Eksistensial(is)ME




Akhirnya, cerita ini pun tentang pertanyaan kepada siapa aku jatuh cinta dan siapa aku. Sekedar untuk kau tahu, aku tak pernah merasakan jatuh cinta, bahkan aku sempat jijik mendengar kata cinta. Aku juga benci melihat wajah orang-orang yang sedang berduaan, sedang berbicara dengan kekasih-kekasih mereka. Aku benci sekali.

Bukan! Bukan! bukan karena aku iri. Karena yang kulihat di mata mereka hanya kebohongan, sama sekali tak ada ketulusan. Hanya rayuan-rayuan murahan diumbar yang membuatku geli sendiri.

Temanku ada yang bilang kalau aku sedang trauma dengan cinta-cintaan. Ada yang bilang kalau hatiku sudah mati. Kurang cantik apa, kurang semok yang bagaimana itu Sinta, ia seperti orang gila mencintaiku. Dia pernah datang di depan kamarku tengah malam. Tanpa kutahu, di depan kamar berjajar barisan lilin berbentuk hati untuk mengungkapkan cintanya. Ah! Tanpa begituan, sebenarnya aku sudah tahu kalau ia sedang gila mencintaiku. Ada satu hal yang membuatku kagum dengannya, dia itu perempuan ande-ande lumut ngunggah-nggunggahi. Perempuan yang berani menyatakan cinta lebih dulu, tak suka menunggu. Setiap malam ia telpon hanya untuk mengatakan kalau ia sedang mengangeniku. Katanya, sepanjang malam ia terus memikirkan aku. Jujur, aku kagum, tapi bagaimanapun aku tak bisa memaksakan hati untuk mencintainya.

Hujan gerimis sejak tadi sore belum berhenti. Aku malas keluar kemana-mana, hanya berdiam diri di dalam kamar. Lagu melankolia kuputar berulang-ulang. Orang yang sedang jatuh cinta selalu hanyut dalam lagu-lagu semacam itu. Aku sekarang sedang jatuh cinta, tapi bukan kepada Sinta.

Di luar, Sinta sedang menunggu,  ia datang lagi.  Ia menelpon, menyuruhku menemuinya di depan kamarku. Aku pura-pura tidur, kukencangkan volume musik. Biarkan! Aku sudah malas menemuinya. Akhirnya ia pulang.

Siapa itu orang yang sedang kujatuhi cinta? Aku tak tahu siapa. Tapi aku yakin, perempuan yang baru ketemui dalam bayanganku itu pasti tak akan mengecewakan. Aku yakin itu. Namanya yang indah sudah mampu membuatku merinduinya, apalagi jika nanti aku menemuinya.

Awal masuk kuliah lalu, aku mengenal sebuah nama yang baru disebutkan saja, telah menggetarkan hatiku. Aneh? Ya, aku sendiri juga merasa aneh. Namanya seperti puisi. Namanya amat indah. Mungkin karena aku tak biasa mengenal nama seindah itu. Bayangkan, namaku saja Jibon. Kerena terlalu jelaknya nama itu, kupastikan tak ada yang menyamai namaku di seluruh pelosok dunia. Sebenarnya aneh juga jika Sinta mencintai orang sepertiku; lelaki kurus, pendek, kulit putih pucat seperti orang bangkit dari kematian, yang bernama Jibon.

Jibon sendiri adalah nama kakekku yang disematkan begitu saja oleh orang-orang di kampungku. Nama asliku tak kalah keren dengan anak zaman sekarang; Abdur Rahman. Tapi semua orang sudah terlanjur memanggilku dengan sebutan Jibon, hingga namaku yang asli tak pernah digunakan.

***
Tiga minggu sejak awal masuk kuliah aku menunggu dia masuk kelas. Berkali-kali dosen memanggil namanya tapi ia tak kunjung menampakkan diri. Dan setiap hari, setiap namanya disebut aku menoleh ke semua penjuru dalam kelas tapi ia selalu tak ada. Aku ingin tahu bagaimana wujud dia yang sebenarnya, apakah ia sama seperti yang kubayangkan selama ini.

Dalam pikiranku kugambarkan ia seperti bidadari berkulit mulus bersih, baunya wangi kasturi. Tubuhnya mungkin terbuat dari lilin yang lembut, andai terlalu keras menyentuhnya,  akan merusak susunannya. Jika ia berjalan di depan barisan mata, maka semua pandangan akan mengikuti kemana ia melangkah. Ia adalah perempuan teranggun di antara perempuan seluruh jagad raya. Begitu bayanganku tentang dia setiap malam.

Ahai, mungkin ia sedang sakit hingga belum bisa masuk kuliah. Seandainya aku sudah mengenalnya aku pasti menjenguknya. Sayang sekali, aku hanya pernah mendengar namanya saja. Semoga minggu depan ia sudah masuk.

Tapi, empat minggu sudah lewat. Ia sama sekali belum pernah masuk kelas. Menurut peraturan yang berlaku,  ia sudah tak boleh ikut ujian akhir untuk semester pertama ini.

***
Hingga akhir semester ia belum juga kelihatan. Di daftar hadir, nama indah itu sekarang sudah dicoret dengan tinta merah. Betapa setelah kutahu terasa amat menyedihkan. Yang lebih menyedihkan adalah, kenapa aku sangat mengharapkan seseorang hanya karena mendengar namanya.

Setiap malam kerinduan selalu menjadi siksaan. Ahkirnya, kupaksakan diri untuk bisa melupakan. Barangkali ia memang tak jadi kuliah di sini, mungkin ia diterima di universitas yang lebih baik dari kampusku ini. Ternyata melupakan tak semudah mencintai.

Saat jeda kuliah, di area hot spot kampus, aku iseng-iseng mengetik namanya itu di google search. Aku menemukan sebuah cerita tentangnya di sebuah blog entah milik siapa. Tiba-tiba saja datang seorang lelaki mengejutkanku. Dia bilang dia adalah penulis di blog itu. Aku mengira dia kekasih perempuan pemilik nama indah itu. Atau mungkin juga ia hanya pecinta sebuah nama seperti aku. Tapi aku tak berani menanyakan.

Pada suatu ketika, saat aku berpapasan di tengah jalan dengannya ia berkata kepadaku, “Silahkan mencintainya asal jangan pernah memilikinya!” begitu katanya.

Aku mengernyitkan dahi sebab ucapannya itu. Bagaimana ia bisa tahu kalau aku sedang jatuh cinta dengan seorang yang bernama sama dengan nama karakter cerita di blognya. Padahal, selama ini aku tak pernah mengumbar rahasia hati kepada siapa pun. Tidak seperti orang-orang di twitter, facebook, dll, yang mengumbar rahasianya kepada siapa saja. Menuliskan perihal hati dalam catatan harianku pun aku tak pernah. Jadi, dari mana ia tahu?

Di awal semester di kota ini aku disibukkan dengan hal-hal yang menurutku serba aneh. Setelah ulah Sinta, kok bisa-bisanya ia mencintai orang sepertiku, lalu keanehan tentang rinduku pada perempuan bernama indah yang belum pernah ketahu wajahnya itu, sekarang aku dibuat merasakan keanehan lain oleh seorang lelaki, maksudku lelaki 'pembaca hati' yang tiba-tiba muncul dalam kehidupanku itu.

Belum habis ketakjubanku pada semua hal yang membuatku merasa aneh, sekarang datang keanehan lagi. Orang tua Sinta tiba-tiba mendatangiku. Katanya, Sinta hanya mau menikah denganku. Segera. Kalau tidak, lebih baik Sinta mati muda saja. Edan! Sudah kubilang aku tak bisa memaksakan hati untukknya, kenapa ia begitu ngotot. Mengancam ingin bunuh diri pula. Kenapa ia bertingkah sebegitu gila.

Lebih aneh lagi, lelaki penulis cerita itu datang ke kamarku setiap malam. Mak pecungul ia datang tanpa kasih kabar sebelumnya, tiba-tiba sudah ada di depan pintu kamar.

“Bon, Jibon, cepat selesaikan kuliahmu. Ingatlah janjimu kalau kau akan menikah sebelum ibumu pergi. Ibumu akan segera mati. Terima saja lamaran orang tua Sinta.” Kata lelaki aneh itu pada suatu ketika, lalu ia pergi lagi tanpa pamit. Setiap kali datang, ya, selalu begitu, berkata sepatah dua patah kata lalu enyah. Sudah kubilang tadi, dia itu memang aneh.

Keanehan selanjutnya, yang paling mengejutkan, adalah kabar kematian ibuku. Biyuh! Ucapan lelaki itu bertuah. Kata-katanya, barangkali adalah petanda tapi aku sama sekali tak menerka adanya petanda dalam omongannya. Benar mulut lelaki yang kubilang aneh itu.

Mendengar kabar kematian ibuku, aku langsung meluncur pulang kampung. Kematian mendadak yang amat memukul tentunya, rasanya nyeri dalam dada, menjadi butiran air mata ketika aku melihat tubuh ibu terbujur dikerumuni orang-orang yang sedang takziah. Aku seperti tak percaya. Ia meninggal ketika sedang tidur setelah isya tadi malam, kata orang-orang. Sebelumnya ia benar-benar tampak sehat-sehat saja. Bahkan siangnya ia masih ngrasani sambil petan dengan Yu Paini. Mereka sedang membicarakan keluarga Samiun yang tak layak mendapat mantu anak orang kaya. Ningrum pasti sedang kena pelet Tebo. Kalau tak karena pelet, mana mungkin Ningrum puteri Pak Agus itu mau menikah dengan Tebo lelaki gendut hitam berambut keriting jelek seperti buto cakil.

"Ya, begitulah kematian, tak ada orang yang mampu merencanakan kedatangannya. Ini semua hendaknya jadi pelajaran untuk yang masih hidup," pesan Pak modin dalam khotbahnya  menjelang keberangkatan ke pemakaman.

Setelah acara tujuh-harian mengiringi kematian ibu, aku kembali ke Malang. Sepanjang perjalanan ada sesal yang kurasakan. Untuk apa sebenarnya aku kuliah, bukankah semua yang kulakukan ini hanya untuk membuat ibu bangga saat kelak anaknya jadi sarjana sastra. Tapi kenyataannya, satu janji telah kuciderai karena kuliahku yang tak kunjung lulus. Artinya, janjiku untuk memenuhi inginnya melihat aku menikah dengan perempuan yang kucintai sebelum ia mati kuingkari. Ah! Andai saja kuterima saja tawaran orang tua Sinta beberapa waktu lalu, janjiku sudah terpenuhi. Tapi, ya, tapi, semua sudah terlanjur terjadi. Kiranya ini semua akan menjadi dosa sepanjang hidupku yang tak akan bisa tertebus dengan segala do’a apa pun.

Sampai di Malang, aku penasaran dengan lelaki yang memiliki omongan bertuah itu. kenapa kata-katanya manjur dalam perjalanan hidupku. Aku ingin menemuinya, bertanya siapa dia sebenarnya. Kalau boleh tahu, apa yang akan terjadi dalam hidupku selanjutnya.

Tanpa uluk salam, tanpa unggah-ungguh bertamu, aku sambangi tempatnya seperti saat ia mendatangi aku di kos-anku. Ketika aku sampai di sana, pintunya sedikit terbuka. Aku masuk kamarnya tanpa ia sadari kedatanganku. Ia sedang menulis sesuatu di meja di dalam kamarnya.

Kuintip apa yang sedang ia tulis. Dari balik punggungnya aku membaca beberapa paragraf awal hingga baris kalimat terakhir yang sedang ia tulis. Sangat mengejutkan ketika aku tahu ia sedang menulis semuanya tentang kehidupanku. Lantas, apa yang menarik dengan cerita hidupku hingga ia mau menulis cerita seperti itu. Pertanyaan terbesarku adalah, dari mana ia tahu tentang hidupku. Sumpah! Sekali pun aku tak pernah berbagi cerita kehidupan dengannya.

Ingin kutepuk pundaknya, tapi sebaiknya aku urungkan. Aku ingin tahu apa yang akan ia tulis selanjutnya. Sekarang ia sedang memegangi kepalanya. Sepertinya ia sedang bingung untuk melanjutkan apa yang seharusnya ia tulis. Aku penasaran. Aku diam saja di belakangnya.

Nah, ia memungut kembali penanya yang tadi digeletakkan begitu saja di atas buku tulisnya. Aku tak sabar menunggu paragraf-paragraf selanjutnya. Begitu ia menulis lagi, aku panjangkan leherku, melihat lebih dekat kata-kata yang sedang ia tulis. Tapi ia berhenti lagi.

Hingga tengah malam ia masih berdiam diri di sana. Aku masih setia menunggu hingga ia menulis kembali. Lagi, kupanjangkan leherku ketika ada tanda geliat ia akan menulis.

“Akhirnya, di dalam kamar 'lelaki aneh' itu, Jibon menyadari siapa dirinya. Di tangan kirinya, lelaki itu sedang memegangi lukisan wajah seorang perempuan yang ia lukis sendiri. Ia memberi  nama gambar itu: Bening Senja. Ia mengenal nama itu beberapa bulan lalu saat membaca daftar hadir di kelas. Tapi, sampai sekarang ia belum pernah  menjumpai pemilik nama itu.” Begitu ia menuliskan di bagian akhir sebelum kata “Tamat” pada bagian paling akhir.

Karakter! Ah, bukan! O, iya, aku hanya karakter dalam sebuah cerita. Aku menggerayangi sekujur tubuhku. “Siapakah aku?” aku masih tak percaya. Ah, benarkah aku hanya sebuah karakter seperti wayang yang dimainkan dalang? Sumpah, aku ini hidup. "Siapakah lelaki itu?"  Kurang ajar! ia memainkan hidupku.

Pada akhrinya, yang paling akhir, semua pertanyaanku tak henti menanyakan 'siapa aku'.

1 Comments

  1. Earthmoving Parts Hyderabad
    I enjoyed your post. It’s a lot like college – we should absorb everything we can but ultimately you need to take what you’ve learned and apply it.

    ReplyDelete