Sajak Sajak Kecil (01)



Saat inilah,
ratusan burung camar terbang 
di atas ombak yang mulai membesar
Memulangkan rindu pada lautan. 

Bisakah tuhan menunda datangnya malam,
agar kamu bisa menikmati pesona senja semaumu.

Di dalam jantung malam ada detak,
mengiringi jarum jam yang begitu terdengar jelas.
Aku mengimani rinduku.
Semoga di dalam mimpimu, kau pun meng-amin-i.


Jemputlah aku dalam pusara sepimu.
Panggilah aku dengan air matamu.
Sebab, disitu, kita mengadu rindu. 

Yang kubenci dari malam adalah, aku harus jalan sendirian.
Sementara engkau menjelma kunang-kunang.
Indah.
Tapi tak menerangi jalan.

Sekali lagi, aku ingin duduk di dekatmu,
di tempat biasa kau menikmati senja; memetik luka.
Rindu tak kunjung beralamat.




Yang kupahami tentang cinta adalah; aku harus memilikimu.

Dalam banyak hal kita sering bersandiwara; selain mencintai.

Banyak kata yang ingin terucap.
Hening! Kita diam.
Maka, kuawali, "Aku mencintaimu."
Karena kamu, biasanya suka tanya kenapa.

Denyut kematian di dalam jantung kebahagian.
Jangan biarkan,
jangan biarkan,
gebyar tawa meredupkan jerit tangisan.

Adakah air berhenti sebab jalan di tengah bebatuan.
Halnya rindu,
tiada henti mencarimu,
pun dalam gelap terpekat.

Aku hanyalah wayang,
dimainkan oleh dalang.
Kisah cinta yang tragis,
tak buatku menangis.
Dalang dan penonton nantinya yang bersedih.



Kenapa cinta tak lagi menarik bagimu?
karna kau hanya memaknainya,
dengan ketemuan dengan kekasih,
makan malam bersama, saling telfon.

Lihatlah
lirikan bulan suci
menanti di balik cahaya senja.
Irisan di langit itu bukan luka.
Ialah lentik bibir merah bidadari.

Api yang biasanya memberangus,
agar padam,
dengan kecupanmu yang lembut.

Masihkah ada seorang gadis
 yang air matanya belum kering
sebab kerinduan tadi malam begitu lebat.
Ya, kemudian menjadi doa pagi ini.














0 Comments