“Orang
berkata takut kematian padahal kenyataanya ia lebih takut menjalani kehidupan.”
Kata malaikat maut kepadaku. Dia datang menemuiku. Tapi aku benar-benar tak
percaya sampai aku melihat tubuhku bergelimang darah di dalam kamar.
***
Aku
sudah sangat lelah dengan perasaan seperti ini. Setiap waktu yang kumiliki
adalah penyamaranku sebagai orang lain yang seharusnya tak kulakukan. Tapi
keputasan menikahi Nina tahun lalu sudah menjadi pilihan dan keputusanku.
Satu
tahun lebih berlalu Nina bersamaku. Aku kira memang ada banyak jalan
untuk bahagia. Salahku sendiri percaya dengan kata-kata bijak murahan,
semisal: Banyak jalan menuju Roma.
Ada banyak cara untuk bahagia, salah satunya menikahi Nina: Jangan menunggu bahagia untuk tersenyum,
tapi tersenyumlah untuk bahagia. Artinya, jangan menunggu Sinta menjadi
milikmu untuk bahagia, tapi buatlah hidupmu bahagia dengan menikahi Nina: Trisno jalaran songko kulino, semakin
lama bersama Nina maka dirimu akan mencintainya, Sinta akan terlupa.
Bohong!
Semua kata bijak itu, bagiku, babar blas sama sekali tak bijak. Bahagiaku adalah hidup bersama Sinta. Titik!
Nah,
inilah buktinya, sampai hari ini aku tak bisa mencintai Nina. Kalapun ada hubungan
badan yang kulakukan dengan Nina, itu sama sekali bukan keinginanku. Tapi, itu
memang harus kulakukan. Aku tak mau dibilang mandul. Orang tua dan mertua sudah
kebelet punya cucu.
Anak
itu sekarang sudah tumbuh besar. Setiap aku pulang kerja dan anakku itu bilang,
“Ayah datang… ayah datang…” rasanya ingin sekali aku menampar
mulutnya. Aku tak
pernah menyambut panggilannya atau memeluknya. Bahkah aku kadang ingin membunuhnya. Keberadaannya selalu memperdalam kesedihan yang sedang kualami.
Keberadaanya menjadi pengingat sebuah penyesalan. Inilah kenyataan pahit yang
harus terus kuhadapi, setiap hari, setiap detik, setiap kapan saja; setiap
hembusan napasku adalah penyesalan dan kesedihan.
Semua
sudah terlambat. Waktu tak dapat mengulang dirinya. Sementara kehidupan harus
tetap berjalan. Semua terasa berat memang. Siapa yang kuat jika selama hidupnya
menanggung rasa kecewa seperti ini. Bagaimana kalau mati saja? Oke, yang pasti
akan ada janda dan satu anak yatim jika aku memilih jalan kematian.
Hidupku
teramat menyakitkan. Bagaimanana menurut Nina, “Apakah selama ini kau merasa
bahagia?” tanyaku saat aku mengakahi tubuhnya di atas ranjang.
“Ya,
aku bahagia. Aku bahagia dengan kehidupan ini, Mas.” Jawab Nina sambil
memejamkan mata, bibirnya meringis sambil mendesah menahan entah; barangkali
nyeri atau geli, aku tak tahu. Demi keutuhan keluarga, mungkin kata itu yang
harus ia katakan. Apakah mungkin ia tidak tahu kalau aku selama ini berbohong
mencintainya. Huh! Barangkali ia tahu, tapi pura-pura tidak tahu.
“Aku
juga begitu, Ninaaaa..... Ahhh!!!” tubuhku yang berkeringat kurebahkan di atas tubuhnya.
Lemas sudah setelah alat kelaminku menyemprotkan cairan sperma di lubang vaginanya.
***
Sinta,
selalu saja Sinta, dialah orangnya. Perempuan yang hingga sekarang masih kerap
datang dalam mimpi-mimpi, dalam bayangan sebelum tidur. Lebih parah lagi,
setiap lekuk tubuh Nina yang kukakahi saat melakukan hubungan badan selalu
kubayangkan milik Sinta. Dua orang melakukan pekerjaan sama, tapi hasilnya
beda. Istriku tercatat menjadi amal ibadah, tapi untukku adalah catatan perbuatan zina. Dan
perzinaan ini akan terus aku lakukan jika aku selalu seperti ini.
Oh,
Tuhan, ampunilah aku! Tunjukkan aku jalan keluar dari lubang hitam penuh dosa
ini. Semakin lama aku bertahan dalam keadaan seperti ini, semakin
banyak aku akan menumpuk dosa. Lalu untuk apa aku hidup jika hanya untuk terus menumpuk
dosa?
Ya, lebih
baik aku mengakhiri hubungan dengan Nina. Untuk itu, akhir-akhir ini
aku sengaja bersikap kasar pada Nina. Beberapa hari aku bertengkar dengannya.
Tapi kesabaran Nina tak ada yang mengalahkan. Ia tak henti-hentinya minta maaf,
padahal aku yang salah. Suatu kali aku menamparnya karena aku sudah tak sabar
karena kesabarannya itu. Ia masih mengalah, ia selalu minta maaf, mengakui
bahwa segalanya adalah dia yang salah. Habis kesabaranku, akhirnya, aku
menghajar anakku sendiri tanpa sebab yang jelas. Setelah itu, baru ia
melawanku, kemudian ia pamit pulang ke rumah orang tuanya untuk memikirkan
berpisah denganku.
Di rumah aku sendiri.
Saat itulah aku menelpon Sinta. “Halo, Sinta...” ucapku mengawali pembicaraan
dalam telpon. Bicara ini-itu yang pasti akan membosankan jika kuceritakan;
menanyakan kabar dan seterusnya dan seterusnya. Akhir dari maksudku telpon dia,
tentu saja: mengatakan yang seharusnya kukatakan, melakukan yang seharusnya kulakukan.
“Iya Mas, tapi maafkanlah, aku tak menolak
cintamu, hanya saja kau terlambat mengatakannya. Aku harap kau
mau datang di acara syukuran pertunganku dengan Mas Haneva.” Begitu kata Sinta yang membubarkan
semua rencanaku.
Kenyataan pahit kembali
datang. Andai saja ini semua kulakukan sebelum aku menikah dengan Nina mungkin
tak sepahit ini: Nina sudah
pulang ke rumah orang tuanya, Sinta akan segara menjadi milik orang.
Dalam kehidupan kita
selalu dipaksa untuk membuat pilihan-pilihan. Dan, kita tak pernah tahu mana
yang terbaik. Jika pilihan pertama: menikahi Nina untuk melupakan Sinta tak
sesuai harapan, aku harus membuat pilihan kedua: mengakhiri hubungan dengan Nina,
memberanikan diri mengejar cinta Sinta. Tapi jika pilihan yang kedua itu pun masih
saja gagal, aku harus membuat pilihan lagi. Pilihan yang ketiga: Mati saja,
sudah! Bukankah masalah akan lebih baik bila berakhir?
Setelah menutup telpon
aku mencari jalan kematian yang kiranya tak menyakitkan. Di rumah yang sedang dalam
keadaan sepi itu, aku bisa memilih jalan kematian dengan cara apa saja yang
kusuka. Dengan gantung diri, tapi aku tak suka dengan cara mati seperti itu, cara
mati itu banyak dilakukan orang-orang banyak hutang. Katanya juga, arwah orang
mati gantung diri itu gentayangan. Menceburkan diri di sungai belakang rumah,
tapi aku takut mati dalam air. Aku takut tak bisa bernapas. Hah! Aku ini ingin
mati, tapi kok takut mati.
Aku berlari ke dapur
mencari pisau. Di dalam kamar, aku ingin menusukkan di perutku. Tapi tidak,
lebih baik kupotong urat nadi biar aku mati berlahan-lahan.
Sreeeet.....
Kubaringkan tubuhku di
atas ranjang, rasa perih kutahan. Aku melirik tangan kiriku berucucuran darah membasahi kasur hingga menetes di atas lantai.
Saat itu pandanganku
semakin kabur. Wajah Sinta, Nina, Anakku, bergantian datang. Dan orang berjubah
hitam itu, dari tadi berdiri di sampingku. Mungkin itulah malaikat maut yang
sedang menunggu kematianku. Tapi ia diam saja.
“Hai, malaikat maut,
cepat cabut nyawaku!” aku teriaki malaikat bangsat pemalas itu, bahkan kutariki
jubah hitamnya dengan tangan kananku. Aku sudah tak tahan menahan perih di
tanganku.
“Kau sudah mati setahun lalu,
Goblok!” bantah malaikat sambil menolehkan wajahnya ke arahku. “Orang berkata
takut kematian padahal kenyataanya ia lebih takut menghadapi kehidupan.” Ia melanjutkan.
“Hah?”
“Lihatlah ini jika kau tak percaya!” ia
menunjukkan sebuah rekaman di dalam buku canggih yang bisa untuk memutar video
rekaman saat aku bunuh diri di dalam kamar pengantin sehari setelah pernikanku
dengan Nina.
***
Cerita hidupku seperti
mendengar gesekan ilalang. Angan-anganku adalah barisan ilalang yang tumbuh di
bukit keresahan. Pilihan yang kupilih hanya menorehkan luka. Ujung ilalang itu
tajam melukai saat kugenggam. Inilah neraka.
Sekarang aku menyadari,
betapa hidup adalah kematian yang menyiksa.
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Tuhan mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” Kata Tuhan
2 Comments
nice post. blogwalking gan
ReplyDeleteTERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG.
ReplyDelete