Menjadi
pengecut sepertiku bukan pilihan yang apik. Pengecut bukanlah takdir, tapi
lebih karena tidak adanya keberanian, itu saja. Rasa inilah yang menyulut pertikaian
sepanjang hidupku, hingga saat ini.
Jika
aku berani, aku cukup mengatakan, “Aku mencintaimu” semuanya akan selesai, dari
pada menanggung penyesalan yang tak pernah habis tergerus usia.
“Pa,
kenapa Papa selalu duduk di sini, setiap cahaya di ujung barat sana mulai
menjingga?” tanya Senja anakku yang sudah berusia 19 tahun. Sekarang sedang menempuh
pendidikan di perguruan tinggi.
“Apakah
Papa sedang menikmati keindahan cahaya senja itu?” lanjutnya, kemudian ia duduk
di kursi sebelahku yang dipisahkan oleh meja kecil. Bunga warna merah di dalam
vas kecil mentereng di atas meja, lusuh. Sejak dulu, bunga itu tak pernah
pindah tempat, apalagi terganti dengan bunga yang baru.
Aku
menoleh ke arahnya. Ia sepertinya menunggu jawaban atas pertanyaannya. Ia
sedang memandang ke arah cahaya yang temaram, mungkin ia sedang mencoba mencari
jawaban sendiri dengan menikmati cahaya di sore yang amat cerah itu.
Garis
kecantikan di wajahnya semakin tampak sejalan dengan usianya yang semakin
dewasa. Aku teringat wajah ibunya yang cantik, amat mirip dengannya. Mamanya
telah pergi sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
“Nak,”
Aku memulai menjawab, ia menoleh ke arahku, “ Senja itu indah bukan hanya
karena cahayanya yang jingga. Tapi yang membuat senja semakin indah adalah
momentum.” Aku diam sejenak, “Seperti halnya kamu, Nak. Yang menjadikanmu
cantik bukan hanya parasmu, tapi juga tergantung waktu orang yang sedang
memandangmu.”
“Maksudnya?”
“Kecantikanmu
saat ini bukan berarti kecantikan untuk esok hari. Sekarang ini orang
mendefinisakan cantik dengan perempuan yang berwajah putih, tubuh langsing,
rambut lurus. Mungkin, suatu saat, definisi cantik akan kembali berubah, kembali ke definisi cantik masa dulu; perempuan cantik adalah mereka
yang bertubuh besar, berambut keriting, warna kulit hitam, dan yang lainnya.”
Senja
tampak serius mendengarkan penjelasanku, “Oooh...seperti di zaman kekaisaran
Romawi. Wanita cantik adalah yang bertubuh gemuk karena dianggap subur.”
“Betul.
Yang mempengaruhi opini publik dalam mendefinisikan cantik adalah media. Semua
aktor Holywood diperankan oleh wanita bertubuh kecil, sih.” lantas aku tertawa.
“Lalu,
kenapa keindahan senja juga tergantung waktu tertentu?” ia menaikkan kedua alisnya.
“Keindahan
senja akan berbeda jika terjadi di awal hari. Di awal hari, manusia dipenuhi dengan
gairah mengejar nafsu yang membuncah dalam hati mereka. Sedang waktu senja di
akhir hari akan menjadi momentum kontemplasi manusia atas apa yang dikerjakan
selama sehari. Di dalam agama kita disebut muhasabah yang akan membawa manusia
pada titik pertaubatan.”
Senja
menganggukan kepala tanda mengerti apa yang kukatakan, “Jika aku boleh membuat
perumpamaan, siang hari adalah kehidupan dan malam hari adalah kematian. Waktu senja
adalah waktu perpisahan antara siang dan malam, antara kehidupan dan kematian. Pagi
merupakan awal kehidupan, masa kanak-kanak. Siang hari adalah waktu produktif
seseorang, saat usia dewasa. Dan, sore adalah waktu rehat, atau masa usia tua. Senja
adalah jalan menuju malam kematian yang teramat gelap.”
“Perumpamaan
yang tepat, Nak. Coba sekarang pejamkan matamu....” perintahku pada Senja. Ia
menutup mata, “Kosongkan pikiranmu, dan katakan apa yang kau rasakan” pintaku
lagi.
Beberapa
saat kemudian.
“Ketenangan..”
katanya, lalu diam.
“Rasakan
lagi.”
“Harapan.....
Penyesalan....Kenangan”
“Tepat” kataku dalam hati.
“Pa,
Jika Senja boleh tahu, penyesalan apa yang Papa rasakan hingga saat ini?”
Aku
terkejut mendengar pertanyaan ini. Tapi aku akan ceritakan semuanya, demi
kebahagiaan anakku, Senja.
“Menjadi
pengecut, Nak.” Kataku simpul.
“Hah...Maksudnya,
Pa?” mata Senja langsung melotot memandang ke arahku.
"Simaklah..."
***
Diam-diam,
mataku selalu mengarah ke tempat ia duduk di antara teman-teman, di atas bangku dalam kapal
pengantar yang menyeberangkan kita ke Pulau Sempu dari pantai Sendang Biru. Kebahagiaan
dalam bayang-bayang berguguran dari hati yang paling jujur. Perasaan seperti
ini, amat biasa untuk orang yang sedang jatuh cinta. Jadi aku tak perlu panjang
lebar menjelaskan tentang rasa yang kualami ini. Begitulah rasanya mencintai. Dan, jika jatuh cinta itu biasa saja. Biasa yang istimewa.
Yang
tak biasa dari kisah cintaku, paling tidak berbeda denganmu adalah, perasaan
cinta ini tak pernah mau keluar dari dalam hati. Hanya terus, dan terus
mencintai. Hanya itu yang aku bisa. Sudah hampir 3 tahun lamanya, sejak
pertemuanku dengannya di kampus, dalam sebuah komunitas pecinta alam.
“Jangan
melamun. Kita sudah hampir sampai di Teluk Semut”, suara salah satu temanku
tadi membuyarkan lamunanku. Segera kuangkat ransel besarku kemudian menuruni
tangga perahu.
Sampai
di Teluk Semut, matahari tepat di atas kepala. Cahaya matahari jatuh di atas
ombak-ombak kecil, berkejaran menuju akar pohon bakau yang memenuhi di pinggiran pulau Sempu.
Teluk
Semut merupakan tempat berlabuhnya kapal pengantar pengunjung pulau Sempu. Jarak
antara Sendang Biru dan tempat ini hanya sekitar 500 meter. Perjalanan menaiki
kapal ditempuh selama 15 menit. Dalam waktu yang pendek itu, lamunanku di atas kapal
tadi, telah menempuh jarak yang amat jauh dalam bayangan kebahagian menjalin cinta
bersama seseorang yang dari tadi kupandangi diam-diam, ialah yang berambut panjang terkuncir, kulitnya tak hitam legam juga tak
putih mulus, tubuhnya juga tak seseksi artis pencetus kata “Sesuatu” yang
sekarang jadi tren untuk mengucap ungkapan syukur. Dan sekarang ia berada tepat
di belakangku saat kita mulai menyusuri jalan menuju Segara Anakan, di dalam
pulau Sempu seluas 877 ha.
Bersama
10 anak aku berekspedisi di pulau ini. Kita berjalan mengular, aku dan dia
berada paling belakang.
Jalan
yang berbahan tanah liat, batu karang semburat di mana-mana, akar pohon menjulur semrawut tak beraturan di
tengah jalan setapak, pohon tumbang melintang, pasti akan semakin mempersulit
perjalanan jika turun hujan. Untung, hari itu cuaca sangat cerah.
Ransel
besar berisi perbekalan dan tenda menarik kuat urat persendian hingga menyebabkan pegal-pegal. Keringat
mengalir dari seluruh pori tubuhku. Menyusuri jalan sepanjang sekitar 3 km
untuk sampai di Segara Anakan cukup menguras tenaga.
“Awang,
tunggu....” suara di belakangku memaksa aku untuk memperlambat langkah.
“Ah, betapa bodohnya aku, membiarkan
perempuan berada paling belakang.” Pikirku. “Apalagi jalan yang terjal dan licin seperti ini, ah... hinanya aku jadi
seorang lelaki”
Sebelum
menoleh ke belakang, aku hirup nafas dalam, agar aku tak kelihatan grogi dan
tetap mampu menatap ke arah matanya, tanpa meninggalkan jejak keraguan
sedikitpun. Kemudian aku membalikkan badan dan memberikan senyum kepadanya, “Panas
banget, ya.” Kata basa -basiku memulai pembicaraan.
“Iya
nih, aku capek, Wang.” Ia berjalan ke arahku. Aku melihat wajahnya dipenuhi basah keringat. Butiran air bening mengalir di kening dari rambut yang
berujung basah. “Cantik” dzikirku
dalam hati. Memaksa aku menelan ludah yang terasa keras di tenggorakan.
“Istirahat
bentar, yuk Wang.” Lalu ia membanting
tubuhnya di samping aku berdiri. Dan aku pun duduk di sebelahnya. Sementara teman-teman
sudah jauh di depan.
Di
bawah semilir angin sejuk di bawah rindang pepohonan, aku dan dia menghilangkan
lelah perjalanan yang sudah cukup
panjang. Saat itu, di pulau yang sedemikian luat, serasa hanya ada aku dan dia.
Momentum yang jarang-jarang terjadi. Sangat damai mempesona kurasakan. Tapi saat-saat seperti itu, aku juga harus pintar menyembunyikan rasa grogi di depannya.
“Itu,
dari sini Segara Anakan sudah kelihatan” aku memeluai pembicaraan, menunjuk ke arah warna biru air yang
berkilauan di bawah terik matahari tampak dari celah dedaunan.
“Iya,
bagus.” ucapnya sambil mengipas-kipaskan telapak tangan di lehernya.
“Seperti
bintang berkilauan di langit” aku menambahi.
“Hemmm....”
ia tersenyum kecil.
Sesudah
cukup beristirahat, aku dan dia melanjutkan perjalanan. Tak lama, aku dan dia sampai
di hamparan pasir pantai Segara Anakan yang tak begitu luas.
Tempat
ini sangat memanjakan mataku yang baru pertama kali berkunjung di pulau Sempu. Aku
seperti baru saja memasuki pintu surga terserpih di dunia, di alam yang sangat
indah, tepatnya di Malang bagian selatan, Indonesia.
Segara
Anakan berair warna biru jernih dengan ombak ombak kecil menyentuh bibir pantai
berpasir bersih. Aku yang sedang berdiri di bibir pantai dapat melihat
dasarnya yang putih. Di seberang barat sana, bukit menjulang tinggi sebagai
pembatas antara Segara Anakan dan Samudera Hindia. Pun di sebelah timur juga
menjulang bukit lebih tinggi, sementara di antara bukit tadi terdapat
terowongan sebagai tempat masuk air ke dalam Segara Anakan, berdebur ombak
besar membentur dinding tebing. Berada di sini, di kelilingi bukit yang
menjulang, serasa aku berada di dalam lingkaran keindahan yang tiada habis
dinikmati.
Melihat
kejernihan air membuatku tak betah. Aku segera menyeburkan diri, mengikuti
teman-teman yang sudah lebih dulu berpadu dengan air. Segala kepenatan dan
kepayahan langsung luntur bersama basuhan air yang begitu mendamaikan.
Begitu
ajaibnya air. Bisa memadamkan semua yang panas, tak hanya mematikan api yang
menjulat tapi juga mematikan emosi yang membara dalam diri manusia. Pun ketika
orang diliputi rasa amarah, akan kembali tenang ketika bersentuhan dengan air.
Setelah
selesai bermain dengan air, kita semuanya mendirikan tenda kemudian masak untuk
mengisi perut yang sudah keroncongan. Matahari mulai menuju temaram. Semburat warna
jingga dari balik bukit, menegaskan keindahan alam semesta ciptaan yang Maha
Pencipta dengan cinta yang maha.
Bintang-bintang
mulai tampak bertebaran tak beraturan di langit. Bintang itu mempunyai arti
tertentu bagi yang mafhum ilmu perbintangan, tapi untuk orang sepertiku,
bintang hanyalah sebuah hiasan malam yang menemani aku dalam setiap kegalauan dalam
diriku menjadi seorang pengecut, yang tak pernah punya keberanian mengatakan
cinta pada orang yang ada di sampingku, saat ini.
Satu
per satu, teman-teman yang sedang menikmati keindahan malam di pinggir pantai saat itu telah undur diri untuk istirahat, pergi ke tenda masing-masing. Hanya tersisa
aku dan orang yang aku cintai selama ini. Ya, adalah dia yang tadi siang
istirahat bersamaku di bawah rindang dedaunan.
“Awang,
maukah kamu membuatkan puisi untukku.” Pintanya itu membuatku terhenyak,
menjadikan hatiku berdebar-debar dan berpikir, “Mungkin, inilah waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku
kepadanya.”
“Hemmm...”
aku tersenyum menoleh ke arahnya dalam balutan gelap malam, “aku tak bisa buat
puisi.” Pungkasku simpul. “Ah, kalimat
ini tak seharusnya yang aku ucapkan” riuh hatiku, ‘Sebenarnya dari tadi aku
telah membuat puisi untukmu, yang aku susun dari cahaya bintang yang berkedip
cantik seperti wajahmu.’ “Ah, seharusnya
aku bilang seperti itu.”
“Ayolah, Wang. Aku kemarin pernah baca puisimu
kok di buku catatan kuliahmu” ia
kembali memaksa.
“Kamu
jahil juga, ya, ternyata....”
“Ayolah...”
paksanya dengan suara merengek manja.
“Baiklah,
baiklah, tunggu sebentar, ya..”
Aku
menjumputi kata-kata yang berkelebat dalam pikiranku, dalam hening malam nan
indah. “Ini dengarkan..” aku tetap menatap ke langit.
Senja
Bening Lazuardi kembali menyapa
Desir angin
dan dedaunan merunduk
Kaki ombak
mulai berjingkrak
Berharap
setiap malam ada sebongkah bahagia
Dalam
hening senja bening lazuardi
Di dalam
hati paling jauh
Menyimpan
cahaya kerinduan yang semakin tumbuh
Menjelma
malam pekat penuh rindu mengaduh.
“Tuh, kan, bagus puisimu...” ia
memuji. Aku arahkan pandanganku ke wajahnya yang terlihat samar-samar tertimpa
cahaya redup bintang. “Senja itu pasti aku, kan, Wang?” suaranya lembut seperti
angin yang mengalun di malam itu.
Kali ini aku ingin mengatakan ‘iya’, “He...he...he... Untuk seseorang
yang sangat dekat denganku pastinya.”
“Iya kan, yang paling dekat denganmu
sekarang ini kan aku, Wang.”
“Masak?” Aku semakin yakin, ini
adalah waktu yang tepat, agar ia tahu kalau aku diam-diam memujanya dalam
kidung cintaku.
Tapi bagaimana jika ia menolak? Bagaimana jika ia malah menjahuiku? Bagaimana jika berubah membenciku? Bagaimana jika....? Bagaimana jika...? Bagiamana...? Bagaimana?
Tapi bagaimana jika ia menolak? Bagaimana jika ia malah menjahuiku? Bagaimana jika berubah membenciku? Bagaimana jika....? Bagaimana jika...? Bagiamana...? Bagaimana?
Sesaat hening tanpa pembicaraan. Ia tak berkata-kata apapun, sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Terima
kasih, Wang, puisinya.” Suaranya memecah kesepian. Ia bangun dari duduknya. “Aku mau istirahat. Duluan,
ya...” kemudian ia beranjak.
Pandanganku
mengikuti arah kakinya membelah kegelapan.
“Senja.....”
teriakku memanggilnya, setelah aku mencoba membuang segala pikiran negatif tentang pertanyaan bagaimana jika yang sebelumnya memenuhi otakku.
“Iya.
Kenapa, Wang?” ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku.
Sunyi.
Hening. Terdengar suara ombak malam yang mendebur di balik bukit Segara Anakan.
“Iya,
Wang. Ada apa?” Senja mengulangi menjawab panggilanku.
Masih
sunyi. Masih hening.
“Awang....”
ia balik memanggilku.
“Gak
ada apa-apa, kok. Selamat malam, selamat istirahat, Senja.”
Aku
kembali duduk. Memandangi langit dan bintang lagi, melukiskan wajah Senja,
perempuan bidadari yang pasti akan aku sesali esok hari, karena aku tak pernah
berani menguntai bahagia bersamanya.
Keesokan
harinya, dalam perjalanan pulang, Senja menghampiriku, “Awang, bunga merah ini
aku petik dari atas bukit dekat Segara Anakan. Sebagai balasan puisi untukku
tadi malam” ia tersenyum, lalu mempercepat langkahnya meninggalkanku di
belakang.
“Terima
kasih, Senja...” ‘Senja Bening Lazuardi’
aku menyebut namanya lengkap dengan suara yang kulirihkan.
Bersambung.......
Pulau
Sempu, 13 Juni 2012
0 Comments