Senja Bening Lazuardi III


            Aku tak tahu hingga benar-benar aku tahu, tentang wanita yang punya nama sama denganku.
            Setelah aku menelisik, wanita itu adalah dosen di kampusku. Senja Bening Lazuardi, seorang pengajar mata kuliah Filsafat. Sebuah nama yang sama persis dengan namaku, membuatku berpikir, apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah ada maksud sedemikian rupa. Nama itu, menjadikan aku begitu penasaran, ingin kenal dengannya.
            Hingga kita dipertemukan dalam kelas Filsafat. Suatu pagi saat ia mengajar di kelasku, aku berpikir agar bisa kenal dekat dengannya.
            “Senja Bening Lazuardi” ia menyebut namanya sendiri, memperkenalkan dirinya pada mahasiswa. Temanku yang sedang duduk di sampingku menyenggolku dengan sikunya.
            “Dosen baru kita ini punya nama sama denganmu.” bisiknya. Aku  tak memperhatikan kata-katanya karena aku sudah tahu lebih dulu.

            Setelah memperkenalkan diri, ia menjelaskan ini-itu tentang pelajaran filsafat. Aku tak begitu memperhatikan apa yang diucapkan karena aku tak begitu tertarik dengan pelajaran filsafat, tapi aku sangat tertarik mengetahui jauh tentang dirinya. Ya, hanya tersebab nama kita yang sama, aku begitu penasaran dengannya.
            Beberapa hari kemudian, aku mendapatinya sedang duduk sendirian di kantin kampus. Ingin sekali aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekatinya. Sebelum melangkahkan kaki ke tempatnya, aku menyiapkan pertanyaan yang akan kuajukan padanya.
            Dengan perasaan agak ragu, aku menuju ke tempat ia duduk. Suasana di kantin siang itu lumayan tenang, tak banyak mahasiswa yang sedang ada di sana.
            “Selamat siang, Bu?” sapaku sambil mengulurkan tangan ke arahnya, bersalaman. Aku melihat senyum sahaja tersungging di bibirnya yang manis. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, tapi wajah Ibu Senja terlihat sangat cantik. Kulitnya halus berwarna kuning langsat. Rambut panjang hitam yang dikuncir sangat cocok dengan paduan baju yang dipakai hari itu, baju batik warna coklat modif dengan bawahan celana kain warna hitam.
            Kemudian aku duduk di kursi di hadapannya, dipisahkan meja berbentuk bulat. “Sendirian aja, Bu?” tanyaku sok akrab, padahal baru satu kali bertemu dalam kelas filsafat minggu kemarin.
            “Iya. Kamu mahasiswa kelas filsafat saya, ya?”
            “Iya, Bu.”
            “Sendirian juga?”
            “Sama teman, tapi dia sedang ada urusan sama seseorang.”
            Begitualah awal obrolanku dengan dosen filsafat baruku, dalam bahasa pengakraban. Bahasa pengakraban maksudku adalah bahasa dengan tujuan agar semakin akrab saja. Karena sebetulnya tanpa bertanya ‘sendirian aja, Bu?’aku sudah tahu kalau dia sedang sendiri, tapi aku bertanya demikian untuk menjadikan hubungan dengannya lebih terasa dekat. Itulah bahasa yang dikaruniakan khusus untuk manusia, selain sebagai media komunikasi setiap hari, juga menjadi media menjaga keakraban dalam hubungan manusia.
            “Oh, iya, Bu.... Boleh saya tanya?” kali ini aku akan mulai bertanya dengan pertanyaan yang telah kupersiapkan tadi.
            “Iya, mau tanya apa, Nak? Silahkan. Kalau aku bisa jawab akan kujawab, kok?” dia tak menyebut namaku, mungkin dia memang belum tahu. Sebaiknya tak usah kuberi tahu kalau namaku juga Senja Bening Lazuardi.
            “Kenapa sih kita harus belajar filsafat?” inilah pertanyaan yang telah kusiapkan sebelumnya. Sebenarnya, aku sama sekali tak tertarik untuk membahas tentang pelajaran filsafat. Aku tak pernah tertarik dengan dunia filsafat, dunia yang sangat sulit dipahami itu. Tapi pikirku, bahasan inilah yang paling cocok dalam misi mendekati orang yang membuatku penasaran selama ini.
“Kenapa kita tak harus belajar filsafat?” ia malah membalik pertanyaanku.
“Menurutku, filsafat hanya sebuah ilmu tak nyata, hanya mengawang-awang di udara, ilmu yang rumit untuk dimengerti.” Jawabku.
Dalam tutur yang lembut dan halus teratur ia menjawab, “Dalam benak banyak orang, filsafat memang merupakan ilmu yang mengawang-awang. Mengawang bisa berarti: terlalu tinggi dan rumit, hingga tak mudah dicerna oleh orang kebanyakan. Tapi mengawang juga bisa berarti: tidak realistis, konyol, kegiatan orang yang kurang kerjaan. Ketika dunia digerakkan oleh kesibukan mencari uang sebanyak-banyaknya, dan diramaikan oleh hiruk-pikuk memburu kenikmatan, karier, popularitas dan kekayaan, filsafat tampak bagai verbalisme kosong, bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya. Ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan demikian banyak hal konkret dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar, filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.”
            Ia sangat serius menjelaskan. Aku pun ikut sok serius mendengarkan. Setelah menyuruput minuman yang ada di depannya, ia melanjutkan, “ Lebih buruk lagi, dalam situasi penuh antusiasme keagamaan yang meledak-ledak, filsafat biasanya bahkan dilihat sebagai kebebasan nalar yang liar dan “arogan”, semacam ancaman menuju kekacauan, bahaya tafsir bebas yang mengarah pada kemurtadan, atau bahkan sejenis gejala kegilaan.”
            “Di zaman yang sudah sangat maju ini, apakah filsafat masih sangat penting? Masihkan ada orang yang membaca karya-karya filosof terkenal seperti karya Plaa....Pla.. Siapa itu saya lupa, filosof terkenal dari Yunani?”
            “Maksudmu Plato?”
            “Nah, itu maksudnya.”
            “Dalam suasana konsumerisme yang parah dan gaya hidup snobistis, kalaupun filsafat masih tampak berharga, itu hanyalah sebagai parafernalia untuk dekorasi rumah atau gaya bicara. Adalah bergengsi memajang buku-buku tua Plato atau Aristoteles di rak buku. Adalah terpelajar bila kita menyelipkan satu dua kutipan dari omongan para filosof dalam pidato-pidato kita. Demikian, filsafat itu menarik sebagai hiasan, tapi tidak sebagai bahan kajian.”
            Pembicaraan yang awalnya hanya sebagai alasan mendekati dia, sekarang sepertinya beralih menjadi obrolan yang menarik. Aku pun bertanya, “Kalau Ibu sendiri, kenapa belajar filsafat? Apa karena ingin dianggap terpelajar juga?”
            “Kalau buatku, dengan belajar filsafat, membaca pemikiran para filosof, dapat membatu melihat struktur kenyataan dasar yang tadinya tersembnyi di balik permukaan gejala-gejala sehari-hari, ibarat foto rontgen. Ia juga memungkinkan untuk melihat keterkaitan keterkaitan baru antar-segeala hal. Bagaikan melihat lingkungan kita sendiri dari ketinggian.”
            “Itu saja manfaatnya?”
            “Tentu tidak. Bagi dunia keilmuan, filsafat berguna untuk bersikap kritis terhadap asumsi-asumsi dasar yang biasanya digunakan saja tanpa dipertanyakan, juga waspada terhadapa konsekuensi-konsekuensi lebih jauh, lebih luas dan lebih abstrak dari temuan-temuan ilmiah. Filsafat penting untuk mengindari bahaya kenaifan-empirik-teknis, yaitu anggapan seakan kehidupan dan manusia hanyalah soal data dan urusan teknis. Sedangkan bagi dunia keagamaan, filsafat dapat membantu menjaga agar kita terhindar dari dogmatisme yang picik dan berbahaya atau dari keterjebakan dalam perkara remeh-temeh yang tak penting; membantu melihat hal-hal yang lebih pokok; juga memungkinkan kita berpikir lebih arif dalam menyelesaikan perkara-perkara baru yang tak bisa langsung dirujuk ke kitab-suci; bahkan akhirnya mungkin juga membantu menyingkapkan ilusi-ilusi yang tersembunyi di balik agama, yang jika dibiarkan justru akan merusakkan martabat agama itu sendiri, bagai kanker yang tak disadari.”
            “Wah...Menarik sekali, Bu. Ternyata belajar filsafat itu sangat penting.”
            “Betul. Sebab, filsafat memampukan kita menyusun sendiri pegangan di antara berbagai informasi dan pendapat yang membingungkan, memampukan kita merumuskan sendiri makna pengalaman. Ketidakmampuan berpikir secara abstrak filosofis mudah mengakibatkan kerancuan-kerancuan berpikir yang menyedihkan dan berbahaya. Berbagai masalah berat di negeri ini umunya muncul karena kerancuan berpikir macam itu; dari sejak urusan kinerja birokrasi yang serba-tidak efisien, korupsi, konflik agama, kerumitan masalah pendidikan, terorisme, sampai kekacauan angkutan kota.”
            “Apakah saya mungkin jadi filosof yang sejajar dengan filosof seperti Plato dan Aristoteles tadi?”
            “Mungkin saja. Sebenarnya pikiran para filosof umumnya bersifat hipotetis saja, sebab omongan-omangan mereka itu menyangkut hal-hal yang terlampau dalam hingga tak mungkin dibuktikan, hanya mungkin diargumentasikan.”
“Maksudnya?”
“Misanya saja, filosof yang satu mengatakan bahwa hidup ini adalah proses menuju suatu tujuan yang jelas. Filosof lain persis kebalikannya, baginya hidup ini adalah absurditas yang tak jelas tujuannya. Keduanya sulit untuk dibuktikan secara empiris ketat. Maka filsafat adalah bermain menjajaki berbagai kemungkinan untuk memahami pengalaman dan kehidupan. Dan dalam kenyataan memang selalu ada begitu banyak cara dan kemungkinan. Ukuran kebenaranya hanyalah; argumentasinya lebih mendalam dibanding argumentasi lainnya, atau daya penjelasannya lebih besar, alias lebih mampu menjelaskan kompleksitas suatu masalah, ketimbang paham lainnya.”
Tak terasa obrolan siang itu menjadi panjang lebar tentang filsafat. Dari obrolan itu,  aku menjadi tertarik untuk belajar filsafat agar bisa menjadi seperti apa yang dikatakan Bu Senja tadi.
“Kalau Ibu berkenan, saya akan berkunjung ke rumah Ibu. Siapa tahu nanti saya bisa belajar filsafat lebih banyak.”
“Silahkan.”
Beberapa hari kemudian aku berkunjung rumahnya. Memasuki pintu utama, rumah ini lebih mirip dengan perpustakaan dari pada ruang tamu. Terdapat rak buku memanjang sepanjang tembok rumah ini. Ruangan yang berukuran 3x5 ini tak ada kursi dan meja untuk untuk tamu, hanya sebuah gelaran karpet warna merah. Sementara di sebelah pintu ke dua di dalam ruanan ada meja dengan komputer.
“Kalau mau belajar filsafat, itu di rak buku banyak buku filsafat. Silahkan kalau mau baca.” Kemudian ia masuk ruangan tengah rumahnya.
Aku yang duduk di bawah, memandangi judul-judul buku yang berjajar di samping kananku. Satu buku yang sangat menarik untuk kuamati adalah sebuah buku bertuliskan Dunia Shopie, sebuah novel filsafat. Segera aku ambil buku itu dan kubuka-buka lembarannya. Selembar kertas putih terjatuh dari jepitan lembaran yang sepertinya sudah lama tak terbaca itu.

Sebuah Jawaban yang tak terkatakan untuk Awang

Senja Bening Lazuardi menyapa adalah aku
Kamu tak pernah tahu
Desir angin dan dedaunan merunduk adalah aku
Rasa cintaku dan keperempuanku mencegahku mencintaimu dulu
Kaki ombak mulai berjingkrak adalah hatiku
Berharap setiap malam ada sebongkah bahagia bersamamu
Dalam hening senja bening lazuardi
Di dalam hati paling jauh
Menyimpan cahaya kerinduan yang semakin tumbuh
Menjelma malam pekat penuh rindu mengaduh.
Aku menunggu cintamu, Awang.

Digubah dari puisi yang dibacakan oleh Awang untukku di Sempu, di bawah Bintang, malam itu.

Cepat-cepat aku memasukkan kembali kertas itu ketika ia datang membawa segelas minuman untukku.
“Ini diminum dulu.”   
“Iya, makasih, Bu.” Aku meminumnya sedikit, “ O ya, rumah ini kok sepi, keluarga ibu dimana, ya?”
“Aku di sini tinggal sendirian, kok.”
“Suami Ibu?”
“Belum pernah nikah, mau dicarikan, ta?” guraunya dengan bahasa logat khas Malang-nya, lantas ia tertawa.
Sebenarnya aku terkejut mendengar jawaban itu. “Ah, gampang, Bu. Banyak kok temen saya mahasiswa yang masih jomblo.” Aku pun membalas guraunya.
            Penasaran satu terjawab, meminta penasaran yang lain. Hubunganku dengannya semakin akrab. Yang menjadikan penasaran sekarang bukan lagi namanya, tapi nama yang tertulis dalam puisi yang kutemukan tadi. Bukankah Awang adalah nama Papaku?
            Setelah beberapa lama kemudian, aku pamit pulang membawa teka-teki tentang nama Awang. Apakah ibu Senja, dosen filsafat itu, dulu pernah punya hubungan dekat dengan Awang, yang sekarang jadi Papaku. Kenapa namaku sama dengannya. Pertanyaan demi pertanyaan silih ganti mencari jawaban.
***
            Begitulah ibuku menceritakan ulang kepadaku apa yang diceritakan oleh Senja, persis seperti apa yang dikatakan Senja pada beliau. Ibuku kalau disuruh cerita memang luar biasa. Tidak ada kisah sedikitpun yang tercecer saat bercerita.
            Aku menoleh pada Senja. “Kenapa kamu tak pernah cerita sama Papa?”
            “Sore kemarin, sebenarnya Senja mau cerita sama Papa tentang kejadian di rumah Bu Senja. Tapi waktu itu, Papa lebih dulu menceritakan tentang Senja Bening Lazuardi, wanita yang menjadikan Papa merasa jadi pengecut itu. Senja sebenernya juga terkejut mendengar cerita Papa. Tapi Senja tahan sampai kita berkunjung di rumah nenek, untuk membicarakan ini semua bersama.“
            “Karena cucuku ini juga tahu kalau kamu itu pengecut, Wang?” ibu mencari celah untuk bicara.
Kata Senja lagi, “Tapi, Pa.... kenapa namaku sama persis dengannya, apakah menamaiku sama dengannya, adalah cara Papa untuk mencintainya?”

Bersambung.......

*Semua jawaban Bu Senja dalam obrolan di kantin bersama Senja diambil dari artikel berjudul “Filsafat dan Pengalaman” ditulis oleh Bambang Sugiharto, guru besar filsafat di unpar dan ITB. Artikel lengkap bisa dibaca di pengantar buku Dunia Shopie, 2011. Mizan: Bandung.

2 Comments

  1. cpt posting lanjutannya mas haha
    kira2 endingnya gmn ya???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe, yang punya nama penasaran endingya ni. Santai saja mbak yu... endingya masih dicari, masih di dalam mimpi. heuheu.

      Delete