Istana Negara Jakarta

Istana Negara Jakarta
Jakarta habis diguyur hujan lebat sore tadi. Halah, seharusnya tidak saya katakan lagi. Di akhir cerita sebelumya 'Bertemu Teman Kaca Cermin'  saya sudah menyampaikan hujan sedang menggila di kota Jakarta. Pemborosan kalimat adalah kebiasaan penulis yang buruk. Sebenarnya saya hanya ingin mengatakan, akibat guyuran hujan tadi sore jalan di depan Istana Negara tergenangi air, banjir. tingginya hingga menyentuh rambut pria dewasa yang sedang tiduran. 

Tapi genangan air yang, tentu saja, ngecemes itu tak mengganggu kekhusukan penjaga Istana yang berdiri tegak di balik pagar jeruji besi yang menjulang tinggi itu. Dua penjaga itu berdiri tegak diam seperti patung, tak menghiraukan langkah saya dan Aceng yang mencak-mencak menghindari air kotor agar sepatu yang sudah saya gosok mengkilap ini tak terkena lumpur. Baru akhirnya ketika saya sampai di mulut gerbang, Pak penjaga mulai bergerak dan memalingkan wajah ke arah kami. 

Wajah garang dan sangar didikan militer yang pertama menyapa kedatangan kami. Ini semakin menegaskan Istana Negara adalah rumah angker bagi orang biasa seperti kita. 

Masih tanpa senyum ketika salah satu dari penjaga gerbang tadi menanyakan maksud kedatangan kami. Sulit menjelaskan, tapi sekiranya surat undangan dari Presiden yang saya bawa ini akan lebih mudah menjelaskan semuanya. 

“Ini, Pak..” ucap saya singkat, sambil menyuguhkan surat dengan amplop bergambar garuda emas itu. 

Undangan makan malam, Pak! Saya teman mas ini..” Aceng menimpali dari balik punggung saya. 

Pak penjaga untuk beberapa saat memandangi wajah saya lalu ganti menuju Aceng. Entah kenapa pandangannya lebih lama saat menelisik perawakan dan identitas Aceng. 

Nah, kan, sudah saya prediksi sebelumnya. Menjelang berangkat tadi sebenarnya saya sudah menyuruh Aceng dandan lebih rapi.  Tapi Aceng tetaplah Aceng, bukan Aceng kalau tak membantah. Tadi di kos, saya sudah suruh mengikat rambut keriting panjangnya itu. Tapi dia menolak. Ini masih mendingan, mulanya ia malah mau pakai kaos oblong hitam lukisan perempuan bugil. Lalu saya ingatkan dia, kalau ingin sowan ke Istana Pak Presiden harus dandan rapi, tak boleh pakai kaos oblong. Beberapa tahun lalu ada musisi terkenal yang menginjakkan kaki di Istana hanya pakai kaos, jadilah sorotan media massa. Saya ingatkan begitu, dia baru mau menuruti saran saya untuk memakai baju berkerah. Baju itu pun pinjam dari saya. Tubuhnya yang agak besar dari saya membuat baju itu terlihat ngangkrik di tubuhnya. Tapi bagaimana lagi, tak ada pilihan lain. Dasar Aceng, dia itu tak punya pakaian  selain kaos-kaos yang bernuansa cabul. 

Barangkali dandanan Aceng yang wagu begitu itu yang membuat penjaga gerbang Istana Negara kurang ikhlas mempersilakan kami masuk. Meskipun akhirnya kami diizinkan masuk tapi dengan pengawalan dari belakang. Saya dan Aceng yang seperti tahanan itu digiring menuju gedung Istana menapaki jalan aspal. 

10 meter di depan kami sekarang berdiri megah kediaman orang nomor satu di negeri ini. Sebelum datang ke mari, menurut informasi yang saya baca, bangunan megah ini dulunya hanya rumah pribadi seorang warga negara  Belanda kemudian diakuisisi pemerintah. Enam tiang penyangga teras tampak indah di malam hari. Di setiap celah antara tiang diberi lampu bercahaya redup sehingga menimbulkan pesona artistik. 

Entah, tiba-tiba saya punya pertanyaan nakal, kenapa tiang penyangga gedung ini kok jumlahnya enam. Setiap bangunan bersejarah di nusantara ini kan biasanya penuh simbol. Jika negara ini disangga oleh lima tiang yang termaktub dalam Pancasila, harusnya tiang Istana Negara ini berjumlah lima juga. 

Nah, berarti penyangga bangunan ini kelebihan satu tiang. Atau jangan-jangan, tanya saya lagi, tiang negara ini yang kurang; kurang satu. Jika seandainya boleh ditambahkan sila untuk yang ke-6, mencarikan jodoh bagi para jomblo akut seperti saya, Aceng, dan kawan-kawan lainnya harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Lha buktinya, generasi muda sekarang ini tidak maksimal berkembang karena masih galau mencari jodoh. Halah! Sudahlah!

Hendak menaiki tangga Istana, kami disambut dengan cara yang lebih ramah dari sambutan pertama. Bukan pria berbadan kekar lagi, tapi dua perempuan serba anggun dengan balutan kain batik. Perempuan penyambut di sebelah kiri saya, kira-kira berusia 30 tahun ke atas dan yang di sebelah kanan saya, mungkin masih berusia 20 tahun. Pembaca harus tahu yang lebih muda ini sangat cantik karena Aceng pun melihatnya demikian. Ia pun langsung bereaksi seperti cacing kepanasan. Ia menyentuhkan bahunya di pundak saya, memberi kode.   

Iya... Iya, saya paham, dia cantik. Tapi ilengo raimu, dapurmu seng ra nggadek! 

Saya lirik Aceng, matanya semakin terang olah pancaran kecantikan mbak penerima tamu itu. Aceng membungkukkan badan, saya kira ia mau bersujud pada wanita yang membuat matanya bersinar. Tapi ternyata, ia mau melepas sepatu. 

“Loh, loh, gak usah dilepas, Mass..” cegah si daun muda yang cantik tadi. 

“Oh, gak usah dilepas to, Mbak... Soalnya takut kalau karpetnya kotor” Aceng mrenges lagi. 

Aduh Ceng, Aceng, ini buka masjid. Jadi meskipun lantai yang akan kita masuki dilapisi karpet, sepatu tetap harus dipakai, Dul! 

Saya harus melemparkan senyum pada mbak-mbak penerima tamu yang berdiri di depan saya, sebagai ungkapan maaf jika teman yang saya ajak ini agak kampungan. Tapi memang dia bocah kampung. 

Lanjut ke Jamuan

0 Comments