Yang
abadi hanya cinta, pelukanmu hanya sementara
Tahun
Lalu…
“Aku mencintaimu, Bening
Senja.’’
“Kenapa?”
“Jangan tanya kenapa, aku
mencintaimu.”
“Iya aku dengar, tapi apa
alasanya?”
Aku menghela nafas panjang, berpikir. Benar kata Bapak psikologi, Freud, bahwa manusia adalah makhluk rasional yang selalu
membutuhkan alasan dalam setiap hal. Maka aku semestinya harus pintar membuat rasionalisi. Tapi, aku tak pernah
bisa menjelaskan alasan tentang perasaan ini, perasaan cinta.
“Aku tak bisa menjelaskan.”
“Aku juga butuh bukti kalau
kau benar-benar mencintaiku.”
Ah! Harus dengan apa aku
membuktikan. Dengan ciuman? Kupikir sangat frontal. Aku teringat kata seseorang
di negeri ini, “cinta bukan pengadilan, maka ia tak butuh pembuktian.” Aku
setuju dengan ucapannya, tapi dalam kenyataan, perempuan selalu ingin
pembuktian. Keparat! Pisuhku dalam hati.
“Maaf, aku tak bisa
membuktikan.”
“Jangan jangan kau hanya
ingin tubuhku!”
Hatiku tersentak. Setelah
itu, aku tak berani mengucap sepatah kata lagi. Cerita malam ini, sebaiknya aku
akhiri. Malam-malam berikutnya, rasa cinta itu tak pernah berhenti, kecuali aku
sendiri yang mengakhiri.
***
Hari
Ini…
Biru langit tanpa gumpalan
awan. Matahari berlahan-lahan menyapu pucuk dedaunan pohon yang digoyangkan
angin semilir. Warna emas senja muncrat pada kaca-kaca gedung yang menjulang di area kampus.
“Selamat menikmati senja,
Mas.” Ia menyapa ketika aku sedang duduk termangu, di depan Fakultas Ilmu
Budaya.
“Hati hati di jalan, Bening.” Balasku. Ia
berlalu. Mataku, diam-diam, mengikuti langkahnya.
Asu! Ternyata dia ada yang
menjemput. Pasti ia sudah menjalin cinta dengan lelaki itu. Aku menyesal,
kenapa malam itu, aku tak mampu memberi alasan. Dan, lelaki itu—yang sedang
bersamanya sekarang—pasti lebih pintar menyusun alasan dan melakukan
pembuktian. Mungkin, karena laki itu mahasiswa,
biasa melakukan penelitian yang mensyaratkan pembuktian data-data. Ia
pun lihai memberi data ketika tertanya kenapa ia mencinta.
Aku cemburu melihat mereka.
Selalu. Celaka! Celaka! Celaka!
Cahaya senja segera berlalu. Nanti
malam bulan purnama. Fenomena alam yang keduannya sama mengingatkanku pada
luka. Anehnya, aku menikmatinya.
***
Hari
berikutnya…
Purnama tak datang. Langit
mendung hitam. Kelam. Hujan turun tidak tepat waktu. Mestinya di bulan ini
belum waktunya musim hujan, aku menyebut hujan ini hujan kesasar. Terpaksa, rencana meneruskan tulisan cerita fiksiku gagal.
Padahal aku ingin menulisnya bersama polesan cahaya bulan, agar lebih terasa
melankolisnya.
Sudah cukup lama aku
menggiati pekerjaan ini. Karena, bagiku, dengan menulis aku bisa membebaskan diri
dari luka sepedih apapun, bergembira terbahak semampusku. Dengan tulisan aku
mampu menciptakan dunia sendiri, semauku, dengan caraku sendiri.
Dari celah rintikan hujan yang
cukup lebat, aku melihat masih banyak mahasiswa baru keluar dari kelas,
kemudian bergerumbul di teras gedung Fakultas. Dari pos jaga area parkir, yang
berjarak 50 meter di depan fakultas itu, aku dapat melihat mereka menunggu
hujan reda. Di antara mereka, aku melihat, Bening Senja ada di sana. “Hemm…
kenapa aku masih selalu memperhatikan dia. Semoga aku cepat sembuh.” Hatiku
berdoa.
Setiap tahun, nampaknya,
mahasiswa di fakultas ini selalu bertambah. Entah, kampus ini, di abad 21 ini,
menjadi kampus favorit karena kualitasnya yang bagus, atau karena tidak ada pilahan
lain, aku tak tahu. Kenyataannya, tempat parkir tidak cukup lagi untuk
menampung kendaraan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Banyak kendaraan yang tidak
tertata, berserakan semrawut di jalan, sampai menutup jalan utama masuk halaman
fakultas. Parah, pikirku. Tapi apa urusanku memikirkan hal semacam itu? Biarlah
menjadi urusan para petinggi kampus ini. Tugasku hanya menata motor-motor itu.
Hujan sudah reda. Mahasiswa
yang bergumul di depan Fakultas Ilmu Budaya satu persatu berpisah. Tersisa
Bening Senja yang ada di sana. Mungkin lagi menunggu jemputan kekasihnya,
sangkaku. Aku bergegas beranjak dari tempatku, menghindari luka cemburu.
Baru saja aku akan berdiri, HP
dalam saku bergetar.
“Masih di kampus? Aku boleh menginap
di kontrakanmu?” Dari Bening Senja.
Tak ada angin, tak ada
guntur, tak ada gempa bumi, aku kira dunia ini belum kiamat, dunia masih
normal. Tapi pertanyaannya adalah, kenapa tiba-tiba ia kirim pesan singkat
seperti itu.
Dia mungkin sedang bertengkar
dengan kekasihnya karena terlambat menjemput atau bagaimana. Entahlah. Begitulah
dalam pacaran, hal sepele bisa menjadi bahan pertengkaran.
Aku menghampirinya, “Biar aku
mengantarmu pulang.”
“Tidak. Aku menginap di
kontrakanmu saja.”
“Nanti orang tuamu mencarimu,
marah padamu.”
“Sudah biasa.”
“Terserahlah, kalau begitu.”
Kubonceng ia menuju rumah
kontrakanku. Ada rasa bersalah dalam dada. Sebab, aku tahu, dia kekasih orang.
Sekarang ia bersamaku, dan akan menginap di tempatku. Apa nanti kata
teman-temannya jika ada yang tahu. Sudahlah! Urusan belakang.
Aroma tanah kering yang
tiba-tiba terguyur hujan menyuguhkan aroma yang khas sepanjang jalan. Aroma
yang aku suka, aroma tanah basah. Tapi, ketika sudah hampir sampai di
kontrakanku, bulan purnama kembali muncul. Tak ada mendung sama sekali di sini.
Tanahnya kering.
“Silahkan kau tidur.”
Katanya. “Biarkan aku di sini, menikmati bulan purnama.”
“Kau tidur di kamarku saja.
Biar aku tidur di kamar sebelah.”
“Aku tidak ingin tidur.”
“Ya sudah, aku akan
menemanimu.”
Di teras kamar lantai dua, kita duduk bersama lagi. Mengingatkan satu tahun lalu, ketika aku
tak mampu membuat alasan kenapa aku mencintainya. Hanya bedanya, malam itu tak
ada cahaya purnama seperti malam ini. Dan aku, tak akan berani mengatakan cinta
itu lagi sebelum aku bisa membuat alasan dan pembuktian.
“El…” ia memanggilku.
“Iya.”
“Karangan ceritamu sudah
selesai?”
“Yang mana?”
“Lanjutan Senja Bening Lazuardi.” Tak kusangka ia
sudi membacanya.
“Belum.”
“Kapan selesai?”
“Gak tahu.”
Kemudian, diam dan hening.
“El…” panggilnya lagi.
“Iya, kenapa?”
“Aku boleh pinjam vulpen dan
selembar kertas?”
“Untuk apa?”
“Aku ingin bercerita.”
“Langsung katakan saja!”
“Gak bisa. Aku ingin
menulisnya.” Ia melepas kacamata, lalu mengusap ujung matanya. Matanya basah.
Perempuan, begitu mudah
meneteskan air mata. Perempuan, begitu mudah terbawa suasana. Sebab, heningan
malam ini dan bulan purnama, aku kira bisa membunuh siapa saja yang sedang
tersendak kegalauan.
“Apa kau menangis?”
“Bukan. Mataku pegal. Sudah
dua hari aku tak bisa tidur.”
“Sedang ada masalah dengan
kekasihmu?”
“Bukan.”
“Ingat lagi sama mantan
kekasihmu, yang pernah kau ceritakan itu?”
“Sama sekali tidak.”
“Lalu?”
“Asal kau tahu, aku selalu
merindukanmu.”
Jantungku tergeletak, tak
berdaya, tapi degupnya kencang seperti baru saja disetrum listrik tegangan
tinggi. Sebuah teori yang tak pernah dibahas dalam pelajaran fisika telah
terbukti benar. Bahwa rindu adalah partikel yang bukan berwujud materi tapi
mempunyai energi untuk menarik partikel rindu orang yang kita rindui. Dan,
aktivitas saling menarik sejak sekian lama itu, berujung dengan pertemuan malam
ini. Boleh percaya atau tidak, ini adalah teori baru fisika asal-asalan.
Intinya, aku kaget dengan ucapannya itu, atau
aku yang sempat lupa kalau sekarang zamannya emansipasi wanita. Perempuan dituntut
berani mengatakan apa yang ada dalam hatinya. Tidak harus menunggu lelaki yang
mengatakan. Dalam segala hal, termasuk dalam hal cinta.
“Cepatlah kau tidur. Besok
pagi kuantar kau pulang.” Kataku sambil beranjak membukakan pintu kamar untuknya.
“El…” Panggilnya sebelum
masuk dalam kamar.
“Iya.”
“Kuharap kau bisa
menyembunyikan hubungan kita ini.” Ia bahkan tak menanyakan, apakah aku masih
sendiri atau sudah dengan perempuan lain. Tapi ia begitu yakin kalau aku masih
mengharapkannya.
Aku mengangguk. Aku paham. “Selamat malam, selamat
tidur.” Ucapku.
Kututup pintu kamar.
BERSAMBUNG…
2 Comments
kereeeeeeen,,, kata2nya mantaf,, ditunggu sambungannya,,
ReplyDeleteMakasih, mbak, sebentar lagi sambungannya segera terbit. Kasih kritik ya..
Delete