Kezuhudan Mbah Yai Moehaimin Tamam

dina kamila dan kh moehaimin tamam


Seperti dikisahkan oleh Dina Kamila

Sebagai seorang kiai yang memiliki ratusan bahkan ribuan santri, pantasnya Mbah Yai kita punya kendaraan pribadi; minimal mobil Avanza, lah. Tapi Mbah Yai kita ini sepertinya tak tertarik dengan kemewahan semacam itu.

Sepanjang sejarah Assalam berdiri sejak 1977, Mbah Yai tidak pernah punya mobil. Baru sekitar tahun 2005, Mbah Yai beli mobil yang 'membanggakan', matoh pokoknya! Hitam besar panjang. Lengkap dengan empat roda yang bisa berputar semua. Suara mesinnya keras, tidak seperti mobil-mobil baru zaman sekarang. Kaca jendela kanak-kiri bisa dibuka, berguna sebagai AC alami. Seperti itu, kiranya, sudah memenuhi semua syarat untuk disebut 'mobil'.

Mudahnya perumpamaan, mobil itu sejenis elf yang sudah usang. Sekedar sejenis, lho. Merk dan tipe apa mobil itu sulit dideteksi. Entah Toyota, entah Nissan, atau Mitsubishi sudah tidak jelas. Lagi pula plakat merk yang biasanya menempel di bagian depan sudah mabur entah kemana (bahkan sebelum dibeli Abah). Kalau di Bangilan masih ada mobil angkutan umum, seperti itulah tepatnya.

Tapi kemudian saya jadi sangsi kalau mobil itu benar-benar kendaraan pribadi Mbah Yai. Mula-mula di bagian samping dikasih tulisan KMI Assalam Bangilan-Tuban. Mobil itu juga digunakan mengedarkan kalender. Hasil kalenderan buat bangun pondok. Semua santri yang kalenderan boleh naik mobil itu. Bahkan Mohammad Sofi bebas rokok di dalamnya, seakan mobil itu miliknya sendiri. Jadi siapa sebenernya yang punya mobil, santri mbedugal Sofiyul Kamal atau Mbah Yai? Jan gak umum..

Sekitar satu tahun terakhir ini saya lihat Abah beli mobil lagi. Kali ini benar-benar agak gaya, Kijang Innova. Membeli mobil ini setelah dilakukan pertimbangan mendalam. Abah yang semakin sepuh kan sering terganggu kesehatannya. Seringkali Abah harus pergi ke Surabaya untuk kontrol. Sudah tidak mungkin lagi kalau tetep naik mobil macam angkutan umum seperti di atas, dari Bangilan ke Surabaya.

Soal rasa dan kenyamanan antara naik mobil 'besar hitam panjang' dibanding dengan Innova memang beda. Tentu saja Innova terasa lebih empuk. Tapi ternyata Abah masih mengeluh saat naik mobil baru, bukan karena kurang enak atau kurang apa. Abah hanya merasa tidak nyaman saja.

Pada satu ketika, Abah pun dawuh pada salah satu putrinya agar menjual saja mobil Innova itu.

"Nduk, Innova-ne dol ae, gawe tambahan mbangun. Aku isin nduk, mbangun masjid durung dadi kok nduwe mobil Innova,"

Begitulah!

0 Comments