Aku tak tahu hingga benar-benar aku
tahu, tentang wanita yang punya nama sama denganku.
Setelah aku menelisik, wanita itu
adalah dosen di kampusku. Senja Bening Lazuardi, seorang pengajar mata kuliah
Filsafat. Sebuah nama yang sama persis dengan namaku, membuatku berpikir,
apakah ini sebuah kebetulan semata ataukah ada maksud sedemikian rupa. Nama
itu, menjadikan aku begitu penasaran, ingin kenal dengannya.
Hingga kita dipertemukan dalam kelas Filsafat. Suatu pagi saat ia
mengajar di kelasku, aku berpikir agar bisa kenal dekat dengannya.
“Senja Bening Lazuardi” ia menyebut
namanya sendiri, memperkenalkan dirinya pada mahasiswa. Temanku yang sedang
duduk di sampingku menyenggolku dengan sikunya.
“Dosen baru kita ini punya nama sama
denganmu.” bisiknya. Aku tak
memperhatikan kata-katanya karena aku sudah tahu lebih dulu.
Setelah memperkenalkan diri, ia
menjelaskan ini-itu tentang pelajaran
filsafat. Aku tak begitu memperhatikan apa yang diucapkan karena aku tak begitu
tertarik dengan pelajaran filsafat, tapi aku sangat tertarik mengetahui jauh
tentang dirinya. Ya, hanya tersebab nama kita yang sama, aku begitu penasaran
dengannya.
Beberapa hari kemudian, aku
mendapatinya sedang duduk sendirian di kantin kampus. Ingin sekali aku
memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekatinya. Sebelum melangkahkan kaki ke
tempatnya, aku menyiapkan pertanyaan yang akan kuajukan padanya.
Dengan perasaan agak ragu, aku
menuju ke tempat ia duduk. Suasana di kantin siang itu lumayan tenang, tak banyak
mahasiswa yang sedang ada di sana.
“Selamat siang, Bu?” sapaku sambil
mengulurkan tangan ke arahnya, bersalaman. Aku melihat senyum sahaja
tersungging di bibirnya yang manis. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi,
tapi wajah Ibu Senja terlihat sangat cantik. Kulitnya halus berwarna kuning
langsat. Rambut panjang hitam yang dikuncir sangat cocok dengan paduan baju
yang dipakai hari itu, baju batik warna coklat modif dengan bawahan celana kain
warna hitam.
Kemudian aku duduk di kursi di hadapannya,
dipisahkan meja berbentuk bulat. “Sendirian aja, Bu?” tanyaku sok akrab, padahal baru satu kali
bertemu dalam kelas filsafat minggu kemarin.
“Iya. Kamu mahasiswa kelas filsafat
saya, ya?”
“Iya, Bu.”
“Sendirian juga?”
“Sama teman, tapi dia sedang ada
urusan sama seseorang.”
Begitualah awal obrolanku dengan
dosen filsafat baruku, dalam bahasa pengakraban. Bahasa pengakraban maksudku
adalah bahasa dengan tujuan agar semakin akrab saja. Karena sebetulnya tanpa
bertanya ‘sendirian aja, Bu?’aku sudah
tahu kalau dia sedang sendiri, tapi aku bertanya demikian untuk menjadikan hubungan
dengannya lebih terasa dekat. Itulah bahasa yang dikaruniakan khusus untuk
manusia, selain sebagai media komunikasi setiap hari, juga menjadi media
menjaga keakraban dalam hubungan manusia.
“Oh, iya, Bu.... Boleh saya tanya?”
kali ini aku akan mulai bertanya dengan pertanyaan yang telah kupersiapkan
tadi.
“Iya, mau tanya apa, Nak? Silahkan. Kalau
aku bisa jawab akan kujawab, kok?”
dia tak menyebut namaku, mungkin dia memang belum tahu. Sebaiknya tak usah
kuberi tahu kalau namaku juga Senja Bening Lazuardi.
“Kenapa sih kita harus belajar filsafat?” inilah pertanyaan yang telah
kusiapkan sebelumnya. Sebenarnya, aku sama sekali tak tertarik untuk membahas
tentang pelajaran filsafat. Aku tak pernah tertarik dengan dunia filsafat,
dunia yang sangat sulit dipahami itu. Tapi pikirku, bahasan inilah yang paling
cocok dalam misi mendekati orang yang membuatku penasaran selama ini.
“Kenapa
kita tak harus belajar filsafat?” ia malah membalik pertanyaanku.
“Menurutku,
filsafat hanya sebuah ilmu tak nyata, hanya mengawang-awang di udara, ilmu yang
rumit untuk dimengerti.” Jawabku.
Dalam
tutur yang lembut dan halus teratur ia menjawab, “Dalam benak banyak orang, filsafat
memang merupakan ilmu yang mengawang-awang. Mengawang bisa berarti: terlalu
tinggi dan rumit, hingga tak mudah dicerna oleh orang kebanyakan. Tapi mengawang
juga bisa berarti: tidak realistis, konyol, kegiatan orang yang kurang kerjaan.
Ketika dunia digerakkan oleh kesibukan mencari uang sebanyak-banyaknya, dan
diramaikan oleh hiruk-pikuk memburu kenikmatan, karier, popularitas dan
kekayaan, filsafat tampak bagai verbalisme kosong, bagai daftar menu yang
menawan tanpa ada makanannya. Ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi
menghasilkan demikian banyak hal konkret dan telah mengubah kehidupan manusia
secara mendasar, filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya
dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.”
Ia sangat serius menjelaskan. Aku pun
ikut sok serius mendengarkan. Setelah
menyuruput minuman yang ada di depannya, ia melanjutkan, “ Lebih buruk lagi,
dalam situasi penuh antusiasme keagamaan yang meledak-ledak, filsafat biasanya
bahkan dilihat sebagai kebebasan nalar yang liar dan “arogan”, semacam ancaman
menuju kekacauan, bahaya tafsir bebas yang mengarah pada kemurtadan, atau
bahkan sejenis gejala kegilaan.”
“Di zaman yang sudah sangat maju
ini, apakah filsafat masih sangat penting? Masihkan ada orang yang membaca
karya-karya filosof terkenal seperti karya Plaa....Pla.. Siapa itu saya lupa, filosof
terkenal dari Yunani?”
“Maksudmu Plato?”
“Nah, itu maksudnya.”
“Dalam suasana konsumerisme yang
parah dan gaya hidup snobistis, kalaupun filsafat masih tampak berharga, itu
hanyalah sebagai parafernalia untuk dekorasi rumah atau gaya bicara. Adalah bergengsi
memajang buku-buku tua Plato atau Aristoteles di rak buku. Adalah terpelajar
bila kita menyelipkan satu dua kutipan dari omongan para filosof dalam
pidato-pidato kita. Demikian, filsafat itu menarik sebagai hiasan, tapi tidak
sebagai bahan kajian.”
Pembicaraan yang awalnya hanya
sebagai alasan mendekati dia, sekarang sepertinya beralih menjadi obrolan yang
menarik. Aku pun bertanya, “Kalau Ibu sendiri, kenapa belajar filsafat? Apa
karena ingin dianggap terpelajar juga?”
“Kalau buatku, dengan belajar
filsafat, membaca pemikiran para filosof, dapat membatu melihat struktur
kenyataan dasar yang tadinya tersembnyi di balik permukaan gejala-gejala
sehari-hari, ibarat foto rontgen. Ia juga memungkinkan untuk melihat
keterkaitan keterkaitan baru antar-segeala hal. Bagaikan melihat lingkungan
kita sendiri dari ketinggian.”
“Itu saja manfaatnya?”
“Tentu tidak. Bagi dunia keilmuan,
filsafat berguna untuk bersikap kritis terhadap asumsi-asumsi dasar yang
biasanya digunakan saja tanpa dipertanyakan, juga waspada terhadapa
konsekuensi-konsekuensi lebih jauh, lebih luas dan lebih abstrak dari
temuan-temuan ilmiah. Filsafat penting untuk mengindari bahaya
kenaifan-empirik-teknis, yaitu anggapan seakan kehidupan dan manusia hanyalah
soal data dan urusan teknis. Sedangkan bagi dunia keagamaan, filsafat dapat
membantu menjaga agar kita terhindar dari dogmatisme yang picik dan berbahaya
atau dari keterjebakan dalam perkara remeh-temeh yang tak penting; membantu
melihat hal-hal yang lebih pokok; juga memungkinkan kita berpikir lebih arif
dalam menyelesaikan perkara-perkara baru yang tak bisa langsung dirujuk ke
kitab-suci; bahkan akhirnya mungkin juga membantu menyingkapkan ilusi-ilusi
yang tersembunyi di balik agama, yang jika dibiarkan justru akan merusakkan
martabat agama itu sendiri, bagai kanker yang tak disadari.”
“Wah...Menarik sekali, Bu. Ternyata
belajar filsafat itu sangat penting.”
“Betul. Sebab, filsafat memampukan
kita menyusun sendiri pegangan di antara berbagai informasi dan pendapat yang
membingungkan, memampukan kita merumuskan sendiri makna pengalaman. Ketidakmampuan
berpikir secara abstrak filosofis mudah mengakibatkan kerancuan-kerancuan
berpikir yang menyedihkan dan berbahaya. Berbagai masalah berat di negeri ini
umunya muncul karena kerancuan berpikir macam itu; dari sejak urusan kinerja
birokrasi yang serba-tidak efisien, korupsi, konflik agama, kerumitan masalah
pendidikan, terorisme, sampai kekacauan angkutan kota.”
“Apakah saya mungkin jadi filosof
yang sejajar dengan filosof seperti Plato dan Aristoteles tadi?”
“Mungkin saja. Sebenarnya pikiran
para filosof umumnya bersifat hipotetis saja, sebab omongan-omangan mereka itu
menyangkut hal-hal yang terlampau dalam hingga tak mungkin dibuktikan, hanya
mungkin diargumentasikan.”
“Maksudnya?”
“Misanya
saja, filosof yang satu mengatakan bahwa hidup ini adalah proses menuju suatu
tujuan yang jelas. Filosof lain persis kebalikannya, baginya hidup ini adalah
absurditas yang tak jelas tujuannya. Keduanya sulit untuk dibuktikan secara
empiris ketat. Maka filsafat adalah bermain menjajaki berbagai kemungkinan
untuk memahami pengalaman dan kehidupan. Dan dalam kenyataan memang selalu ada
begitu banyak cara dan kemungkinan. Ukuran kebenaranya hanyalah; argumentasinya lebih mendalam dibanding
argumentasi lainnya, atau daya
penjelasannya lebih besar, alias lebih mampu menjelaskan kompleksitas suatu
masalah, ketimbang paham lainnya.”
Tak
terasa obrolan siang itu menjadi panjang lebar tentang filsafat. Dari obrolan
itu, aku menjadi tertarik untuk belajar
filsafat agar bisa menjadi seperti apa yang dikatakan Bu Senja tadi.
“Kalau
Ibu berkenan, saya akan berkunjung ke rumah Ibu. Siapa tahu nanti saya bisa
belajar filsafat lebih banyak.”
“Silahkan.”
Beberapa
hari kemudian aku berkunjung rumahnya. Memasuki pintu utama, rumah ini lebih
mirip dengan perpustakaan dari pada ruang tamu. Terdapat rak buku memanjang
sepanjang tembok rumah ini. Ruangan yang berukuran 3x5 ini tak ada kursi dan
meja untuk untuk tamu, hanya sebuah gelaran karpet warna merah. Sementara di
sebelah pintu ke dua di dalam ruanan ada meja dengan komputer.
“Kalau
mau belajar filsafat, itu di rak buku banyak buku filsafat. Silahkan kalau mau
baca.” Kemudian ia masuk ruangan tengah rumahnya.
Aku
yang duduk di bawah, memandangi judul-judul buku yang berjajar di samping
kananku. Satu buku yang sangat menarik untuk kuamati adalah sebuah buku
bertuliskan Dunia Shopie, sebuah novel filsafat. Segera aku ambil buku itu dan
kubuka-buka lembarannya. Selembar kertas putih terjatuh dari jepitan lembaran
yang sepertinya sudah lama tak terbaca itu.
Sebuah Jawaban yang tak terkatakan untuk Awang
Senja Bening Lazuardi menyapa adalah aku
Kamu tak pernah
tahu
Desir angin dan
dedaunan merunduk adalah aku
Rasa cintaku
dan keperempuanku mencegahku mencintaimu dulu
Kaki ombak
mulai berjingkrak adalah hatiku
Berharap setiap
malam ada sebongkah bahagia bersamamu
Dalam hening
senja bening lazuardi
Di dalam hati
paling jauh
Menyimpan
cahaya kerinduan yang semakin tumbuh
Menjelma malam
pekat penuh rindu mengaduh.
Aku menunggu
cintamu, Awang.
Digubah dari puisi yang dibacakan oleh Awang untukku di Sempu, di bawah Bintang, malam itu.
Cepat-cepat
aku memasukkan kembali kertas itu ketika ia datang membawa segelas minuman untukku.
“Ini
diminum dulu.”
“Iya,
makasih, Bu.” Aku meminumnya sedikit, “ O ya, rumah ini kok sepi, keluarga ibu
dimana, ya?”
“Aku
di sini tinggal sendirian, kok.”
“Suami
Ibu?”
“Belum
pernah nikah, mau dicarikan, ta?” guraunya dengan bahasa logat khas Malang-nya,
lantas ia tertawa.
Sebenarnya
aku terkejut mendengar jawaban itu. “Ah, gampang, Bu. Banyak kok temen saya
mahasiswa yang masih jomblo.” Aku pun membalas guraunya.
Penasaran satu terjawab, meminta penasaran
yang lain. Hubunganku dengannya semakin akrab. Yang menjadikan penasaran
sekarang bukan lagi namanya, tapi nama yang tertulis dalam puisi yang kutemukan
tadi. Bukankah Awang adalah nama Papaku?
Setelah beberapa lama kemudian, aku
pamit pulang membawa teka-teki tentang nama Awang. Apakah ibu Senja, dosen
filsafat itu, dulu pernah punya hubungan dekat dengan Awang, yang sekarang jadi
Papaku. Kenapa namaku sama dengannya. Pertanyaan demi pertanyaan silih ganti
mencari jawaban.
***
Begitulah ibuku menceritakan ulang
kepadaku apa yang diceritakan oleh Senja, persis seperti apa yang dikatakan
Senja pada beliau. Ibuku kalau disuruh cerita memang luar biasa. Tidak ada
kisah sedikitpun yang tercecer saat bercerita.
Aku menoleh pada Senja. “Kenapa kamu
tak pernah cerita sama Papa?”
“Sore kemarin, sebenarnya Senja mau
cerita sama Papa tentang kejadian di rumah Bu Senja. Tapi waktu itu, Papa lebih
dulu menceritakan tentang Senja Bening Lazuardi, wanita yang menjadikan Papa merasa
jadi pengecut itu. Senja sebenernya juga terkejut mendengar cerita Papa. Tapi Senja
tahan sampai kita berkunjung di rumah nenek, untuk membicarakan ini semua
bersama.“
“Karena cucuku ini juga tahu kalau
kamu itu pengecut, Wang?” ibu mencari celah untuk bicara.
Kata
Senja lagi, “Tapi, Pa.... kenapa namaku sama persis dengannya, apakah menamaiku
sama dengannya, adalah cara Papa untuk mencintainya?”
Bersambung.......
*Semua jawaban Bu Senja dalam obrolan di kantin bersama Senja
diambil dari artikel berjudul “Filsafat dan Pengalaman” ditulis oleh Bambang
Sugiharto, guru besar filsafat di unpar dan ITB. Artikel lengkap bisa dibaca di
pengantar buku Dunia Shopie, 2011. Mizan: Bandung.
2 Comments
cpt posting lanjutannya mas haha
ReplyDeletekira2 endingnya gmn ya???
Hehehe, yang punya nama penasaran endingya ni. Santai saja mbak yu... endingya masih dicari, masih di dalam mimpi. heuheu.
Delete