Santri Harus Menulis



Pada zaman kerajaan di nusantara, kedudukan sastrawan sangatlah penting. Kemampuan di bidang sastra menjadi bagian dari pendidikan umum yang harus diikuti oleh mereka yang ada di istana.

Dulu, pengertian sastra adalah kitab suci yang berisi ilmu pengetahuan. Orang-orang yang belajar sastra disebut santri. Dan, tempat mereka belajar dinamakan pesantren. Mereka dibimbing oleh kawi (orang yang mempunya pengetahuan luar biasa tentang sastra). Orang-orang inilah yang akhirnya menguasai sastra.



Tapi, sebelum abad ke 15 kitab sastra yang berisi ilmu pengetahuan tersebut hanya boleh diketahui oleh orang kalangan istana. Kita dapat membayangkan, betapa bodohnya menjadi rakyat jelata yang terus dicekoki doktrin-doktrin dari istana. Itulah yang menjadi salah satu sebab lahirnya sistem feodal di seluruh dunia, termasuk di nusantara.


Sejak penemuan seni cetak, ilmu pengetahuan tidak lagi merupakan milik eksklusif suatu elite intelektual kecil, melainkan terbuka untuk kalangan umum. Artinya, semua orang bisa mengakses ilmu pengetahuan. Sistem feodal pun runtuh.

Seiring masuknya Islam di nusantara, kata santri diadopsi untuk sebutan orang yang belajar agama di pesantren, yang dibimbing oleh kiai. Kedudukan kiai sama halnya dengan kawi pada masa kerajaan Hindu-Budha di nusantara. Dan santri—pengertian santri sekarang—adalah mereka yang belajar kepada kiai.

Di zaman modern ini, di mana ilmu pengetahuan bebas disebarluaskan—tidak lagi dikuasai pihak istana ‘kerajaan Indonesia’—sebagai santri yang memiliki ilmu pengetahuan, kenapa kita enggan menulis untuk menyebarkan ilmu pengetahuan? Bukankah tujuan kita belajar adalah menghilangkan kebodohan umat manusia?

0 Comments