Merindukan Malam Bulan Purnama



Suasana pesantren sedang sepi karena liburan setelah ujian akhir pondok. Hanya segelintir santri yang masih tetap tinggal di pondok. Mereka adalah santri yang telah bernazar atau berjanji kepada kyainya untuk tidak pulang selama lima tahun. Sebab kenapa mereka bernazar seperti itu, adalah karena mereka sangat percaya dengan kata kyainya yang biasa disebut Abah.

“Barang siapa yang tidak pulang selama lima tahun, meskipun otaknya tidak cerdas selama belajar di pondok, abah doakan semoga mereka sukses dalam hidupnya.” begitu dawuh kyai pada santri. Hingga kini,  mereka terus meyakini kebenarannya. 

Jika dinalar memang hal itu tidak masuk akal. Tapi kenyataan telah membuktikan. Jauh sebelumnya, ada  seorang santri yang melaksanakan kata kyai yang tidak masuk akal itu. Selama nyantri,  ia tak pernah paham dengan materi pelajaran, bahkan hingga lulus pun ia tak lancar membaca al Qur’an. Aktivitas yang selalu ia tekuni hanya  membersihkan halaman pondok setiap pagi. Akhirnya, ia menjadi pengusaha bahan bangunan di kampungnya. Dari penghasilannya itu, ia mampu mendirikan lembaga pendidikan untuk anak-anak yatim.


Malam itu, bulan purnama di tengah bulan Sya’ban, 15 hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Di dalam masjid, ada seorang santri yang sedang membaca surat Yasin yang diulang-ulang tiga kali. Suaranya, terdengar lirih-lirih dari luar masjid. Dalam doanya ia melafalkan, allahummarzuqni, allahumma tawwil umri, allahumma tsabit imaani.Tuhan, berilah aku rizki yang banyak dan halal. Tuhan, panjangkanlah usiaku dalam ketaatan di jalanmu. Tuhan, tetapkanlah imanku hingga ajal menjemput.

Sementara di luar masjid, cahaya bulan menggenang di pelataran pondok. Duduk seorang lelaki di halaman masjid paling tepi. Masjid itu berada di tengah bangunan yang melingkar segi empat. Sejak habis jamaah isya’ tadi ia tak beranjak dari tempat itu. Jika diamati, dia bukan salah satu santri pondok ini, Pondok Pesantren Al Faqir Ilallah.

Santri yang baru saja keluar dari dalam masjid menyapa lelaki yang baru saja ia temui, “Mas…” sapanya diiringi senyum. Tapi sepertinya ia tak tahu ada orang yang menyapanya, lelaki itu tetap diam, tak membalas. Sedang kenapa sebenarnya, galau kah? Bisu kah? Cuek kah? Muak kah?

Ia mengulangi lagi, “Mas…” sambil mengulurkan tangan mengajak salaman. Lelaki itu tetap diam dengan pandangan kosong, lantas santri tadi menepuk pundak orang yang sedang duduk termenung di sampingnya. Kali ini, lelaki itu tampak kaget kemudian menoleh ke arah santri yang menyapanya.

Jenengan siapa?” tanya santri.

“Aku alumni pondok ini.” jawabnya.

“Ooo…”

“Ini liburan kok gak pulang?”

“Ndak, Mas.”

“Sudah sekian tahun gak pulang karena memenuhi nazar gak pulang lima tahun, ya?”

Jenengan dulu juga pernah melakukan ini?”

“Pernah, sudah menjadi tradisi santri sejak dulu. Apalagi yang ber-IQ rendah seperti aku ini, yang hanya bisa mengharapkan barokah dari kyai lantaran mentaati tutur kyai. Tapi saya gagal karena ada masalah dengan keluarga.”

“Ooo… gitu.”

“Ya, semoga sampean lancar menjalankan nazarmu ini, Dek.”

“O, iya, Mas, jika boleh berbagi pengalaman, tadi kata jenengan yang menjadi sebab kegagalan dalam menjalankan nazar ini adalah keluarga. Kira-kira kenapa, Mas?”

“Karena aku disuruh masuk di Universitas oleh orangtuaku.”

“Bukankah itu lebih keren?”

“Iya, memang, dulu, menurutku emang lebih keren.”

“Pendidikan di Universitas sampai sekarang kan memang lebih keren dari pada pendidikan di pesantren, Mas?”

“Jika sampean sudah tahu, Dek, tak ada lembaga pendidikan yang menggembleng anak didiknya seikhlas seperti di pesantren.”

“Maksudnya, Mas?”

“Universitas dan lembaga pendidikan lainnya, kebanyakan orientasinya adalah uang, uang, uang, dan uang. Sehingga lulusan yang dicetak pun berorientasi uang; setelah lulus, mereka akan berupaya menarik kembali uangnya yang telah dibayarkan pada kampus.”

Lelaki yang tadinya hanya diam tadi menarik sebatang rokok dari dalam bungkus di depannya kemudian melanjutkan ucapan sebelumnya “Contoh…” suaranya tak terdengar jelas karena tersumbat batang rokok yang ia apit dengan kedua bibirnya. Setelah bara api di ujung batang itu menyala, ia melanjutkan, “Dalam kasus mencari uang ganti, kita ambil contoh seorang dokter di Indonesia. Kebanyakan dokter di negeri ini, memberi obat pada pasiennya secara tidak semestinya. Layaknya orang batuk bisa sembuh dengan hanya satu obat, tapi dokter memberi bermacam-macam obat. Intinya cuma satu, agar stok obatnya laris manis. Dan harga obat itu tidak murah.”

“Mungkin katamu itu bener, Mas. Aku kemarin sakit demam karena kehujanan, setelah periksa ke dokter, aku diberi obat buaanyak sekali. Akhirnya, obat itu hanya aku minum satu macam saja. Lihat obat segitu banyak macamnya aku jadi ingin muntah…….. tapi alhamdulillah, saya tetap dikasih sembuh, Mas.” Santri itu kemudian menertawakan ucapannya sendiri.”

“Semoga di negeri ini, pendidikan macam apa pun tak berorientasi mencari uang. Pondok pesantren pun akan kehilangan ruhnya jika hanya mencari uang. Harapanku pondok ini tetap mendidik dan mencetak orang-orang berakhlak baik meskipun tak pintar akalnya. Ya, mencetak santri seutuhnya, seperti kata santri itu sendiri yang diambil dari bahasa sansakerta; san= orang baik; tra= suka menolong, yang mendasarkan setiap lakunya atas cinta.”

“Amin…. Kalau aku baca buku sejarah, pondok pesantren telah melahirkan tokoh-tokoh hebat seperti, HOS Cokroaminoto guru pertama Soekarno, KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir, semuanya sangat berpengaruh pada era pra-kemerdekaan.”  

“Betul. Pesantren sebagai sistem pendidikan tertua di Indonesia ini sudah banyak berjasa kepada bangsa.”

“Berarti jenengan sekarang masih kuliah, ya, Mas?”

“Sudah tidak lagi. Aku di-droup out karena sudah 7 tahun tidak lulus.”

“Tetap semangat, Mas. Kalau gitu balik aja ke pondok ini lagi.” santri itu terkekeh mencoba menghiburnya, 

“Ya sudah, aku mau ke kamar duluan, Mas,” pamitnya.

Setelah santri itu tadi pergi meninggalkannya, suasana sunyi kembali. Seorang lelaki tadi kembali memandangi langit biru berbintang kemudian pandangannya turun ke setiap bangunan pondok pesantren yang mengelilingi tempat ia termangu. Setiap bangunan yang diam itu ternyata mahir bercerita kepadanya tentang masa-masa lalu ketika ia masih nyantri di pondok ini. Ia menikmati kembali sebuah pertunjukan layar lebar mungkin pantas jika diberi judul “Kenangan”.

Terlihat jelas saat-saat ia awal-awal menjadi santri; jatuh cinta kepada perempuan; sakit hati karena cinta ditolak; ditempeleng ustadz karena datang telat di pondok;  bersendau gurau dengan teman yang sudah seperti keluarga; dan semua hal lainnya. Setiap titik dari tempat di pondok ini mampu menghadirkan kisah-kisah masa lalu itu. Semua yang suka maupun duka menjadi indah untuk dikenang. Tak dimungkirinya, sungguh, ia merindukan masa-masa lalu.

Saat lelaki itu sedang asyik dengan tayangan yang ia nikmati, tiba-tiba santri yang tadi habis ngobrol dengannya datang lagi membawa sebuah cawan. Ia mengulurkan cawan itu kepada si lelaki, santri mengatakan bahwa semua akan lebih terasa jika melihat kenangan itu melalui cawan berisi air jernih yang kemudian ditaruh di bawah cahaya purnama. Lelaki itupun menuruti perintah santri yang baru saja memberinya cawan.

***
Masa-masa liburan Pondok Pesantren Al Faqiroh Ilallah telah habis. Berdatangan santri baru-baru. Tapi bagi Alan, santri seangkatannya ini tak ada yang baru. Mereka semua sudah pernah Alan temui entah waktu kapan, tapi ia yakin betul, Alan merasa kenal mereka.

Pada suatu hari para santri berkumpul dalam masjid yang baru setengah jadi bersama abah. Meskipun lantainya masih belum dilapisi keramik, dindingnya juga belum diperhalus, tapi masjid itu sudah digunakan untuk kegiatan belajar mengajar.

Barang siapa yang tidak pulang selama lima tahun, meskipun otaknya tidak cerdas ketika belajar di pondok, abah doakan mereka sukses dalam hidupnya.” kata abah, pendiri pondok Al Faqiroh Ilallah, yang sekarang sudah berusia 70an, pada siang hari itu.

Alan yang duduk di barisan paling depan mengangkat tangan tinggi.

“Apakah nanda siap melaksanakannya?”

“Insya Allah… saya tidak akan terpengaruh oleh siapapun, Bah.”



Bangilan, 06 Juli 2012

0 Comments