Bertemu Teman ‘Kaca Cermin’

Kisah sebelumnya, Isi Surat 

Buru-buru saya menghubungi teman semasa SD saya yang tinggal di Jakarta. Tak lain dan tak bukan dia adalah teman yang memiliki hobi mengintip celana dalam perempuan. Umi, gadis  lugu tak berdosa hingga Nabila JKT 69 telah menjadi korbannya. Dia akan saya minta menjemput saya ketika saya sudah sampai di Jakarta dan memberikan tumpangan tempat tinggal selama saya di Jakarta.

Bertemu Teman Kaca Cermin
O, ya, saya belum sempat memberi tahu kalian nama teman SD saya, kan? Baiklah saya akan memberi tahu namanya sekarang. Nama teman saya yang sangat usil itu Aceng. Lengkapnya Aceng Dubois. Sebuah nama yang ia buat-buat sendiri tanpa izin ibunya. Nama populer istilahnya. Kenapa ia memilih nama itu, panjang ceritanya. Jika saya tidak lupa, suatu kapan akan saya ceritakan.

Baiklah saya lanjutkan cerita tentang undangan makan malam dari presiden. 

Menjelang siang hari, saya berangkat dari Surabaya menuju Jakarta menunggangi pesawat Air Asia. Semoga tidak terjadi apa-apa. Nanti malam saya sudah harus sampai di Istana Negara Jakarta. 

Perjalanan Surabaya-Jakarta menggunakan Air Asia, yang Alhamdulillah aman, hanya tertempuh selama satu jam. Ketika matahari tepat di atas kepala, saya sudah menginjakkan kaki di tanah Jakarta. Sambil menunggu jemputan dari Aceng, saya melaksanakan salat Dhuhur di Musholla bandara. Saat saya keluar dari tempat ibadah itu, Aceng sudah berdiri di luar, sedang memoncongkan lensa kameranya ke arah manusia yang lalu lalang berseliweran di bandara.  

Saya tepuk pundaknya dari belakang, “Nginceng apa, Ceng?”

Dia cuma mrenges, giginya yang sak petel-petel itu memenuhi mata saya. Dia tak menjawab, tapi saya tahu apa yang menjadi objeknya. Di sana, di arah berlawanan, terdapat perempuan cantik duduk di bangku dengan rok minim. Begitulah Aceng, tak pernah berubah. 

“Koe gak salat disek?” saya mengingatkan. 

“Mengko waelah...” jawabnya enteng. 

Sebagai sahabat yang baik, teman yang taat dan paham ajaran agama, saya selalu mengingatkannya untuk sembahyang. Meskipun saya selalu tahu dia tak akan berangkat. ‘Mengko waelah, nanti sajalah’ jawaban seperti itu yang selalu saya dengar, sejak di SMP, SMA, sampai kuliah. 

Sampai di kos Aceng, saya ingin istirahat siang agar nanti malam tubuh saya dan penampilan saya tetap tampak segar. Penampilan harus dijaga di depan Pak Presiden. Sebelum saya tidur, saya mengajak teman saya itu untuk mendatangi jamuan makan malam di Istana Negara bersama Presiden. Tapi saya tak bisa memastikan, apakah dia boleh turut atau tidak. Semoga saja boleh

“Wih!” sambutnya. Dan dia langsung meng-iya-kan. Sudah menjadi impiannya, dapat masuk di Istana Negara, katanya. Apalagi bisa makan malam gratis. Kesempatan yang jarang-jarang. Kesempatan emas pertama tak boleh terlewatkan karena mungkin akan menjadi kesempatan pertama kali selamanya. 

“Saya juga pertama kali, Ceng.”

“Penulis muda berbakat dan calon penulis terkenal kayak sampean itu akan menjadi orang penting di negeri ini. Mungkin akan rutin diundang ke sana. “ sanggah Aceng sambil membersihkan lensa kameranya. 

“Fotografer mesum portal berita terkemuka www.detak.com sepertimu juga tak kalah penting, Ceng di zaman yang penuh kemesuman ini.” 

Saya memejamkan mata. Hujan sedang mengganas di luar sana.  

Lanjut ke Istana Negara Jakarta

0 Comments