DOSA MASA SILAM



“IBU ADALAH ORANG YANG MENYUSUIMU BUKAN ORANG YANG MELAHIRKANMU.”

Aku anak haram!

Setelah 25 tahun aku hidup di dunia, aku baru menyadari siapa diriku. Aku adalah anak yang lahir dari rahim bukan rahim kasih cinta. Mungkin dari benih nafsu yang memburu, mungkin dari cinta yang tak tulus. Perselingkuhan. Perzinaan. Begitu aku menyimpulkan, ‘Aku anak haram!’

Cerita tadi malam, yang disampaikan dari mulut perempuan, bergemuruh seperti petir, menyambar seperti halilintar, ketika ia mengatakan, “Kau bukan anakku. Kau adalah anak Bu Darsini.” begitu ia mulai menceritakan semuanya.

Bu Darsini adalah istri kiai Soleh. Suaminya, kemudian dibunuh Kasmani, seorang militan PKI waktu itu. Dulu, di awal kemerdekaan negeri ini, PKI  ingin memimpin negara. Semua sepakat mengusir penjajah dari bumi pertiwi, tapi siapa yang memimpin itu yang jadi masalah. PKI kemudian memberontak pada tahun 1948 dengan membunuh tokoh-tokoh agama. Sebab, dalam ideologi komunis, agama itu penyakit, agama adalah candu bagi masyarakat.


Beberapa waktu setelah kiai Soleh terbunuh, Bu Darsini hamil anak dari Kasmani. “Padahal Kang Kasmani waktu itu masih sah menjadi suamiku.” kata perempuan itu, namanya Khodijah, yang sekarang berat rasanya aku memanggilnya ‘ibu’. “Sejak awal aku tahu, kalau Kang Kasmani cinta sama Darsini,” ia melanjutkan ceritanya. Tapi keluarga Darsini lebih memilih Kiai Soleh karena ia lebih mengerti agama. Sedangkan Kasmani hanya orang awam, orang biasa.

Tahun 1965, prahara PKI kembali mencuat. Negara melakukan pemberantasan terhadap orang-orang PKI. Mereka dibunuh, termasuk Kasmani. Tak luput istri barunya, Darsini. Padahal, sebenarnya, ia sama sekali tak mengerti tentang komunisme.

“Mulai saat itu, sejak kau ditinggal pergi kedua orang tuamu, aku yang merawatmu. Waktu itu, kau baru berusia satu tahun.” katanya sambil mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat masa lalu, hampir terlupakan. Kenangan 47 tahun silam.

Selesai ia menceritakan semuanya, aku hanya bisa diam. Mulutku serasa terbungkam oleh luapan api dari dalam dada. Berdenyut dan perih tiada kira. Aku ingin marah, tapi tak tahu harus marah kepada siapa.

“Aku tahu, kau pasti sekarang marah padaku. Memang salahku.” ia melanjutkan ocehannya. Aku masih terdiam. Tubuhku rasanya ingin berdebum meledak. Aku tak tahu siapa yang harus kusalahkan. Rasa kecewa mengalirkan darah ke atas kepala. “Sekarang terserah kau, Nak. Meskipun kau tak menganggapku ibumu, tapi aku…” belum selesai omongannya itu, aku sudah tak tahan menahan api dalam diriku.

Aku berlari meninggalkan rumah. Hujan lebat mengiringi langkah kakiku. Guyuran hujan di waktu malam menggigilkan tubuh, tapi tidak cukup untuk mendinginkan panasnya hatiku. Bersamaan decak tapak kaki menginjak genangan air dan gemericik hujan yang rinai, samar-samar aku mendengar panggilan perempuan yang dua puluh empat tahun lamanya telah merawatku itu, memanggil.

“Reno…..Reno…..Reno….” aku mempercepat langkahku.

***
Setiap hari, berita di TV, surat kabar, dan media massa lainnya, ramai membahas tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara saat pembantaian PKI ’65. Luka lama bangsa ini, dikorek kembali.

Pemerintah didesak untuk meminta maaf kepada keluarga korban pembantaian PKI ’65. Dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama, pemerintah tak usah meminta maaf kepada keluarga korban dengan alasan PKI bukan korban, tapi mereka yang memulai kekejaman dan pemberontakan. Toh, Gus Dur, saat menjabat sebagai presiden sudah pernah meminta maaf.

Pandangan kedua, agar pemerintah minta maaf kepada keluarga korban ’65 atas apa yang dilakukan negara beberapa waktu silam, yakni membasmi dan membunuh anggota PKI. Pemerintah pusat seharusnya berani minta maaf seperti yang telah dilakukan oleh gubernur di salah satu wilayah di Indonesia, dengan memberi pendidikan gratis dan bantuan lainnya kepada keluarga korban sebagai ungkapan maaf.

Usaha untuk rekonsiliasi, lambat laun malah membelok dan semakin memburuk. Bukan kata saling maaf yang didapat, tapi perpecahan. Muncul kelompok yang pro-pemerintah dan pro-keluarga PKI. Kedua kelompok berseteru. Jika malam datang, suasana mencekam. Banyak teror, tawuran, penculikan. Suasana tragedi ’65 tampaknya akan terulang.

Pemerintah mengambil tindakan tegas. Semua keluarga PKI ditangkap. Aku tak tahu keturunan PKI yang bagaimana yang diciduk. Apakah nantinya aku juga akan ditangkap?

Lima bulan telah lewat sejak aku meninggalkan rumah. Aku terlibat dalam gerakan “Mari Belajar Melupakan”. Gerakan ini mencoba menjadi penengah untuk mengatasi masalah yang sedang terjadi.

Melupakan memang sulit, jauh lebih sulit dari pada mengingat. Tapi, meski sulit musti kita lakukan. Semua bangsa, dalam perjalan sejarahnya, memiliki tragedi. Namun mereka berusaha melupakan demi kehidupan yang lebih baik. Misal, Amerika melupakan perbudakan, Rusia melupakan Bolsyewiyk, China melupakan Revolusi Kebudayaan. Mengapa kita membuat luka baru?

Jangan sampai kita diadu domba. Pertengkaran antaranak bangsa, adalah indikasi intervensi ke Indonesia melalui jalur HAM yang sesungguhnya bertujuan imperialisme ekonomi. Konspirasi mengorek luka bangsa ini harus dihentikan sebelum bangsa ini diserahkan nasibnya ke bangsa asing. Begitu kata guruku yang mendorongku untuk menggerakkan gerakan ini.

***
Pada suatu senja, usai berkumpul dengan teman-teman “Mari Belajar Melupakan”, entah apa yang membuatku ingin mengunjungi perempuan yang bukan ibuku itu, setelah lima bulan aku meninggalkannya sendirian. Aku ingin pulang.

Di dalam bus kota yang mengantarku malam ini, hujan kembali mengiringi. Sama seperti waktu kepergiannku dulu. Kaca jendela tertutup nleh air hujan yang mengembun, menutup pandangan keluar.

Di sampingku, duduk seorang ibu yang membawa bayi di bahunya. Orok kecil itu mengenyot puting susu dalam lelapnya. Sang ibu, sesekali kepalanya mengangguk menahan kantuk di matanya. Di barisan bangku yang berseberangan dari tempat dudukku, di sana muda-mudi terlihat seperti sedang saling bisik. Setelah kuperhatikan ternyata tidak sedang saling bisik, tapi mengaitkan bibir mereka di tengah dinginnya hujan. Edan! Aku pura-pura tidur. Aku merasa sungkan sendiri melihatnya.

Waktu menunjuk pukul sembilan, ketika aku turun dari bus. Aroma tanah basah mengiringi sepanjang jalan. Ada rasa khawatir yang menggelanyut dalam hati, apakah ibu yang bukan ibuku itu, walau cuma janda dari seorang militan PKI, juga diciduk oleh pemerintah.

Aku memasuki sebuah gang jalan tak beraspal. Gedibal tanah lekat dengan alas sepatuku yang semakin terasa menebal. Dari seberang jalan, aku melihat rumah itu gelap, aku sangka perempuan itu sudah tidur. Aku masuk jalan yang membelah halaman rumah. Sampai di depan pintu, dengan ragu, kuketok pintu.

“I….i….i….buuu.” aku memanggilnya ragu, dari balik pintu. Kuulangi lagi. Tak ada jawaban.
Berkali-kali, tak ada jawaban.

“Ibuuuu.” kutegaskan suaraku. Tak ada jawaban.

Aku ingat, jika dia sedang pergi,  ia meletakkan kunci di bawah pot bunga samping pintu.

 “Nah, ini dia,” gumamku, saat menumukan kunci itu di sana.

Masuk rumah kemudian kunyalakan lampu.  Di atas meja tamu, aku menemukan selembar kertas dengan tulisan tangan. Selama aku bersamanya, tak pernah aku tahu dia bisa menulis. Siapa yang menuliskan?

Aku tahu kau akan pulang hari ini, Nak.
Ibumu sekarang tidak ada di rumah, ibu mau diajak rekreasi sama seseorang yang menjemput ibu hari ini. Jika kau lapar, di lemari ada makanan kesukaanmu: Dadar jagung.
Ibuk.

Saat aku membuka lemari makan, mengicipi dadar jagung. Masih hangat. Tiba-tiba aku teringat kata REKREASI dalam kalimat yang barusan aku baca. Orang-orang PKI ’65 yang akan dihabisi nyawanya, menyangka akan diajak rekreasi, padahal dibawa kesuatu yang entah dimana, kemudian dibunuh.

Lidahku kelu. Tubuhku melemas. Aku kehilangan seorang yang menyusuiku. 

0 Comments