AULIA

jufri.deviantart.com

“Berangkatlah ke pesantren, Nak. Sudah ada ibu yang mengurus bapak. Kamu, belajarlah yang rajin.”

Sore itu juga, Aulia langsung kembali ke pesantren tempat ia menimba ilmu.

Langkahnya terasa berat meninggalkan bapaknya yang sedang terkulai lemas karena sakit. Bapaknya adalah penopang kebutuhan keluarga sepenuhnya. Ibunya sudah tak lagi kerja.

***
Di kampung Ilodan, hampir semua wanita bekerja sebagai "penjual" tubuh. Saat siang hari, kampung itu sangat sepi. Ketika malam mulai merayap, lelaki hidung belang pencari kenikmatan sesaat, mulai berkeliaran meramaikan jalanan di setiap sudut kampung; mencari pasangan yang hendak dikencaninya.

Setiap tahun, menjelang bulan Ramadhan, kampung Ilodan selalu didatangi oleh sekelompok orang yang ingin membubarkan semua praktek maksiat di tempat itu.

Bagi Pak Sakir, kejadian yang tak akan pernah ia lupakan adalah kejadian ketika ia baru 1 tahun pindah di kampung Ilodan. Pada suatu malam, satu hari sebelum masuk bulan Ramadhan,  orang-orang datang dalam kelompok besar merusaki rumah yang ada di sana, tak terkecuali. Malam yang biasanya tenang berubah menjadi riuh oleh jerit wanita-wanita dan anak kecil yang ketakutan terhadap ulah orang-orang yang marah membabi buta. Pak Sakir dan istrinya yang sedang berbincang di ruang tamu juga menjadi korban amuk massa yang terjadi.

“Bubarkan tempat-tempat maksiat ini...” begitu pekik pemimpin kelompok yang memakai seragam serba hitam.

“Hancurkan.....” sambut yang lain sambil memecahi kaca rumah-rumah.

Mendengar keributan di luar rumah, Pak Sakir langsung keluar.

“Hentikan...” cegah Pak Sakir saat melihat apa yang sedang terjadi di depan matanya, “Tenang...tenang...Kita…,” belum sempat ia menyelesaikan bicaranya, ia keburu mendapat pukulan telak di bagian belakang lehernya. Seketika pandangannya kabur. Belum puas, seorang datang lagi, menambah pukulan di perutnya. “Beggg....” Pak Sakir kemudian hanya melihat gelap, tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.

Setelah ia sadar, pukulan kembali menghujam. Tapi kali ini, pukulan bukan menyakiti tubuhnya, tapi hatinya. Istrinya yang sedang hamil muda harus dibawa ke rumah sakit karena terjatuh ketika akan menolongnya yang sedang dikeroyok massa. Tragis, nyawa istrinya tak dapat diselamatkan, tapi untung, bayi yang sedang ia kandung masih bisa ditolong.

Sendirian Pak Sakir merawat bayinya. Baru setelah bayi itu berusia satu tahun, ia menikah lagi dengan Fatimah, wanita pelacur.

Pak Sakir adalah orang yang sederhana. Ia bekerja sebagai guru negeri yang ditugaskan mengajar di sebuah SD kampung Ilodan. Bayarannya satu bulan hanya cukup untuk kebutuhan keluarga satu bulan.

Ia pindah ke kampung Ilodan sejak 30 tahun lalu bersama istri pertamanya. Ia mengerti sekali dengan keadaan kampung Ilodan. Wanita-wanita yang berprofesi sebagai pelacur sebetulnya bukan karena keinginan mereka sendiri, melainkan karena tuntutan hidup mereka.

Berkali-kali lokalisasi di kampung Ilodan akan dibubarkan oleh pemerintah kota setempat,  maupun oleh Ormas yang tidak setuju dengan adanya tempat itu, tapi masalahnya tak pernah tuntas. Sekarang dihancurkan besok tumbuh lagi. Begitu seterusnya. Sebab, usaha pembubaran tersebut tak pernah menyentuh akar permasalahan sesungguhnya. Karena sebenaranya, praktek kemaksiatan yang marak di kampung Ilodan adalah demi menyambung nyawa mereka sendiri.

99 persen wanita bekerja sebagai pemuas birahi lelaki bukan karena demi kenikmatan, tapi memang terbentur dengan keadaan. Tepatnya 28 tahun lalu, yang membuat Pak Sakir mengerti realitas yang terjadi di kampung Ilodan. Adalah perbincangan Pak Sakir dengan Fatimah sebelum menjadi istrinya.

“Kenapa kamu mencari nafkah dengan menjual tubuh, bukankah ada pekerjaan lain yang lebih halal?”

“Mau kerja apa, Mas. Wong ijazah SD saja aku tak punya. Sementara melamar kerja, semuanya butuh ijazah. Memang ada banyak tawaran kerja ke luar negeri. Tapi setelah aku tahu, aku jadi miris sendiri. Banyak berita-berita yang mengabarkan sering terjadi penyiksaan tenaga-tenaga kerja di negeri orang. Dari pada mati, kan  lebih baik memilih yang lebih aman saja.

 “Ah, hidup ini memang keras, Mas.” Lanjutnya. “Sebenarnya bukan keinginan kita bekerja seperti ini. Semua perempuan di kampung ini mungkin juga punya pikiran sama. Kita semua pasti mengharapkan punya kerjaan yang halal dan hidup bahagia bersama keluarga.”

“Sejak kapan bekerja seperti ini?” tanya Pak Sakir lagi.

“Yaaa…sudah lama lah pokoknya.”

“Kalau pengen hidup bersama keluarga, kenapa gak cari suami?”

“Emang ada orang yang mau menikahi seorang wanita pelacur? Aku kira gak ada yang mau, Mas” katanya sambil menebaskan tangan kanannya melambai.

Setelah pertemuan itu, Pak Sakir menawari Fatimah menjadi istrinya. Meskipun dalam kitab suci yang ia yakini melarang untuk menikahi perempuan ahli zina, tapi Pak Sakir mempunyai tafsir sendiri, bahwa menikahi perempuan pelacur adalah jihad kecilnya untuk menghentikan praktek pelacuran di kampung Ilodan tersebut.

Menurutnya, berani menikahi pelacur adalah pemecahan masalah yang lebih realistis dan menyentuh akar permasalahan dibandingkan dengan hanya berkoar-koar dan merusaki tempat-tempat praktek kemaksitan yang ada di kampung Ilodan. Mereka yang berani mengambil jatah menikahi empat wanita pelacur misalanya, adalah meraka orang-orang yang shaleh, orang-orang yang bisa berpikir panjang. Toh, seorang lelaki boleh menikahi wanita hingga empat, asal bisa adil di antara istrinya itu. Kalau hanya sekedar menyeru penumpasan kemaksiatan tanpa berpikir ke depan, burung Bio pun bisa. Kalau sekedar menghancurkan, orang edan pun juga bisa. 
***
Sudah satu minggu, Pak Sakir hanya bisa berbaring di atas ranjang ditemani istrinya, Fatimah. Dokter mengatakan bahwa penyakitnya hanya bisa sembuh jika dioperasi. Sedangkan uang yang ada semakin menipis, biaya operasi sangat mahal.

“Aku carikan hutangan lagi di tetangga lagi ya, Pak.” usul istrinya yang tak tega melihat keadaan suaminya yang semakin hari semakin melemah.

“Ndak usah, Bu. Aku baik-baik aja, kok. Lagian uang yang ibu pinjam di Bu RT buat tebus obat kemarin belum sempat dibayar, kan?” cegah Pak Sakir dengan suara lirih.

Diam-diam tanpa sepengetahuan suaminya, Fatimah menawarkan dirinya kepada lelaki yang dulu pernah menjadi pelanggannya. Tapi sayang, pamornya sudah kalah dengan pendatang-pendatang baru yang lebih muda.

Ia memutar otak lagi untuk mendapatkan uang untuk biaya operasi suaminya. Dalam pikiran yang kalut, ia sempat punya pikiran menjemput Aulia di pesantren dan membujuknya agar ia mau menjual keperawanannya. Tapi sebaiknya ia pulang dulu, mengatakan niatnya kepada suaminya. Barangkali ia setuju.

***
Di pondok pesantren Al Islam, Aulia sedang sholat hajat untuk kesembuhan bapaknya. Ditemani oleh sahabatnya, Eva, mereka mendoakan agar bapak Aulia segera sembuh dari sakit.

Usai berdoa, mereka mapan tidur. Ketika menutup mata, pikiran Aulia terbayangi oleh wajah bapaknya. Pikiran-pikiran negatif membuat jantungnya berdebar kencang.
Eva yang tidur di sampingnya, mendengar isaktangis Aulia. “Kenapa kamu menangis?” tanya Eva.

“Aku takut, Mbak. Bagaimana jika bapakku…”

“Sssttt…” potong Eva. “Semuanya akan baik-baik saja. Yakinlah, Allah akan mendengar doa hambanya yang berdoa. Kamu ingatkan firman Tuhan: ud’uni astajib lakum. Berdoalah kepadaku, maka aku (Allah) akan mengabulkan doa kalian. Allah pasti mendengar doa anak yang sholihah sepertimu, Aulia. Dan doa anak yang sholehah kepada orang tua itu termasuk doa yang mustajabah, doa yang mudah untuk dikabulkan oleh Allah. Sekarang tidurlah, dari pada nanti tangismu membangunkan yang lain.”

“Terima kasih, Mbak.”

Eva adalah sahabat Aulia di pesantren, sahabat yang setia menemaninya dalam suka atau duka. Ia selalu ada untuk Aulia, begitupun sebaliknya. Meskipun usianya lebih tua dari pada Aulia, ia tak pernah merasa bahwa dirinya lebih dewasa atau lebih pintar. Ia sering menanyakan tentang pelajaran yang tak ia pahami pada Aulia. Dalam bidang akademi, Aulia memang santri paling cerdas di antara santri yang lainnya.

Baru saja mereka berdua akan memejamkan mata lagi, ada orang yang mengetuk pintu kamar. Setelah uluk salam, orang itu membuka pintu.

Ukhti Aulia….. Tantadhiru ummuki fid diwan.” orang itu berbicara dengan bahasa Arab.
Aulia mendengar namanya dipanggil, ia langsung bangun kemudian cepat-cepat menutup kepalanya dengan sehelai kain.

Na’am, Ustadzah…” jawab Aulia. Ia langsung bergegas, berlari menuju kantor pesantren. 
Sampai di kantor, ia langsung mengecup tangan ibunya. “Ada apa, Ibu, kok datang ke pesantren malam-malam begini?”

“Bapak menyuruhmu pulang, Nak.”

“Bagaimana keadaan Bapak, Bu?” Aulia mulai khawatir ada apa-apa dengan bapaknya.

“Kita bicarakan di rumah saja.”

***
Aulia langsung memeluk bapaknya yang sedang berbaring di atas ranjang. Airmatanya mengalir menangisi bapaknya,  keadaannya lebih parah dari pada saat ia tinggalkan berangkat ke pesantren beberapa waktu silam.

“Sakit bapakmu sudah semakin parah, Nak.” kata ibunya sambil memegangi pundak Aulia.

“Kenapa gak dibawa ke rumah sakit saja, Bu.”

“Dokter menyuruh agar bapakmu segera dioperasi. Biaya operasi itu sangat mahal bagi kita. Ibu bingung dari mana harus mendapatkan biaya itu.” dengan mata berkaca-kaca, ia melanjutkan, “Berhari-hari ibu telah mencoba cari uang dengan menceburkan diri lagi ke lembah pelacuran, tapi sudah tak laku. Yang mereka cari sekarang adalah gadis-gadis muda SMA. Mendapatkan gadis semuda itu, sekarang juga tidak sulit. Ibu yang sudah tua ini, tentu kalah jauh dengan mereka.”

Aulia bangun dari duduknya dan mengajak keluar ibunya dari dalam kamar.

“Apakah aku laku dijual, Bu?” kata Aulia.

Mendengar ungkapan Aulia, tentu ibunya sangat terkejut. “Kamu adalah anak perempuan satu-satunya. Kamu dididik di pesantren agar menjadi anak yang sholehah. Bapakmu selalu mengharapkanmu menjadi perempuan yang beradab, menjadi pemimpin, menjadi contoh, untuk semua perempuan dengan budimu yang luhur. Bukan menjadi pelacur seperti kebanyakan wanita di kampung ini.”

“Untuk bapak, aku rela melakukan semuanya, Bu.”

***
Keringat dingin keluar dari seluruh tubuh Aulia. Malam ini adalah pertama kalinya ia berduaan di dalam kamar dengan seorang lelaki. Pria inilah yang menghargai keperawanan Aulia dengan tawaran paling tinggi diantara penawar lainnya. Ia akan membayar dengan menanggung semua biaya operasi bapaknya ke luar negeri.

Di dalam kamar bercahaya redup, di atas seprai warna putih, Aulia berbaring. Dalam ketakutannya, ia mencoba memberanikan diri melirik lelaki yang akan dihiburnya malam ini. Samar-samar, Aulia melihat lelaki itu sedang melepas dasi dan kemejanya, kemudian ia mencentelkannya di balik pintu. Setelah itu, ia menelan sesuatu ke dalam mulutnya lalu berjalan mendekat dan berbaring di samping Aulia.

Jantung Aulia berdebar hebat, ia memejamkan mata, ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Lelaki itu memiringkan tubuh seraya memandang ke arahnya. Aulia tak berani membuka matanya. Dari dalam tubuhnya semakin deras mengalirkan keringat dingin, mencoba melawan rasa takut. Tapi semuanya, apapun yang akan terjadi, harus ia lakukan.

Tiba-tiba lelaki itu memegang tangan Aulia yang terbujur kaku di atas dadanya. Lelaki itu menggenggam tangan kanan Aulia, menggiring ke bagian tubuhnya.Ia hanya pasrah dengan apa yang dilakukan oleh lelaki itu. Dari kerut kulit yang menyentuh tanganya, lelaki yang ada di sampingnya ini dapat dipastikan sudah tidak muda. Mungkin sudah seumuran bapaknya.

Belum sampai menyentuh apapun, suara keras menggedor-gedor di balik pintu. “ Dooor….dorrr…..”

“Buka pintu, buka pintu…. dasar pezina laknatullah.”

Setelah pintu terbuka, segerombolan orang berseragam serba hitam langsung memukul lelaki yang masih berbaring di atas ranjang bersama Aulia.

“Begg….Beggg…Begg..” lelaki itu seketika tak bergerak lagi.

Melihat kejadian itu, Aulia menjerit histeris. Dua orang bertubuh kekar menghampirinya dan membungkam mulut dan hidungnya dengan kain beraroma sangat menyengat, membuat kepalanya pusing dan pandangannya kabur, kemudian semuanya menjadi hening.

Ketika ia sadar, ia mendapati dirinya sedang berada di atas mobil yang melaju kencang. Entah kemana ia akan dibawa, ia tak tahu. Ia kaget ketika melihat dirinya tak tertutup oleh sehelai benang pun. Ia menjerit sekeras-kerasnya, “Bapaaaaaaaaaakkkk…..”

***
“Aulia….Aulia….” suara Eva membangunkan.

Dengan nafas yang masih memburu, Aulia bangun dari mimpi buruknya.

“Istigfar, Aulia!!!” Eva mencoba menenangkan sahabatnya. “Mimpi apa kamu?” tanyanya sambil menyuguhkan segelas air putih.

Setelah Aulia menceritakan semua mimpinya pada Eva, ia mengatakan pada sahabatnya, “Kata orang tua, mimpi mendekati subuh akan menjadi kenyataan. Aku takut, Mbak.”

“Jangan percaya dengan mimpi, Aulia. Mimpi hanyalah bunga tidur yang diciptakan menurut imajinasi kita sendiri. Mimpi juga berarti ulah setan untuk mengelabuhi manusia. Kecuali mimpi bertemu Rasulallah, karena setan gak bisa menyerupakan dirinya dengan wajah Rasul kita. Dari pada bahas mimpi, yuk, kita ke masjid. Sudah adzan subuh tu…” ajak Eva.

Adzan subuh telah selesai berkumandang, Aulia dan Eva berangkat shalat subuh berjamaah di masjid. Setelah menunaikan shalat subuh mereka kembali ke kamar untuk membaca surat Al Mulk dan Waqi’ah bersama-sama santriwati sekamar.

Ukthi Aulia… tantadhiru ummuki fid diwan.” tiba-tiba ustadzah mecungul dari balik pintu.

Kata-kata itu membuat Aulia kaget. Kata-kata yang sama seperti dalam mimpinya. Ia takut mimpinya akan menjadi kenyataan. Aulia menatap Eva. Eva menatap Aulia. Penuh tanya di wajah mereka berdua.

Aulia bergegas, berlari menuju kantor pesantren. Eva membuntuti di belakangnya.

Sampai di kantor, ia melihat ibu dan bapaknya sedang berbincang-bincang dengan dewan guru di ruang kantor pesantren. Ia langsung menyalami ibunya dahulu kemudian memeluk bapaknya.

“Ini bapakmu sedang kangen sama kamu, Nak. Hari belum terang sudah ngajak berangkat jenguk kamu.” kata ibu Aulia diiringi senyum menyungging di bibirnya.

“Bapak sudah sembuh, kan?” tanya Aulia.

AlaaaahNduk, orang miskin seperti kita ini, sakit yang paling parah paling-paling cuma demam. Tuhan itu maha Adil, Nduk. Dia mengerti kekuatan hambanya. Lihatlah orang yang sakitnya aneh-aneh, kebayakan adalah orang kaya. Karena uang mereka banyak, mereka mampu buat bayar dokter. Kalaupun kita yang terkena sakit aneh-aneh itu, berarti memang sudah waktunya mati….” jawab bapaknya dengan gaya bicara  ceplas-ceplos.

“Hua…hua…hua…” Seluruhnya yang ada di kantor tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Pak Sakir barusan. Begitupun Eva yang mendengar dari luar kantor, ia tak bisa menyembunyikan wajah bahagianya karena melihat kebahagian Aulia karena kunjungan orangtuannya.

Haduh, Pak Ustadz, dokter sekarang ini kelakuannya semakin bejat. Satu minggu lalu, keluarga kami hampir kena tipu seorang dokter. Dia bilang penyakit saya harus dioperasi. Kalau gak dioperasi gak sembuh, katanya. Karena kami gak ada uang, akhirnya saya larang istriku untuk memenuhi saran dokter itu. Istri saya ini sampai mau cari hutangan untuk biaya operasiku, tapi saya larang. Lha wong, aku merasa baik-baik saja kok mau dioperasi. Ya, mungkin karena waktu itu sedang demam, jadi tubuhku terasa lemas. Gitu kata dokter itu saya terkena penyakit entah apa namanya, istilahnya sangat aneh. Farises atau apa gitulah, saya lupa.”

“Aku kemarin juga sempat mau cari uang dengan melacur lagi lho, Pak. “ ibu Aulia menimpali. Kontan, seluruh ruang langsung hening. “Untung gak ada yang mau dengan tawaranku itu. Ketika aku balik rumah, e…. ternyata… bapak udah duduk santai di depan rumah. Maaf ya, Pak, baru ibu katakan sekarang.”

“Astagpirula halngandim, Buuu….” sebut Pak Sakir yang tidak fasih dalam bahasa Arab sambil menebah dadanya.

Malang, 19 Juli 2012 

Cerpen ini pernah dimuat di NU ONLINE, silahkan kunjungi di sini cerpen "AULIA"

0 Comments