Adzan magrib menggema dari seluruh
penjuru mata angin, menggaung-gaung di udara. Cahaya yang tersisa lamat-lamat
hilang dari cakrawala.
“Kata nenekmu, waktu seperti
ini—perpisahan antara cahaya dan gelap—adalah waktu yang banyak turunnya mara
bahaya. Mereka menyebutnya Sandek Olo,
artinya mendekati hal yang jelek.” Ucapku sambil mengangkat tubuh dari kursi di
teras rumah pada sore itu. “Orang dulu sangat percaya dengan mitos ini. Mereka
akan segera menyuruh keluarga mereka agar cepat masuk ke dalam rumah, jika
sedang ada kepentingan di luar agar selalu waspada.”
“Kenapa mereka, orang-orang dulu
percaya dengan hal yang tak ilmiah seperti itu?” tanya Senja.
“Tapi menurutku ilmiah sekali, meski
tanpa data yang valid. Mereka yakin akan kebenaran hal ini karena mereka, sebenarnya
telah melakukan pembacaan gejala alam
dalam waktu yang panjang. Bukan doktrin semata.“
“Tapi aneh.”
“Memang aneh. Tapi masuk akal.” Aku
berhenti sejenak. “Orang dulu sering menyampaikan pesan secara tak langsung. Misal,
‘jangan pidah makan dari atas kemudian
turun di bawah, karena bisa menjadikan hilangnya kemulian, berubah menjadi kehinaan.’
‘Jangan makan di pintu rumah, menyebabkan
disambar petir. ‘Kalau nyapu lantai yang bersih agar suami atau istrinya tak
brewokan’. Dan, masih banyak ungkapan lainnya.”
“Apa benar seperti itu, Pa?
“Tentu tidak, seperti yang aku
bilang tadi, mereka menyampaikan pesan sering tidak langsung. Mungkin, agar
mudah diingat.”
“Lalu, maksudnya?” tanya Senja.
“Pasti semua ada artinya. Jika aku
mentafsirkan, larangan pindah-pindah saat makan, karena mereka khawatir, jika
yang sedang makan pindah tempat, makanan yang dibawa ditakutkan akan terjatuh,
akhirnya tak jadi makan. Kemudian, larangan makan di pintu adalah agar tidak
dilihat tetangga, karena masakan pada hari itu hanya cukup untuk keluarga
sendiri.”
“Terus yang menyebabkan punya
pasangan brewokan tadi?” Senja
memotong, mungkin ia amat penasaran dengan yang satu ini.
“Agar kalau nyapu bener-bener bersih
aja, menurutku.”
“Heemmm...Kalau menurut Senja bukan
gitu, Pa.”
“Apa?”
Senja melirihkan suaranya dan
mendekatkan mulutnya di dekat kupingku, “Kalau nyapunya bersih, akan dilirik
tetangga untuk dijadikan menantu.” Senja tertawa menggoda, aku pun tersenyum.
Hening sejenak, aku melanjutkan, “Yang pasti semuanya tadi adalah
hasil penelitian orang-orang dulu. Kemudian diwariskan dari generasi ke
generasi, hingga sekarang. Di era informasi ini kepercayaan seperti itu sudah
hampir punah. Kajian yang membahas ini disebut Folklore.”
Setelah berbincang-bincang di waktu surup
itu, kami masuk rumah untuk melaksanakan sembahyang magrib, aku dan Senja sembahyang bersama.
Setelah usai sembahyang, tak lupa kami mendaraskan kitab suci dan doa. Setelah
ritual itu usai, Senja meraih tanganku bersalaman dan mengecupnya.
Sambil mengelus bagian kepalanya
yang atas, aku bilang, “Kamu sudah dewasa, bersikaplah dewasa. Jangan pernah
tiru Papamu, menjadi seorang pengecut. Ambilah sekecil kemungkinan yang ada.”
“Dari seorang pengecut seperti Papa,
Senja dapat banyak pelajaran hidup.”
“Sebab itulah kenapa adanya orang
tua sangat penting, Nak. Menjadi anak muda jangan sombong, merasa selalu benar
padahal tak tahu apa-apa.”
“Pa, aku kangen sama nenek di
kampung. Besok kuliahku libur pekan sunyi sebelum ujian akhir semester.
Sekalian Senja mau minta doa.”
“Besok Papa juga libur kerja.”
Malam semakin gelap. Di rumah tempat
aku tinggal ini terasa sangat sepi. Apalagi berada di komplek perumahan. Gerbang-gerbang
rumah di kanan-kiri sudah terkunci rapat. Memang kita tidak begitu saling
kenal. Kalau siang komplek ini sepi karena penghuninya sedang kerja, kalau
malam sepi karena gerbang tertutup semua. Dan keadaan dalam rumah ini semakin
sepi mencekam sejak kepergian istriku, Sowimah.
Sowimah adalah tetangga jauh di
tanah kelahiranku, di Bojonegoro. Setelah kelulusanku dari salah satu perguruan
tinggi di Malang, aku bekerja di kota yang sama, kota yang sempat dapat julukan
kota dingin (sekarang sepertinya tak cocok lagi, kecuali pada bulan tertentu,
antara Mei-Juni), aku menikah dengannya atas perintah Ibuku.
Aku dan Sowimah tak pernah bertemu
sebelumnya. Aku menurut saja apa yang dikatakan oleh ibuku. Baru bertemu
menjelang akad nikah. Satu hal yang tak pernah aku ragukan di dunia ini adalah
kata-kata ibu. Selain itu, setiap urusan yang membuatku bingung selalu aku
konsultasikan dengan ibu. Selama ibuku masih ada, aku tak pernah sekali pun sholat
istikharah (sholat untuk minta petunjuk di antara beberapa pilihan).
Bagaimana pun juga, pernikahanku
dengan Sowimah dikarunia seorang anak yang cantik, yang kami beri nama Senja
Bening Lazuardi. Sekarang, ialah yang menjadi teman hidupku saat ini. Karena,
Sowimah harus pergi meninggalkan dunia saat akan melahirkan adiknya Senja.
Sebelum aku tertidur, aku mendoakannya
agar ia bahagia di alam sana melihat Senja yang kini sudah dewasa.
Pagi masih petang ketika aku dan
Senja bersiap-siap berangkat ke Bojonegoro, ke rumah ibuku, nenek Senja. Kami melesat
saat matahari belum terik. Malang-Bojonegoro berjarak sekitar 200km, kami
tempuh dengan motor sembari menikmati perjalanan melewati hutan-hutan yang
masih rimbun di daerah Nganjuk. Sesekali kami turun istirahat untuk menikmati
sejuknya pepohonan di pinggir jalan.
Memasuki kampungku di pelosok barat
dari kota Bojonegoro, aku selalu merasakan hal yang sama. Tak banyak berubah dari
kampungku ini. Sejak dulu, ketika aku meninggalkan kampung ini merantau ke
Malang untuk menuntut ilmu.
Meskipun kampung ini merupakan
ladang minyak yang paling banyak menyumbang minyak mentah di Indonesia,
masyarakat di kampung ini tetaplah miskin. Keberadaan sumber minyak tak mampu
memberi kesejahteraan pada masyarakat sekitar atau paling tidak memberi
pekerjaan pada pemuda kampung ini yang rata-rata berpendidikan rendah. Dan aku
adalah satu-satunya orang beruntung dari kampung itu yang mengenyam pendidikan
di perguruan tinggi.
Banyak pemuda lari ke kota untuk
mencari kerja. Mengadu nasib di kota metropolitan dari modal menjual sapi,
kambing, perhiasan, bahkan tanah. Banyak tanah terjual murah pada pihak perusahaan
pengeboran minyak yang dikelola oleh perusahaan dari Amerika itu, yang sedang
memperluas lahan besar-besaran.
Ketika sampai di depan rumahku,
ibuku sedang duduk di beranda rumah, mengupasi kacang tanah. Setelah aku
mengucapkan salam, kusalami tangannya dan kukecup meski masih belepotan dengan
tanah. Senja melakukan hal yang sama.
“Ehemmm....Bocah kok ayune ngene!!!”
puji ibuku pada Senja sambil memegangi pundak Senja. Lalu beliau menciumi pipi
Senja dan mengulangi beberapa kali. Sementara aku diam berdiri diam di belakang
mereka. Aku melihat gores ketuaan semakin tampak di tiap garis kulit wajah
ibuku. Wajah itu, yang dulu selalu membuat aku kesal, sebab bengisnya tiada
tandingan. Wajah itu, yang dulu amat aku takuti ketika aku melakukan
kesalahan-kesalahan di masa kecilku.
Ibuku sangat keras dalam mendidik
anak. Wajahnya berubah menjadi kejam ketika mengejarku saat aku tidak mau pergi
ke madarasah sore. Kemana pun aku bersembunyi, beliau akan mencariku, di
seluruh sudut desa. Suaranya akan menggelagar memanggil namaku, dan tetangga
yang mengetahui kemana aku pergi akan memberitahunya. Akhirnya aku tertangkap,
terpaksa aku harus pergi ke madrasah dengan bekal cubitan amat perih dan panas
di paha.
Begitulah cara ibuku mendidikku agar
aku mau ngaji. Dasar anak kecil, aku
juga gak kapok untuk mengulangi kesalahanku. Tentu saja hadiah cubitan langsung
mendarat di paha, minimal dapat omelan seharian penuh yang teramat panas pedas
di kuping.
Sehabis isya di mushola kecil
samping rumah, kami semua duduk santai beralas tikar di depan rumah. Bulan purnama
mentereng di langit biru. Cahaya kuning mengkilat-kilat di atas rimbun dedaunan
pohon sepanjang jalan tak beraspal depan rumah. Aku kembali teringat masa lalu
ketika aku masih kecil di kampung yang damai ini.
Adalah haram untuk melewatkan
keceriaan malam bulan purnama di kampung ini. Setiap keluarga membeber tikar
terbuat dari daun pandan di depan rumah meraka masing-masing. Bercengkrama bersama
keluarga. Sedangkankan, kami anak-anak bermain kejar-kejaran. Permainan itu
namanya Obak Sodor dan Obak Beteng. Dua hiburan yang tak pernah
membosankan dengan cara permainan yang berbeda. Cara main obak sodor adalah dengan membagi jumlah anak yang ada menjadi dua. Misal,
10 anak maka dibagi menjadi 5:5. Orang 5 ini bertugas menjaga tiang mahkota
bagaimanapun caranya agar tidak tersentuh oleh lawan. Siapa yang dapat memegang
tiang mahkota lawan duluan, tanpa tersentuh, mereka lah yang menang. Agar bisa
memegang mahkota lawan, tentu tidak akan bisa jika tiang mahkota selalu dijaga.
Maka, salah satu mereka membuat umpan dengan memancing agar lawan mau mengejar
sehingga meninggalkan tiang mahkotanya. Jika yang dikejar tertangkap maka akan
ditawan. Akhirnya, yang jaga tiang
mahkota hanya satu orang. Jika ia lengah menjaga maka tiang mahkotanya akan
disentuh dari belakang oleh yang sedang berkejaran tadi, dari pihak musuh. Sedang
obak beteng lebih simpel. Ada satu yang
kalah setelah beradu jari (sut). Maka yang kalah itu bertugas mengejar yang
lain hingga tertangkap dalam tempat yang telah ditentukan batasnya. Kemudian yang tertangkap tadi bisa dijadikan sekutu. Sedang
yang dikejar ini bisa melindungi dirinya dengan mengucap “Beteng” sambil duduk.
Maka dalam posisi ini tidak akan kalah meskipun tertangkap.
“Awang, dengarkan.” Suara ibuku
membubarkan aku yang sedang mengenang masa lalu. “Senja sudah setuju. Apakah kamu
mau menikah lagi?” pertanyaan yang tiba-tiba menohok jantungku.
Apa
maksud dari pertanyaan ini.
Bersambung.....
2 Comments
nice :)
ReplyDeletengomong2 pk judul itu ko g ngomong sm yg punya nm y?hehe
Heuheu.... mau ngomong gak punya nomor hpnya, ciihh....
Delete