TANGISAN BULAN DESEMBER


Dari balik jendela aku melihat hujan turun begitu lebat. Sesekali aku terpejam, terduduk, terdiam, mengulang kenangan, dan tiba-tiba aku menemukan rangkaian kalimat di kepala: “Gerimis hujan bukan saja milik kekasih yang sedang berdua, tapi juga untuk seseorang yang sedang menyamarkan air mata.”

Hari ini aku kembali lagi di sini, untuk mengenang sahabatku dan kekasihku, keduanya telah pergi. Terpaksa aku sendirian berdialog dengan masa lalu.

Saat kau mengajakku ke perpustakaan waktu itu, niatku bukan untuk membaca buku. Aku hanya ingin melihat seorang perempuan, yang biasa duduk di balik rak buku sastra itu, di pojok ruang perpustakaan, di bawah jendela.

“O, namanya Sinta,” katamu.

Kau adalah guruku sekaligus kawanku. Aku masih ingat, bagaimana kau mengajariku cara mencintai di dunia ini, bahwa jangan sampai kita merasa memiliki apa pun, agar keinginan yang tak terpenuhi tidak melukai hati. Aku percaya seorang guru kadang juga luput dengan omongannya sendiri.

Kau adalah guruku. Aku masih ingat ketika kita duduk bersampingan ketika mataku tak hentinya menikmati keindahan Sinta, kau menceritakan tentang tokoh wayang, Puntadewa. Ia kau sebut sebagai manusia ajatasatru, yang tidak mempunyai musuh karena watak baiknya, sabar, tulus ikhlas, tidak pernah menyakiti orang lain. Bahkan seandainya istri yang diminta darinya, akan ia berikan. Cerita itu benar-benar masih kuingat hingga sekarang. Menancap kuat dalam otakku. Aku pendengar setia cerita-ceritamu meskipun kadang aku tak benar-benar mendengarkan.

Aku beranikan mendekati Sinta dan akhirnya aku memilikinya. "Jangan pernah merasa memiliki apa pun." aku mengingat katamu. 

Tak pernah kusangka, sebelum aku mengenalnya, kau sudah lama diam-diam memujanya. Kau tak pernah menceritakan padaku. 

Kawan, barangkali kau terbakar cemburu hingga tega membunuh dirimu. Padahal,  seandainya saja kau minta Sinta dariku akan kuberikan padamu, seperti ceritamu tentang Puntadewa yang berjiwa besar itu. Tapi kenapa kau diam saja jika mencintai dia. Bukankah kau adalah kawanku yang telah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Sumpah! Aku akan merelakan Sinta untukmu jika kau memintanya. Tapi, kini kau telah mati, Sinta pun pergi belum kembali. Atau akukah yang mestinya cemburu, karena kau telah memilih hidup dalam keabadiaan dengan Sintamu yang juga Sintaku. Jika begitu, kau telah hidup memenuhi rindumu.

Sebenarnya, kematianmu masih meninggalkan tanya dalam otakku. Benarkah kau mati sebab kecewa dengan kehidupan, kecewa karena tak mendapatkan Sinta. Atau mungkin prasangkaku yang salah. Bahkan bisa saja kematianmu itu adalah kehendakmu sendiri, seperti Resi Bisma yang tak akan mati kecuali ia sendiri yang menghendaki.

Kau adalah guruku sekaligus kawanku. Setelah kematianmu pun, kau masih sempat mengajariku satu pelajaran yang sangat berarti. Sekarang aku menyadari, di balik keperkasaan lelaki selalu ada peran perempuan di belakangnya. Pemimpin Revolusi Cina, Mao Zedong, hampir saja menyerah jika tidak dikuatkan oleh istrinya. Cengkraman kekuasaan Soeharta selama 32 tahun pasti karena kekuatan Bu Tin. Aku, kau juga lemah tanpa Sinta kita. Karena perempuan, adalah kekuatan untuk lelaki. Sinta, adalah segala di balik hidup kita.

Dialog dengan masa lalu harus berhenti ketika seorang mahasiswa dan mahasiswi berdiri tak jauh dari tempat dudukku. Dari tadi mereka sepertinya terus melihat ke arahku. Meski bicara mereka setengah berbisik tapi aku mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.

“Kau masih percaya dengan hal semacam itu?” kata mahasiswi itu pelan.
“Tapi buktinya, tak seorang pun yang berani duduk di bangku itu kecuali dia?”
“Kebanyakan nonton film hantu kau?”
“Memang kau berani?”
“Lihat!” kata mahasiswi sambil berjalan. 

Aku pura-pura tidak mendengar obrolannya. Ia berjalan ke arahku, semakin mendekat ke tempat aku duduk.

Ah! Bangku kosong. Bangku kosong. Mirip judul film misteri. Bangku ini memang aneh di antara bangku yang lain di dalam perpustakaan. Bangku yang kududuki ini lusuh oleh debu. Di depanku juga ada meja yang tak kalah kotor. Tak ada yang berani menempati tempat ini. Menurut cerita yang kudengar, tak ada seorang pun yang berani duduk di atas bangku dekat jendela ini.  Siapapun yang duduk di sini akan mati mendadak, atau paling tidak stres alias edan di kemudian hari. Sampai sekarang masih menjadi perbincangan di antara mahasiswa. Tentang bangku kosong ini, semakin hari semakin menjadi misteri di antara mereka. 

Mulanya, aku berpikir, kenapa tidak ada yang duduk di sini, sebab bangku ini dekat dengan rak buku sastra.  Apa yang menarik dari buku sastra? Begitu kata temanku ketika aku masih menjadi mahasiswa dulu.

“Membaca sejarah kok lewat novel!!” kemudian ia tertawa terpingkal-pingkal, “paling banter novel itu, ya, tentang cinta. Ah! Tema lama. Sastra itu tak ubahnya puisi-puisi galau. Para penulis sastra itu hanya pintar menciptakan dunia fiktip, dunia yang berbunga-bunga. Di dalamnya, ia menulis sejuta kebohongan saja.”

Ada benarnya juga kata temanku itu meskipun tak seluruhnya benar. Penulis sekarang memang banyak yang hanya menyentuh perihal cinta dan sekitarnya. Tapi banyak juga penulis yang menulis novel berdasarkan fakta valid untuk kajian sejarah. Bahkan buku-buku pelajaran sejarah yang kita pelajari di sekolah itu yang fiktip. Ia adalah karya penguasa yang sedang berkuasa. Sejarah dipelintir sedemikian rupa untuk mengokohkan cakar kekuasaannya. Sedangkan fiksi yang ada di novel adalah imaginasi penulis berdasarkan fakta yang terjadi.  Bukankah penulis menceritakan 'kebohongan' untuk mengungkap kebenaran, sedangkan para penguasa bicara kebenaran untuk menutupi kebohongan?

Biasanya yang menulis tema cinta adalah penulis muda sedangkan yang menulis tema sejarah adalah penulis tua. Tapi aku kira setiap penulis memang punya zamannya sendiri. Biarlah penulis muda itu melulu menulis tentang cinta, agar kelak menjadi saksi sejarah negeri ini bahwa kita pernah disibukkan oleh urusan cinta saja, tak ada prahara.

Sebenarnya, apa yang membuat mereka tidak menyukai sastra adalah, karena buku sastra belum menjadi bacaan wajib dalam sistem sekolah sekarang. Di Negara tetangga seperti Malaysia, telah mewajibkan anak didiknya membaca sastra. Jadi, jangan berharap dunia sastra berusia lama jika nasib sastra terus seperti ini. Lambat laun sastra akan ditinggalkan. Tak akan ada yang membaca sastra, apalagi menulis sastra.

Jika aku perhatikan rak buku sastra di dalam perpustakaan ini juga sepi. Tak ada seorang pun yang seliweran di sana. Atau mungkin karena mereka takut dengan cerita-cerita mistik tentang bangku kosong ini yang sudah terlanjur menyebar di telinga mereka.

“Hai, jangan! Jangan!” mahasiswa yang berdiri di ujung sana mencoba menghentikan langkah temannya ketika ia hampir duduk, sudah berada di sampingku. Aku diam saja. 

Ia kemudian menoleh, “Apa, apa, apa!?” meskipun perempuan, bicaranya lantang seperti lelaki menantang kelahi. Barangkali ia  ingin membuktikan bahwa cerita mistik tentang bangku kosong hanyalah omong kosong.

“Aku takut kau mati. Aku takut kau hilang!” kali ini suara mahasiswa itu meninggi.

Ia menarik teman ceweknya itu, mengajaknya menjauh. Tapi mahasiswi tadi menghempaskan tarikan itu lalu duduk di sampingku. 

Nama saya Bimasena, alumni universitas ini. Dulu, saat masih jadi mahasiswa saya sering diajak  kawanku, namanya Karno, membaca di dalam perpustakaan ini. Karena waktu itu saya masih muda, wajar jika saya lirik mahasiswi-mahasiswi yang indah dipandang mata. Dan akhirnya, saya sangat penasaran dengan seseorang yang sering duduk, membaca di bangku paling pojok ruang perpustakaan, di dekat jendela ini.

Saya ingin sekali mengenalnya. Adalah Karno yang memberi tahu namanya Sinta. Saya tak menyangka, Karno ternyata sudah mengenalnya. Mungkin karena mereka berdua sering kunjung ke perpustakaan, mungkin mereka sudah pernah saling sapa sebelumnya. Kucari cara bagaimana untuk mendekatinya. Tapi sungguh, saya dibuat grogi aura Sinta. Tapi niatan untuk mengenalnya mengalahkan segalanya.

Pada suatu ketika, saya bilang pada Karno kalau saya ingin mendekati Sinta. Saya bilang ke dia agar ia duduk di sana saja, sementara aku duduk di bangku tempat biasanya Sinta berada, di sini. Saya baru menyadari kenapa di bangku ini sangat nyaman sekali; bangku ini menghadap ke arah jendela. Angin berhembus sepoi dari jendela yang terbuka. Ketika mata lelah membaca, misalnya, saya bisa mengalihkan pandangan saya pada daun-daun pohon yang tumbuh di dekat jendela atau pada langit yang biru itu.

Beberapa saat kemudian, Sinta datang dengan memeluk buku di dadanya. Ia berjalan mendekat dan langsung duduk di sampingku. Saya pura-pura serius membaca buku. Tapi saya sesekali mencuri pandang ke wajah perempuan itu, lalu pada buku yang sedang ia baca. Tentang revolusi. Sedikit aneh, perempuan secantik ia membaca buku tentang revolusi. Dengan basa-basi aku menanyakan isi buku yang sedang ia baca, perkenalan dengannya pun akhirnya terlaksana. Benar, namanya Sinta.   

Saya semakin rajin pergi ke perpustakaan. Tanpa Karno pun saya jadi biasa berangkat sendiri. Hari-hari selanjutnya, saya sengaja duduk di sini agar bisa bertemu Sinta. Kita sering bertukar pemikiran, saling pinjam buku, itulah yang membuat kita semakin akrab. Pada hari yang lain, pertemuan tak hanya sebatas di perpustakaan, tapi di tempat lain untuk mencari suasana baru.

Tresno jalaran songko kulino. Tidak! Sejak awal pandang, saya sudah jatuh tresno padanya. Jalaran kulino bertemu, jalaran tambah kangen, iya. Setiap kali setelah bertemu dengan dia rinduku semakin membuncah. Dia orangnya beda, benar-benar beda dengan perempuan yang lainnya. Dalam dirinya ada karakter Wisanggeni meskipun ia perempuan, tapi ia tetaplah Sinta yang anggun. Hah! Saya berkata demikian juga karena jatuh cinta. Menurut orang lain mungkin ia sama saja dengan wanita lainnya.

Kabar kematian tiba-tiba datang ketika saya sibuk merindukan Sinta. Kenyataan pahit harus saya terima. Pada suatu malam saya mendengar kabar sahabatku, Karno, mati bunuh diri di kamarnya. Begitu kabar yang kudengar. Tapi sungguh, di tubuhnya tak ada luka. Tak tahu saya jika ada luka dalam hatinya. Baru setelah ia pergi, semuanya menjadi jelas, ia sangat mencintai Sinta tapi ia diam saja. Di dalam lacinya, banyak puisi risalah cinta tentang Sinta. Selembar foto Sinta juga ada di sana. 

Semua sudah terlanjur. Betapa saya merasa bersalah menjadi kawannya selama bertahun-tahun. Betapa egoisnya saya, betapa tak pekanya saya pada saudara sendiri.

Oh, wahai, bodohnya saya kenapa mencintai Sinta. Saya tak bisa membayangkan perasaan Karno saat saya cerita tentang segala rasaku padanya. Kalau ada masalah apa pun, perihal hatiku pada Sinta, selalu saya ceritakan pada sahabatku itu. Pun tentang kisah-kisah saya ketika berdua di antara hujan bersama Sinta juga saya tuturkan kepadanya. Ia tak pernah melarangku mendekati Sinta meskipun sebenarnya, tanpa kutahu, ia juga menyimpan cinta dalam hatinya. Mungkin karena dia tak mau menyakiti atau menghalangiku mendapatkan Sinta.

Dan Sinta, satu bulan setelah kematian Karno sampai sekarang belum pulang. Ia pamit pergi ke Jakarta waktu itu. “Untuk mengubah negeri yang carot-marot ini, perlu Revolusi, Mas. Ini demokrasi cap Tai!” katanya. Itulah kata-kata terakhir yang saya dengar dari Sinta. Hingga kini, belum juga ada kabar tentang Sinta.

Saya telah kehilangan keduanya. Di bangku perpustakaan ini, aku sedang mengenang mereka. Sahabat dan kekasihku sama-sama hilang.

Mahasiswi yang duduk di sampingku itu serius mendengarkan ceritaku dan mangguk-mangguk ketika aku mengakhiri.

“Lebih baik aku mati muda dan tak pernah mengenyam pernikahan agar tak ada hati yang tersakiti. Yang paling adil adalah, aku tak pernah memilih di antara kalian.” Kata mahasiswi itu pada mahasiswa yang dari tadi berdiri di belakangnya. Aku tak paham arah omongan mereka kali ini.  


Malang, 12 Desember 2012

0 Comments