang duduk di beranda rumah, mengupasi kacang tanah. Setelah aku mengucapkan salam, kusalami tangannya dan kukecup meski masih belepotan dengan tanah. Senja melakukan hal yang sama.
            “Ehemmm....Bocah kok ayune ngene!!!” puji ibuku pada Senja sambil memegangi pundak Senja. Lalu beliau menciumi pipi Senja dan mengulangi beberapa kali. Sementara aku diam berdiri diam di belakang mereka. Aku melihat gores ketuaan semakin tampak di tiap garis kulit wajah ibuku. Wajah itu, yang dulu selalu membuat aku kesal, sebab bengisnya tiada tandingan. Wajah itu, yang dulu amat aku takuti ketika aku melakukan kesalahan-kesalahan di masa kecilku.
            Ibuku sangat keras dalam mendidik anak. Wajahnya berubah menjadi kejam ketika mengejarku saat aku tidak mau pergi ke madarasah sore. Kemana pun aku bersembunyi, beliau akan mencariku, di seluruh sudut desa. Suaranya akan menggelagar memanggil namaku, dan tetangga yang mengetahui kemana aku pergi akan memberitahunya. Akhirnya aku tertangkap, terpaksa aku harus pergi ke madrasah dengan bekal cubitan amat perih dan panas di paha.
            Begitulah cara ibuku mendidikku agar aku mau ngaji. Dasar anak kecil, aku juga gak kapok untuk mengulangi kesalahanku. Tentu saja hadiah cubitan langsung mendarat di paha, minimal dapat omelan seharian penuh yang teramat panas pedas di kuping.
            Sehabis isya di mushola kecil samping rumah, kami semua duduk santai beralas tikar di depan rumah. Bulan purnama mentereng di langit biru. Cahaya kuning mengkilat-kilat di atas rimbun dedaunan pohon sepanjang jalan tak beraspal depan rumah. Aku kembali teringat masa lalu ketika aku masih kecil di kampung yang damai ini.
            Adalah haram untuk melewatkan keceriaan malam bulan purnama di kampung ini. Setiap keluarga membeber tikar terbuat dari daun pandan di depan rumah meraka masing-masing. Bercengkrama bersama keluarga. Sedangkankan, kami anak-anak bermain kejar-kejaran. Permainan itu namanya Obak Sodor dan Obak Beteng. Dua hiburan yang tak pernah membosankan dengan cara permainan yang berbeda. Cara main obak sodor adalah dengan membagi jumlah anak yang ada menjadi dua. Misal, 10 anak maka dibagi menjadi 5:5. Orang 5 ini bertugas menjaga tiang mahkota bagaimanapun caranya agar tidak tersentuh oleh lawan. Siapa yang dapat memegang tiang mahkota lawan duluan, tanpa tersentuh, mereka lah yang menang. Agar bisa memegang mahkota lawan, tentu tidak akan bisa jika tiang mahkota selalu dijaga. Maka, salah satu mereka membuat umpan dengan memancing agar lawan mau mengejar sehingga meninggalkan tiang mahkotanya. Jika yang dikejar tertangkap maka akan ditawan.  Akhirnya, yang jaga tiang mahkota hanya satu orang. Jika ia lengah menjaga maka tiang mahkotanya akan disentuh dari belakang oleh yang sedang berkejaran tadi, dari pihak musuh. Sedang obak beteng lebih simpel. Ada satu yang kalah setelah beradu jari (sut). Maka yang kalah itu bertugas mengejar yang lain hingga tertangkap dalam tempat yang telah ditentukan batasnya. Kemudian  yang tertangkap tadi bisa dijadikan sekutu. Sedang yang dikejar ini bisa melindungi dirinya dengan mengucap “Beteng” sambil duduk. Maka dalam posisi ini tidak akan kalah meskipun tertangkap.
            “Awang, dengarkan.” Suara ibuku membubarkan aku yang sedang mengenang masa lalu. “Senja sudah setuju. Apakah kamu mau menikah lagi?” pertanyaan yang tiba-tiba menohok jantungku.
Apa maksud dari pertanyaan ini.
Bersambung.....
           
           
           
           

2 Comments

  1. nice :)
    ngomong2 pk judul itu ko g ngomong sm yg punya nm y?hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Heuheu.... mau ngomong gak punya nomor hpnya, ciihh....

      Delete