Malam ini dia sedang bercengkerama dengan skripsi yang membuat kepalanya cenat-cenut.
Sepi malam semakin menggigit. Dari kejauhan terdengar Pak Hansip memukul
tiang telpon.
Tinggg...!!! hanya satu kali.
Tapi jam di kamar Jibon sudah menunjuk pukul 02.00. Ternyata, bukan Pak
Hansip yang salah hitung, jam dinding itu memang diatur lebih cepat dari waktu
normal. Inisiatif Jibon sendiri buat mengatasi sifat yang suka molor, agar
tidak telat dalam segala apapun. Sejauh ini cukup berjalan lancar. Pernah
sekali, dia datang ke kampus, dikira sudah telat, sudah jam tujuh, tapi malah
belum ada orang satu pun. Lha wong masih jam enam.
Dini hari itu, langit kelap-kelap. Kemudian gluduk terdengar. Turunlah
hujan. Malam semakin menjadi dingin. Jibon merebahkan tubuh mengendurkan otot
punggungnya yang mulai terasa kaku. Dari tadi sore, ia duduk di depan layar
laptop tapi tak satu pun ide keluar dari kepala. Bagaimana mau mengerjakan
skripsi kalau begini. Cari judul saja, susahnya, haduh!
“Semangat, Jibon. Jangan menyerah!” kata nuraninya.
HP yang tergeletak di samping bantalnya, bisu saja dari tadi; tak ada nada
dering sms, tak ada telpon. Tumben, Tebo, kamarnya sebelahan dengan Jibon, juga
tak kelihatan sama sekali. Biasanya, dia
sering numpang tidur di kamar Jibon. Entah dimana dia. Mungkin juga sedang
sibuk mengerjakan skripsi.
Di tengah hujan seperti itu, jadilah ia orang paling kesepian di dunia.
Apalagi, musim bola juga sudah habis. Pacar tak punya. Lengkap sudah
penderitaannya dihantam kesepian dalam kesunyian.
Jibon meraih HP itu kemudian membaca ulang sms dari seseorang yang sengaja
ia simpan; penggalan puisi dari WS Rendra:
"Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi
racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku
tanpa api."
Lalu, dipandanginya foto wanita itu yang dijadikan wallpaper. “Oh, tidak...
tidak... tidak... sekali-kali jangan! Aku sudah berjanji untuk tidak
menghubunginya lagi. Janji harus ditepati. Titik!” gumam hatinya. Ia tak mau
tergoda.
Hujan semakin deras. Suaranya keras membentur atap kamar. Ia ingin segera
tidur saja. Tapi, adalah tidak mungkin penganut Tariqah Al-imsoniyah tidur
jam dua. Paling gasik biasanya jam tiga. Akhirnya bingung apa yang
harus ia kerjakan. Mengerjakan skripsi mandek, mau tidur tak bisa. Bingung. Ia
mengambil pena dan buku. Selalu seperti itu akhir dari kesepiannya: menulis
sembarang kata yang ada di kepala. Benar kata meraka, menulis adalah obat dari
segala luka. Tepatnya adalah obat untuk yang terluka oleh kesepian, dan rindu
tentu saja.
Ia meletakkan buku itu di meja, lalu mencoba memejamkan mata sambil
memikirkan judul skripsi, yang sekiranya gampang dikerjakan biar cepat lulus.
Tapi malah nama Bening datang menggoda lagi. Ia mengambil lagi buku catatan
yang sudah diletakkannya tadi. Menulis lagi. Entah puisi apa yang ditulisnya
untuk meredam bayangan Bening. Tiga lembar penuh, ia hanya menulis nama Bening.
Hanya namanya: Bening, Bening, Bening....dst.
“Oh, Tuhan! inikah rindu? Ia selalu datang dalam kepala. Oh, Tuhan, beri
aku kekuatan menahan gempuran perasaan ini, agar bisa menepati janji yang telah
kukatakan dihadapannya.”
Ingatannya kembali mengulang apa yang telah terjadi tadi siang ketika
pertemuan dengan Bening di perpustakaan, Jibon bilang.“Ning, kali ini, aku akan
melupakanmu. Kali ini aku janji. Agar aku bisa melupakanmu, kita tak usah lagi
bertemu, tak ada hubungan lewat media apapun. Akan kuhapus nomormu. Maaf,
unfollow twittermu juga.”
“Beneran? Berani? Tidak bisakah kamu bersikap biasa?” ia menanggapi.
Jibon tak menjawab.
“Ya, sudah kalau itu maumu.” Lanjut Bening.
Sebaik-baik lelaki adalah lelaki yang konsisten dengan omongannya sendiri.
Tapi, lelaki seperti Jibon bukanlah lelaki luar biasa yang kuat bertahan di
hadapan serangan badai rindu yang memburu. Hatinya terlalu ringkih menahan
gempuran itu.
Tombol Call sudah terlanjur terpencet,
“Maaf, Ning... anggap saja kataku yang kemarin angin berlalu. Aku gak bisa.”
“Aku sudah tahu, kamu tak akan bisa. Biasa sajalah, kemarin juga sudah
pernah seperti ini, kan?” jawabnya enteng.
“Maksudnya, seperti ini bagaimana?”
“Janji gak usah bertemu lagi lah, gak usah telfon lagi lah, dan gak
usah-gak usah lainnya.. tapi akhirnya? kamu yang melanggar sendiri.”
Jibon hanya bisa tersenyum kecut. Dia selalu melanggar janjinya sendiri.
Setelah diingat-ingat, barangkali ini adalah yang ketiga kalinya. “Besok
ketemu, ya... di tempat biasa.” Ajak Jibon.
“Kecuali Sabtu sama Minggu, aku pasti di
situ, kan.”
“Ya sudah, Selamat istirahat. Selamat
tidur, Ning. Assalamualaikum.”
***
Pagi, mendung putih masih menggantung di
langit. Burung-burung murung. Biasanya, nyanyian mereka meriahkan suasana pagi
bersama uluran cahaya mentari. Tapi, kali ini percikan air dari langit masih meriuh
daripada suara-suara lainnya. Musim hujan mestinya sudah lewat di bulan Juni
seperti ini.
HUJAN BULAN JUNI, Sapardi Djoko
Damono
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu.
Puisi yang sedang dibaca Bening amat
pas dengan suasana yang sedang terjadi. Penulis puisi bukan peramal, bukan
dukun, tapi anehnya mereka seperti bisa membaca yang terjadi di masa yang akan
datang.
Ditaruhnya buku yang baru saja ia baca itu di meja di sampingnya. Lalu ia
angkat kedua kakinya ke atas kursi dan menyilangkan kedua tangan di betisnya,
dagunya disandarkan pada lututnya. Begini cukup menghangatkan. Melamun beberapa
saat. Sepertinya ada sesuatu menggalaukan yang ia simpan sendiri. Berlahan ia
angkat kepalanya. Matanya sekarang mengikuti gerak-gerik burung emprit bertubuh
kecil yang sedang mengais rumput dengan paruhnya di tanah, di antara percikan
hujan. Lalu ia terbang ke pohon jambu. Mungkin ia sedang membenahi rumahnya
yang bocor karena dirundung hujan semalaman hingga sekarang.
Burung hama musuh petani padi itu rumahnya unik. Bentuknya bulat dengan
satu pintu sebesar jempol kaki. Meskipun tubuhnya kecil, tapi rumahnya lebih besar
daripada burung-burung yang lebih besar, seperti burung cendet, gentilan.
Burung emprit sekali bertelur jumlah telurnya banyak, tak seperti burung cendet
atau gentilan yang jumlah telurnya
paling banyak hanya tiga. Itulah barangkali yang membuat cendet dan gentilan
tak butuh rumah sebesar emprit.
Walau menjengkelkan, burung ini punya wajah lucu; matanya indah, paruhnya
besar dan pendek. Melihat burung kecil itu, Bening ingat masih menyimpan dendam
dengan burung yang hanya bisa bersuara seperti peluit polisi di jalanan,
“Prit...Prit..emprit.” Bagaimanapun, di dunia ini tak ada sesuatu tercipta
tanpa guna. Karenanya, ia ingat ketabahan kakekanya yang mengajarinya untuk
terus bersabar setelah berusaha. Dan, kata kakeknya pula bahwa kehidupan di
dunia ini adalah samudera kesedihan yang harus dilalui.
Saat kakeknya masih hidup, ia pernah diajak menjaga padi yang mulai
menguning dari serangan burung-burung emprit. Di dalam gubuk, ia dan kakeknya
bergantian menarik tali yang sudah dihubungkan sedemikian rupa dengan
orang-orangan—terbuat dari jerami mirip boneka jelangkung—yang diletakkan di
tengah sawah.
“Tarik lebih keras, Kek... itu burungnya banyak yang datang.” Terika
Bening.
Kakeknya tak menuruti perintahnya. Bening merebut tali itu dan menariknya
lebih keras. Tapi burung-burung itu semakin asyik bersendau-gurau,
bergelanyutan di dahan padi. Pasukan emprit yang datang bergerombol itu
sepertinya sudah paham kalau yang gerak-gerak itu bukan manusia asli. Akhirnya
Bening keluar gubuk dan mengusir mereka dengan suaranya, “Zyaaah....Zhaaah....”
bibirnya yang mungil meruncing terlihat menggemaskan.
“Bening...Bening...Bening...” Kakek memegangi dan mengelus kepala Bening,
“ayo, pulang sajalah, makan.”
“Itu burungnya, Kek?”
“Sudahlah, biarkan.”
Bening berjalan di samping kakeknya, tapi kepalanya masih menoleh ke
belakang. “Nah, Kek.. itu datang lebih banyak lagi.”
“Gak apa-apa. Biar saja mereka makan sepuasnya.”
“Kalau nanti padinya dihabiskan burung emprit gimana, Kek? Gak jadi panen,
dong?”
“Mana mungkin burung emprit bisa menghabiskan. Perutnya aja kecil.” Bujuk
kakek.
“Tapi kalau sampai habis beneran gimana?” bantah Bening.
“Itu namanya ujian. Rezeki sudah ada di tangan Tuhan. Kalau kita bersabar,
pasti nanti diganti sama Tuhan. Kasih sayang Tuhan lebih luas dari segalanya.
Yang penting kita sudah berusaha.” Kakek menasehati Bening sambil berjalan
pulang.
Rasa kangen itu sekarang sedang menggelanyuti hatinya tentang kehadiran
kakeknya. Karena dengannya, ia sering membicarakan kehidupannya. Sekarang ia
sering merasa kesepian. Buku lah yang menjadi teman setia ketika ia sedang di
rumah. Dulu, ketika kakek masih ada, ia sering mendapat cerita-cerita dongeng
penuh pesan bijak: ande-ande lumut, buto ijo; zaman peperangan rakyat Indonesia melawan
penjajah; cerita wayang. Setelah kakeknya pergi, cerita-cerita itu ia dapatkan
dari buku-buku sastra. Lemari yang ada di kamarnya penuh dengan buku sastra
daripada buku kuliah.
Hari ini ia akan mengembalikan buku yang
ia pinjam dari perpustakaan kampus, sekalian ia ingat akan bertemu Jibon juga.
Jibon bukan kekasihnya, walau Bening tahu ia ingin menjadi kekasihnya, tapi
Bening tidak ingin menjadi kekasihnya. Diakuinya, kedekatannya dengan Jibon
membuatnya merasa nyaman, bahagia. Tapi, sekali lagi, ia tidak ingin menjadi
kekasih Jibon. Dia sayang sama Jibon, tapi ada semacam kebimbangan di hatinya
untuk mengatakan 'iya'.
“Bening...” terdenger suara ibunya dari
dalam rumah. “Jangan lupa, bersihkan lantai sebelum pergi ke kampus.”
“Iya, Buk!”
***
Sama seperti di tempat lain, pagi
seperti jalan di tempat karena matahari tak kunjung tampak. Hujan kecil masih
turun sejak tadi malam. Jalanan di luar, biasanya ramai mahasiswa-mahasiswi
berseliweran berangkat ke kampus juga tampak sepi. Suasana begini, mengurung
diri dalam kamar lebih enak memang. Ada beberapa yang memaksa berangkat
menerobos rintikan air hujan menuju kampus.
Bulan
ini adalah ujian akhir semester buat mereka yang masih ada kuliah. Tapi buat Jibon,
kuliah di dalam kelas sudah purna, tinggal menyelesaikan skripsi. Ia pergi ke
kampus barangkali hanya satu kali dalam sepekan, sekedar untuk bertemu teman
atau dosen pembimbing, tapi lebih sering kumpul sama teman.
Baru saja ia
bangkit dari pelukan hangat selimutnya, duduk di kursi depan kamar. Suasana di
kontrakan juga masih lengang. Kamar Tebo yang bersampingan dengan kamarnya
masih tertutup pintunya, belum ada tanda-tanda kehidupan.
“Kopi,
kopi, kopi.” teriak Jibon membangunkan Tebo.
Pintu
kamar terbuka. Melihat Tebo bangun dan keluar kamar, “dari mana aja, semalaman
kok gak kelihatan?” tanya Jibon.
“Emang
iblis, gak kelihatan. Mana kopi?” tanya Tebo masih mengguratkan sisa ngantuk di
wajahnya.
“Itu,
di dapur...” kata Jibon sambil menggeligik karena berhasil membohongi Tebo.
Tebo
duduk di samping Jibon. “Eh, udah baca mentionku tadi malam?”
“Kamu
itu.... twitteeeeer terus. Emang gak bisa, ya, bilang langsung. Padahal kamar
juga sampingan?!”
“Tadi
malam, aku tahu kamu lagi sibuk. Makanya, aku gak mau ganggu.”
“Gayamu..
Emang apa?”
“Nanti
siang kumpul di kampus, kita mau bahas perjalanan liburan semester ini bareng
temen-temen.”
“Oh,
oke.. Tapi nanti aku ada urusan sebentar. Maaf kalau agak telat.”
“Urusan
apa?”
Jibon
sengaja tak menjawab karena hal ini adalah rahasianya yang harus ia simpan
sendiri. Ia malah balik bertanya, “gimana skripsimu, sudah sampai mana?”
“Emm..Alhamdulillah,
sudah sampai niat.” Ia ketawa ngakak lalu pergi ke kamar mandi.
Kemarin
ditanya, sampai bab apa skripsinya, jawabnya “sampai bab wudhu.”
“Mau
skripsian apa ngarang kitab fiqih, Boo..?!” celetuk salah satu teman.
Sepertinya ia adalah orang paling santai menghadapi tekanan batin mahasiswa
tingkat akhir yang namanya skripsi. Begitulah Tebo, orangnya jarang serius.
Jibon menyusul Tebo ke kamar mandi. Ia
paksakan mandi meskipun dingin sangat
menusuk. Malang kota dingin, ditambah hujan di pagi hari. Jadilah dinginnya
menjadi-jadi.
Pagi ini, Jibon akan bertemu dengan
kekasihnya Bening. Dia sendiri yang menganggapnya kekasih walau Bening belum
resmi menganggapnya kekasih. Rasa ngantuk pun hilang, meskipun sama sekali ia
belum tidur semalaman. Semua ini demi Bening. Walau demi, bukan berarti
pengorbanan karena cinta tak butuh pengorbanan. Bukti cinta untuk Bening. Walau
bukti, bukan berarti pembuktian karena cinta bukan pengadilan yang harus
menunjukkan bukti untuk menyatakan kebenaran hukum. Cinta tak punya hukum,
cinta hanya punya rindu. Itu saja.
***
Sampai di kampus,
Jibon bajunya basah. Cepat-cepat ia memarkir sepedahnya lalu lari menuju
perpustakaan. Di dalam, Bening sudah duduk di tempat biasanya: paling pojok
ruang perpustakaan, dekat rak buku sastra. Kemudian Jibon mendekatinya.
“Hai, Ning.”
Sapa Jibon.
Mata Bening yang
berkacamata itu menoleh ke arahnya. Seketika, Jibon malah bengong, gugup,
karena tatapan Bening itu. Ia seperti orang kebingungan, tak tahu apa yang
selanjutnya harus ia katakan untuk memecahkan keheningan. Tenggorokannya
seperti tersumbat sesuatu yang menghalanginya untuk bicara.
“Kok basah gitu,
kehujanan?” sela Bening.
“Iya, kehujanan.
Masih hujan di luar.” Jawab Jibon sambil menaruh tubuhnya di kursi seberang
Bening.
“Baca buku apa
itu, Ning?”
“Bumi Manusia,
sudah pernah baca?”
“Belum.” Jawabnya.
Jangankan baca, judulnya saja Jibon baru kali ini dengar. “Karya siapa itu?”
“Pram...”
“Siapa itu Pram?
“Pramodya Ananta
Toer.”
“Entahlah siapa
itu, aku tak tahu.”
“Penulis sehebat
Pram gak kenal?” Bening terperangah, mukanya seperti mau menikam. Mungkin marah
karena tahu Jibon tak kenal dengan orang seperti Pramodya Ananta Toer. “MasyaAlah.
Kebangeten.”
Jibon diam.
Bening kembali baca bukunya. Jibon mengambil buku di depannya, yang dari tadi
tergeletak di situ. Iseng, ia membuka buku itu.
Diam-diam, Bening
memperhatikan yang dilakukan Jibon. “Kamu gak suka baca buku, ya?” tanya Bening
tiba-tiba.
“Suka. Lumayan
suka.”
“Buku apa yang
paling kamu suka?”
“Hemm... apa
saja suka.”
“Itu yang kamu baca buku apa?”
“Evolusi Cinta
Perempuan.”
“Isinya
tentang?”
“Apik pokoknya.”
“Iya, tentang
apa?”
Sambil
memandangi wajah cantiknya, Jibon menjelaskan sepotong bab yang sudah selesai
ia baca. Dia menjelaskan bahwa zaman dulu, tantangan terbesar nenek moyang kita
adalah masalah reproduksi untuk kelangsungan spesies manusia. Jadi, perkawinan
bukan sekedar masalah mencintai dan ingin punya anak, tapi untuk memastikan
bahwa keturunannya akan hidup cukup lama untuk menyebarkan gen-gen mereka.
Sebab, mereka yang punya langkah reproduksi salah, tidak akan meninggalkan jejak masa depan spesies. Maka mereka akan
punah di tengah perjalanan evolusi.
Sepanjang evolusi
sebagai suatu spesies, otak perempuan sudah belajar cara memilih pasangan yang
paling mungkin memberi keturunan. Macam-macam pelajaran yang diperoleh
perempuan di masa dulu tersimpan sandinya dalam otak sebagai sirkuit cinta
neurologis. Sirkuit itu kemudian turun-temurun dari generasi ke generasi, ada
sejak lahir dan diaktifkan saat pubertas oleh campuran berbagai neurotransmiter
yang bekerja cepat. Akibatnya, struktur otak para perempuan dengan dengan
sirkuit reproduksi terbaik dari zaman purba itu yang jadi struktur standart
bagi perempuan modern.
Sirkuit cinta
yang sudah tersusun di dalam otak benar-benar elegan. Otak perempuan secara
otomatis menaksir seorang yang potensial memberi keturunan. Jika si “dia”
sesuai sandi yang telah ditemurunkan oleh leluhur tadi, seorang perempuan akan
merasakan sengatan kimia yang membuat pusing akibat rasa ketertarikan. Sengatan
berbagai neurotransmiter cinta (senyawa kimia saraf) ini bekerja sekuat laser.
Inilah yang disebut amukan asmara.
Bening serius
menyimak dari tadi. Ia memotong, bertanya, “Kalau lelaki, apakah sandi yang
tersimpan dalam otaknya juga sandi seperti yang ada dalam otak perempuan?”
“Mana aku tahu,
ini yang aku baca kan tentang evolusi cintanya perempuan.”
“Kalau menurutmu
sendiri?”
“Kalau menurutku
lelaki juga sama. Di luar kesadarannya, lelaki memilih pasangan yang cantik.”
“Loh, kok karena
cantiknya bukan karena potensinya memberi keturunan?”
“Begini.” Gaya Jibon
sok pintar, “Perempuan cantik sangat berpotensi memberi anak banyak. Kenapa?
Karena, kalau pasangan cantik, maka lelaki akan rajin memproduksi anak.
Betulkan? Jibon kemudian terkekeh.
“Ah, sama
sajalah. Kalau begitu perempuan akan otomatis memilih pasangan yang ganteng,
biar rajin begituan.”
“Begituan, apa?”
goda Jibon.
“Sudah. Sudah.
Lanjutkan apa yang kamu baca tadi.” Pinta Bening.
Jibon mengingat-ingat
apa yang ada di ingatannya. Ia menyambung penjelasannya yang di awal tadi. Orang
yang mengalami sengatan neurotransmiter cinta atau jatuh cinta akan mengalami
kegelisahan, kekhawatiran, rasa gregetan. Karena saat itu tubuh sedang
dibanjiri biokimia seperti testosterone, estrogen, depomine, inilah yang
memunculkan perasaan yang sejuta rasa itu. Penelitian telah membuktikan bahwa
obat penenang/antidepresan (yang berfungsi meningkatkan zat serotinin agar
merasa rilek) bisa membuat seseorang agak merasa sulit jatuh cinta. Demikian
juga sebaliknya, sejumlah meniral tertentu, coklat, buah, dan makanan yang berprotein
tinggi bisa semakin memudahkan orang jatuh cinta.
“Jadi, ternyata,
mencintai itu bukan urusan hati, tapi
otak. Rasa cinta tumbuh dari proses yang terjadi dalam otak, biologi, dan
fisik. Makanya, jangan buru-buru bilang jatuh cinta. Mungkin, saat kamu melihat
seseorang yang menarik kamu, kemudian kamu merasa jatuh cinta, barangkali kamu
sedang kebanyakan makan. Apalagi sok bilang, ‘Oh, kau adalah cinta pada
pandangan pertamaku.’ Terang Jibon menggebu-gebu, kepalanya mendongak ke atas
menirukan lelaki yang sedang merayau perempuan. “Padahal yang sedang terjadi
adalah biokimia sedang menyengatmu.” Tutupnya.
Ketika menyimak
Jibon, Bening tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan Jibon yang kadang over-action. Bukan tertarik dengan
urainnya itu, tapi melihat gerak tubuhnya saat berbicara itu. Lucu.
“Kenapa tertawa,
ada yang lucu?” tanya Jibon.
“Enggak kok. Aku
juga pernah mendengar ungkapan, ‘falling
in love is not love, its limerence. Falling in love alias limerence is only a
preamble to love. It’s not love yet. You can’t choose limerence, but you choose
love’. Berarti benar, ada yang namanya cinta dan limeren. Limeren adalah
ketika kita tertarik dengan sesuatu, dan itu adalah permainan psikis manusia. Misalnya,
ketika kita melihat preman yang menyeramkan, tapi di sisi lain kita tahu bahwa
preman itu juga rajin beribadah. Itu membuat seseorang tiba-tiba jadi tertarik
dengan preman tersebut dan ‘jatuh cinta’. Dan cinta, menurutku, adalah apa yang
kita setiai. Seberapa kuatkah kita bertahan hidup dengan cinta yang telah kita
pilih walau pada akhirnya kita hanya mendapatkan kesunyian.”
“Berarti cinta
itu seperti kata pepatah jawa: ‘tresno jalaran soko kulino”
“Ya, aku percaya
itu. Bon, kalau aku jadi pacarmu, apakah kamu seorang yang setia?”
Jibon tak
menjawab. Matanya tertuju pada lelaki yang sedang berjalan menuju ke arah
mereka berdua: Tebo.
***
Cinta telah
membuatnya pelupa. Karena perbincangan dengan Bening di perpustakaan, ia lupa
kalau ada rapat dengan komunitasnya, Kalakeya, yang dikatakan Tebo tadi pagi. Ia
merasa bersalah. Amat bersalah. Bukan karena ia tidak ikut rapat, bukan hanya
itu. Tapi juga dia merasa bersalah duduk berdua dengan Bening di hadapan Tebo.
Rasa menyesal
kini menyelubungi seluruh ruangan dalam kepala. Dirinya sendiri, sahabatnya
Tebo, dan Bening menjadi semacam kabut pekat dalam pikirannya. Bagaimana
seharusnya mengambil jalan keluar, karena semuanya sudah terlanjur terjadi. Ini
bukan soal cinta segi tiga yang menyoal siapa yang akan mendapatkan. Tapi siapakah
yang mampu melepaskan di antara mereka.
Rasa menyesal
selalu datang di belakang. Kata-kata ‘seandainya... seandainya aku menepati
janjiku sendiri, keadaannya pasti tak seperti ini. Betapa cinta telah membuatku
buta’ melayang-layang dalam kepala Jibon.
Kenapa ia mencintai
Bening, kenapa cinta ini bisa terjadi, adalah pertanyaan yang tak pernah bisa
ia pecahkan. Kenapa sandi yang tersimpan dalam otaknya menaksir Bening sebagai
pasangan yang ideal. Melihat Bening yang bertubuh kecil, kecantikannya juga tak
begitu istimewa, tentu masih kalah dengan perempuan lain. Masih banyak yang
segalanya melebihi Bening. Banyak gadis anak-anak tetangganya di kampung yang
lebih cantik daripadanya. Kenapa ia menolak gadis cantik anak orang kaya
tetangganya sendiri yang akan dinikahkan denganya. Jika seandainya ia
dinikahkan dengan Bening, ia berani berkata tanpa ragu dan percaya untuk bilang
‘iya’. Di mata Jibon dia sangat istimewa. Atau barangkali program dalam otaknya
itu sudah bobrok sehingga menaksir perempuan yang salah.
Di dalam kamar,
asap rokok melambung mengelilingi bola lampu. Entah berapa batang rokok yang
telah dihabiskannya. Tangan kirinya menjepit batang rokok, sementara tangan
kanannya menumpahkan kerisaunnya dalam buku catatannya. Buku itu sekarang yang
menjadi teman berbagi tentang rasa hatinya. Biasanya, semua hal yang berbau
percintaan; tentang melihat perempuan cantik, rencana cara mendekati cewek,
selalu ia ceritakan dengan Tebo. Semua ia ceritakan. Tapi sekarang sudah tidak.
Sebelumnya,
Jibon tak tahu bagaimana perasaan sahabatnya itu ketika ia masih bercerita
tentang Bening. Ia bercerita kalau ia mulai suka sama Bening. Dan juga menunjukkan
foto Bening yang dijadikannya wallpaper pada Tebo. Entah dari mana Jibon dapat
foto itu, yang pasti Bening tak pernah memberinya foto. Di mata Jibon, sama
sekali ia tak menyadari apakah ada raut yang berubah ketika ia menceritakan itu
semua kepada Tebo. Ia tak melihat, barangkali ia telah dibutakan oleh cinta. Sehingga
ia tak melihat ada hati yang terasa getir di dalam hati sahabatnya.
Pada waktunya, akhirnya
Jibon tahu—bukan dari Tebo, tapi dari mulut Bening—kalau sahabatnya itu kenal
dengan Bening ternyata bukan sembarang kenal. Ada cinta juga di sana. Jibon
terkejut karena ia tak pernah menyangka Tebo suka dengan Bening. Sumpah, ia tak
pernah mengira. Karena kenyataannya, Tebo juga masih menjalin hubungan dengan
Sinta.
Dulu dan
sekarang pun Tebo selalu mendukung Jibon sahabatnya dari kecil untuk terus mengejar
Bening. Entah bagaimana perasaannya sebenarnya. Apakah dia benar mengikhlaskan
atau menyimpan luka, hanya dia sendiri yang tahu.
Seperti tadi
siang waktu di perpustakaan, Tebo melihat Bening dan Jibon sedang asyik
berbincang berduaan. Sebenarnya bukan maksudnya menemui mereka, tapi saat itu
memang kebetulan ia sedang mengantar teman ke perpustakaan. Bening tidak
melihat, hanya Jibon saja yang tahu, karena Bening menghadap ke arah Jibon.
Tebo tidak jadi mendekati mereka, tapi dengan isyarat pura-pura, ia memegangi
perutnya mau ke toilet.
Cinta sudah
terlanjur menjadi candu. Tak mungkin bisa menghentikan cinta begitu saja,
seperti meninggalkan kotoran di toilet dengan perasaan yang sangat ikhlas.
Mencintai tak bisa begitu. Bahkan ada orang yang sama sekali tak bisa
melepaskan cintanya seumur hidup hingga rela hidup sendirian sepanjang usia.
Sekarang semua
membingungkan antara cinta dan hubungan sahabat. Kalau dia terus mengejar
Bening dan mendapatkannya pasti ia menyakiti Tebo. Tapi kalau ia berhenti
mencintai Bening, ia tak bisa. Dan, ia mencoba berhenti memikirkan masalah ini
juga tak bisa.
BERSAMBUNG.....
0 Comments