Kiai Sudrun Berontak


Google.com
Warga tengah menjalankan salat tarawih, ketika suara mirip ledakan bom menggelegar. Tanpa aba-aba, mereka semburat keluar dari musholla.

Mereka langsung pulang, memeriksa rumah mereka. Barangkali ada maling yang sedang beraksi. Pasalnya, sudah lama dusun itu terjadi kasus pencurian yang semakin lama semakin menggelisahkan. Tak pernah terungkap. Mungkin yang melakukan adalah warga kampung sebelah yang terkenal sebagai kampung maling. Sebab, warga dusun mereka sendiri itu, adalah orang-orang yang sangat rajin beribadah. Mana mungkin berani melalukan hal dosa tersebut.

Ketika mereka memeriksa barang di rumah masing-masing, Kang Alim, seorang imam jamaah di musholla berteriak teriak via TOA, “Mbah Sudrun bangkit dari kubuuuuuuuur!!!”

Semua kaget. Orang-orang bergegas kembali ke musholla. Makam Mbah Sudrun yang terletak tidak jauh dari musholla menjadi tujuan mereka. Makam yang sudah berusia ratusan tahun itu berantakan seperti habis terkena bom. Mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri, Mbah Sudrun tiba-tiba berada di dalam musholla.

***
Keesokan harinya, Mbah Sudrun ikut salat berjamaah dengan warga. Setelah selesai salat, ia maju di depan para jamaah  menyampaikan ceramah.

Para jamaah terdiam khidmat ingin mendengarkan pesan-pesan yang akan disampaikan olehnya. Sebab, selama ini mereka hanya mendengar cerita tentang Mbah Sudrun secara turun-temurun bahwa beliau adalah nenek moyang yang membawa agama islam di kampung mereka. Selain itu, berdasarkan tutur yang diwariskan dari generasi ke generasi bahwa Mbah Sudrun adalah orang sakti. Beliau bisa mengubah daun pisang menjadi lembaran uang. Musholla yang mereka tempati sekarang, juga warisan perjuangan Mbah Sudrun. Konon, tempat itu adalah tempat untuk beliau mengajarkan ilmunya.

Ceramah Mbah Sudrun malam itu benar-benar menggetarkan hati para jamaah. Ceramahnya sangat singkat. Tidak seperti ceramah kiai umumnya. Pun begitu mengejutkan.

”Musholla ini, dulu, aku yang mendirikan. Maka, aku, sekarang, juga berhak merubuhkannya kembali.” hanya itu, lalu ia mengakhiri dengan salam.

Orang-orang saling bertatap muka dengan berjuta tanya, kebingungan. Mereka bisa menyimpulkan, ternyata orang dulu yang dianggap pintar, hebat, sakti, ternyata adalah orang ngawur; orang yang berpikir tidak logis. Tapi mereka semua, tidak ada yang berani membantah.

***
Keesokan harinya lagi, musholla yang tidak terlalu besar itu sudah rubuh, rata dengan tanah. Entah siapa yang membantu Mbah Sudrun untuh meruntuhkan bangunan musholla itu.

Mula-mula, Mbah Sudrun menjadikan bekas lahan musholla itu menjadi sawah. Orang-orang juga tidak tahu, dari mana ia mendapatkan alat bertani. Tak ada orang yang sudi membantunya. Mereka telah menganggap Mbah Sudrun orang gila, edan, dan orang yang berdosa karena telah merubuhkan tempat ibadah.

Suasana di kampung itupun berubah. Biasanya, memasuki waktu salat lima waktu, selalu mendayu suara adzan. Tapi sekarang, waktu sehabis senja, yang terdengar hanya suara burung-burung malam yang mulai berkeliaran. Hening, tidak ada lagi suara adzan. Tidak ada lagi orang-orang berpakaian baju taqwa (baju koko/busana muslim) yang  berbondong-bondong pergi ke musholla. Begitulah keadaannya.

***
Pada satu malam, Mbah Sudrun sedang jalan-jalan menyusuri setiap pojok kampung. Ia mendapati gerak-gerik orang yang mencurigakan. Diam-diam, ia membuntutinya. Orang itu menyelinap masuk ke dalam rumah. Mungkin orang itu akan mencuri. Dan, benar!! Ia keluar membawa kambing, berjalan mengendap-endap agar tidak ketahuan orang.

“Maling... Maling... Maling...!!!” pekik Mbah Sudrun. Tak pelak, teriakannya mengundang warga lainnya. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya pencuri itu dapat ditangkap. Mereka menggiringnya ke balai desa untuk diadili bersama.

Tak lama berselang, teriakan Mbah Sudrun kembali membahana, “Di sini juga ada maliiing.....!!!” satu maling terpergok lagi. Saat suasana sedang sepi, ketika orang-orang sedang menggiring maling ke balai desa, rupanya maling yang satu ingin memanfaat kesempatan untuk memuluskan aksinya.

Kedua maling yang sudah diikat tangannya dengan tali tampar, dikerumuni oleh banyak orang. Mereka sudah pasrah dengan hukuman yang akan dijeratkan padanya.

“Ooo, ternyata kalian, yang selama ini meresahkan warga di sini. Sungguh kelakuan yang tak pantas untuk seorang muslim.” kata Kang Alim, berdiri di barisan paling depan dalam kerumunan warga yang sedang berjubel memenuhi balai desa malam itu.

“Kalian harus dihukum mati!” pekik yang lain dengan nada emosi.

“Potong tangannya!” yang lain lagi menimpali.

“Usir dari kampung ini!”

“Kalian tak pantas tinggal di dusun ini. Kalian telah mengotori nama baik dusun kita. Dasar pencuri bajingan....!” suara riuh mengumpat saling bergantian dari mulut mereka. Segala emosi selama ini, mereka tumpahkan pada kedua orang yang sekarang meringkuk pasrah. Wajah kedua orang itu merunduk malu.

Sekian lama, kasus pencurian di dusun itu, memang tak pernah terungkap sama sekali. Ronda malam yang digalakkan ternyata juga tak mampu menakuti ulah para  pencuri. Padahal petugas ronda juga selalu melakukan sweeping seluruh pojok kampung. Pencurian demi pencurian berjalan mulus, tak pernah ketahuan. Tapi malam itu, berkat Mbah Sudrun, semuanya tampak jelas, siapa biang keladi yang meresahkan warga selama ini; yaitu Kang Paijo dan Kang Sulaiman.

Warga mulai percaya kalau Mbah Sudrun memang orang sakti. Buktinya, ia dapat menangkap dua maling dalam satu malam sekaligus, yang sebelumnya tak pernah terjadi.

“Sudah...Sudah...” kata Mbah Sudrun mencoba menenangkan keributan warga. “Biarkan mereka ikut bersamaku. Dan aku berjanji akan mengembalikan barang yang telah dicuri.”

Keributan agak reda. “Aku akan suruh mereka menggarap sawahku. Memberi mereka pekerjaan. Mungkin, malam ini kedua maling ini mencuri karena sedang dalam kebutuhan yang sangat mendesak.” kata Mbah Sudrun.

“Betul, Mbah! Baru satu kali ini saya mencuri. Istri saya sebentar lagi akan melahirkan. Saya belum ada uang. Sedangkan tetangga tak ada yang mau dihutangi. Aku terpaksa mencuri. Maafkan aku!!! ” mohon Kang Paijo yang ketahuan mencuri kambing.

“Saya juga baru satu kali. Karena ada kesempatan. Juga, karena  saya belum dapat kerjaan.” saut Kang Sulaiman dengan wajah memelas.

“Kalian sudah mendengar sendiri penjelasan dari mereka." Mbah Sudrun kembali melanjutkan bicaranya. "Mohon kalian semua maafkan mereka! 

"Jika mereka mencuri lagi, aku yang akan bertanggungjawab. Dan, hukuman yang kalian tawarkan tadi, semoga menimpa kalian sendiri jika kalian juga pernah mencuri.” ucap Mbah Sudrun mengakhiri, sambil berjalan meninggalkan balai desa.

Mendengarkan ucapan Mbah Sudrun yang terakhir, bulu kuduk orang yang teriak-teriak tadi berkidik. Pikir mereka, jika Mbah Sudrun orang sakti, semua yang dikatakan pasti akan terjadi.  

***
Lewat tengah malam. Hanya orang yang punya kepentingan mendesak yang rela keluyuran sendirian hingga selarut itu. Atau mungkin ada misi top secret. Seseorang sedang menuju sawah Mbah Sudrun yang sekaligus tempat tinggalnya. Di pojok petakan sawah itu terdapat gubuk kecil.

Setelah dipastikan keadaan sepi, ia masuk ke dalam gubuk Mbah Sudrun. Di dalam gubuk itu tidak ada barang berharga kecuali tempat tidur yang terbuat dari bambu setinggi lutut. Di pojoknya terdapat cangkul dan sebilah arit menggantung di dinding terbuat dari anyaman bambu.

Di dalam gubuk, orang tadi tidak mendapati Mbah Sudrun ada di sana. Beliau sedang keluar, pikirnya. Ia menunggu, ia duduk di atas dipan di depannya. Malam ini ia harus menemui Mbah Sudrun, sebelum hal-hal yang lebih buruk terjadi.

Tiba-tiba seorang muncul dari balik mulut pintu dengan nafas tersengal-sengal. Tapi yang datang bukan Mbah Sudrun, tapi Kang Diyat.

“Lho, Pak Yai Alim, sedang apa panjenengan ada di sini??” dia kaget dengan keberadaan kiai Alim di dalam gubuk itu.

“Lha, sampean ke sini juga ada urusan apa, Kang?” ia balik bertanya.

“Saya sekedar silaturahmi, Yi.” begitu jawab Kang Diyat.

“Sama. Aku juga.”

Saat mereka sama-sama menunggu, datang lagi Kang Warijan. Kedatangannya tentu juga sangat mengejutkan. Tiga orang sudah, semuanya menunggu Mbah Sudrun. Tapi ia tak juga menampakkan batang hidungnya. Kemana dia sebenarnya?

Waktu terus berjalan. Satu, dua, tiga, hingga hitungan puluhan orang datang ke gubuk Mbah Sudrun. Sekarang gubuk itu berjubel manusia-manusia yang sebelumnya tak pernah berkunjung ke gubuk Mbah Sudrun. Bukan rahasia lagi, kedatangan mereka sebenarnya bukan untuk bersilaturahmi kepada Mbah Sudrun, tapi karena takut dengan ucapan beliau waktu di balai desa kemarin.

Tapi hingga menjelang pagi Mbah Sudrun belum juga pulang. Kemana dia sebenarnya?

Bebarengan dengan kokok ayam jantan tanda datangnya fajar, tiba-tiba datang seseorang mengaku sebagai petugas mengantar surat dari Mbah Sudrun agar disampaikan kepada orang yang datang ke gubuknya. Kiai Alim menerima surat itu dan membukannya. Mereka membaca surat itu bersama-sama.

Jangan jadikan agama sebagai kedok saja. Kalian menjalankan salat tapi sebenarnya kalian tak tahu maksud yang kalian kerjakan itu. Salat kalian laksanakan, maksiat tetap jalan. Sama sekali tidak hamemayu hayuning buwana. Artinya, tidak memberikan kesejahteraan di muka bumi. Bukankah salat yang kalian lakukan seharusnya mencegah perbuatan keji?

Itulah alasanku kenapa aku merubuhkan musholla. Agar salat yang kalian lakukan bukan merupakan formalitas belaka. Bekerja dengan cara tidak merugikan orang lain, itulah hakikat salat sebenarnya. Membantu tetangga yang sedang membutuhkankan agar tidak jatuh dalam kemiskinan, itulah zakat sesungguhnya.  

Sembahyang, seharusnya bisa kalian kerjakan dimana saja, kapan saja, meliputi segala apa yang sedang kalian lakukan...

Tentang ucapanku kemarin, mintalah maaf kepada orang yang barangnya pernah kalain ambil agar kalian tidak tertimpa adzab yang sangat pedih itu..


“Aku minta maaf kepada kalian semua,” kiai Alim mengawali bicara setelah membaca surat dari Mbah Sudrun. “Aku pernah menggunakan uang musholla untuk kepentingan pribadi. Aku berjanji akan mengganti uang itu.”

“Kang Diyat, aku minta maaf. Aku kemarin yang mengambil uangmu.” kata Kang Warijan memohon dengan wajah tertunduk.

Kang Diyat terkejut, tapi ia tak memungkiri bahwa ia pernah mencuri milik Kang Warijan. “Maafkan aku juga, Kang. Aku yang memanen buah mangga di kebunmu yang ada di samping rumahku.” 

Semua yang ada di situ saling minta maaf, yang satu dengan lainnya, yang lainnya dengan satunya. Karena si A pernah mencuri milik si B, dan sebaliknya. A dan B minta maaf kepada C. si C juga minta maaf pada B.  Dan banyak kasus lain, hingga alur pencurian yang lebih rumit untuk dijelaskan. Akhirnya, mereka semua paham bahwa apa yang dilakukan Mbah Sudrun ternyata membawa perubahan. Di kampung itu, hari selanjutnya, kasus pencurian pun tak pernah terjadi lagi.

***

Sedikit demi sedikit, warga kembali membangun musholla di atas tanah milik Kang Alim yang telah diwakafkan. Sementara itu, Mbah Sudrun tidak pernah muncul lagi. Entah pergi kemana.  Lahan bekas musholla lama masih berupa sawah, digarap oleh Kang Sulaiman, karena dia belum juga mendapat pekerjaan lain. Sementara Kang Paijo dapat pinjaman dari Kang Diyat untuk biaya melahirkan. Istri dan anak pertamanya lahir dengan selamat.

Malang, 04 Agustus 2012

0 Comments