Google.com |
Aku
tidak ingat lagi, mengapa aku harus hidup di bumi ini. Aku tidak ingat, mengapa
aku harus hidup. Mula-mula aku terperangkap di dalam lubang sumur. Gelap sekali
tentunya.
Tiba-tiba
hadir sesosok naga yang mengejutkan. “Tidak, tidak!!! Aku tidak boleh takut,”
kata hatiku.
“Ya,
memang kau tak perlu takut,” kata naga, ia mengerti suara hatiku. “Aku di sini
akan menjadi teman yang baik buatmu. Aku bisa mengubah diriku menjadi apa saja
yang kau mau.”
Semua
perasaan takut jadi hilang. Naga itu memang menjadi teman yang baik bagiku. Ia bisa
menuruti apa saja yang aku ingin. Makanan berlimpah, teman hidup, kekuasaan,
semuanya aku dapatkan. Membahagiakan, tapi semuanya menjadi hal yang
membosankan setelah semuanya dan sekian lama.
Kegelisahan
muncul dalam hati. Aku menemui naga itu lagi. Aku ingin kebahagiaan abadi,
ketenangan, kedamaian.
“Maaf,
Tuan, kami hanya bisa memberikan yang bersifat materi. Kebahagiaan abadi itu,
kau sendiri yang menentukan.”
Setiap
malamku berubah menjadi penjara kesedihan. Menakutkan.
“Hai,
Naga, sesungguhnya tempat apa ini, jika tak bisa memberi kebahagiaan abadi? “
“SUMUR
DURANGGA, atau SUMUR KEBOHONGAN.”
“Jadi,
apa yang aku miliki selama ini hanya sebuah kobohongan?”
“Benar.”
“Bagaimana
cara terbebas dari dunia kebohongan ini, hai Naga?”
“Bunuhlah
aku.”
“Bagaimana
cara membunuhmu?”
“Kau
harus berperang sekuat tenagamu, melawanku?”
***
Tak
mudah melawan naga. Aku harus berpuasa selama 40 hari. Gunanya, untuk
melemahkan panca indraku yang selalu tergoda dengan apa yang diberikan oleh
naga. Nafsu yang membelenggu kumatikan, naga itupun mati bersamanya.
Sumur
yang sempit itu, kemudian berubah menjadi hutan. Lebih luas dari pada Sumur
Durangga. Aku bebas bernafas.
Nafsu
yang telah kumatikan dalam diriku, menjadikan aku tak mempunyai hasrat apa-apa.
Desir angin, suara gemericik air sungai, kicau burung yang beraneka suara, semua
menenangkan. Semua terasa aman, tenang, bebas, damai, membahagiakan. Kebahagiaan yang sesungguhnya.
Di
dalam HUTAN ANDADAWA namanya, aku duduk bersemedi, menghanyutkan diri dalam kidung
dzikir alam.
***
Setelah
sekian waktu aku bersemedi, aku mendapati diriku berada di dalam dasar
samudera. Tak ada ketakutan, karena aku baru ingat, memang di sinilah tujuan
hidupku yang sempat terlupa. Aku bertemu dengan Dewa Ruci, ia menyuguhiku
segelas air Khidir. Setelah kuteguk minuman itu, aku menjadi ombak di samudera.
Menyatu dengan ombak yang lainnya, di dalam samudera yang maha luas. SAMUDERA
LAWANA UDADU. Di sinilah aku ingat segalanya, aku pernah tersesat, lupa diri
sendiri. Aku adalah air yang harus kembali lagi ke dalam samudera.
Inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun.... sesungguhnya kami adalah milikmu, kembali kepadamu. (Ayat)
*Cerita
ini berdasarkan serat yang ditulis oleh Empu Siwa Murti, ditulis pada akhir
kerajaan Majapahit. Merupakan imajinasi saya sendiri tentang isi serat
tersebut, yang disampaikan oleh guruku.
Malang,
02 Agustus 2012
0 Comments