Meneladani KH. Moehaimin Tamam Nyantri pada Guru Sejati

KH. Moehaimin Tamam
KH. Moehaimin Tamam
Hari ini umat islam sedang merayakan kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW. Hari ini santri ASSALAM tengah mengenang wafatnya KH. Moehaimin Tamam (2015).

12 Rabiul Awal menandai kelahiran nabi terakhir ke dunia. 12 Rabiul Awal juga menandai pendiri pondok pesantren ASSALAM meninggalkan dunia.

12 Rabiul Awal pada 2015 M jatuh pada 24 Desember-- sehari menjelang perayaan hari Natal. Dan tepat pada hari Natal, pada tahun 1985, menandai wafatnya KH. Abdul Hamid Pasuruan yang merupakan guru KH. Moehaimin Tamam.

Semua ini menarik dan tampak memiliki kaitan.

Khusus berbicara tentang KH. Moehaimin Tamam yang kemudian saya sebut Abah tak akan ada habisnya bagi saya pribadi. Sebab, beliau yang banyak memberi warna dalam kehidupan saya secara langsung, beliau yang memberi contoh cara meneladani nabi, beliau yang membuat saya mengerti arti guru sejati.

5 tahun saya menghuni, lebih tepatnya numpang tidur, di pondok pesantren yang beliau bangun 'berkapital linangan air mata'. Saya punya banyak pengalaman istimewa selama berada di sana.

Di ASSALAM, saya merasa mendapat pendidikan sebenarnya. Padahal cuma numpang tidur, apalagi kalau rajin, mestinya bisa mendapat ilmu lebih banyak.

Salah satu gemblengan yang dapat saya ingat sampai hari adalah dawuh beliau;

"Nak, jadilah ulama (kiai) yang intelek!"

Jika amalan ini kita laksanakan, maka kita akan mengamalkan salah satu karakter nabi.

Kita telah bersaksi bahwa Baginda Muhammad adalah seorang nabi yang membawa risalah islam. Namun lebih dari itu, Nabi Muhammad adalah kepala negara yang revolusioner ketika memimpin Madinah. (Baca: Piagam Madinah).

Maksudnya, selain mengemban kenabian, beliau juga menguasai ilmu kenegaraan. Itu yang saya sebut salah satu karakter nabi.

Adapun mengenai pesan Abah, 'ulama' adalah orang yang mengerti ilmu agama. Sementara intelek, istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang hampir sama dengan ulama. Namun intelek lebih cenderung pada orang yang menguasai khazanah ilmu di luar keagamaan. Intinya, Abah berpesan pada santrinya untuk menjadi orang yang selain pintar ilmu agama juga pintar dalam keilmuan lainnya.

Abah sebagai lulusan pondok pesantren modern Gontor, saya rasa sudah sukses mengamalkan apa yang didawuhkan sendiri tersebut. Beliau, di mata saya, ya ulama ya intelek.

Bagi saya Abah adalah orang yang sudah matang dalam ilmu keagamaan. Di luar itu, beliau juga menonjol di bidang lainnya. Pramuka misalnya-- yang sebagian orang menyebutnya bukan ilmu agama meski sejatinya pramuka banyak mengajarkan nilai-nilai luhur agama.

Abah sangat mahir dalam bidang tersebut. Saya rasa tidak banyak ulama yang kemudian kita sebut kiai yang mau berkecimpung dalam kegiatan pramuka. Tapi Abah saya ini punya passion untuk itu.

Bersama para santrinya, Abah tidak malu menyanyikan lagu-lagu pramuka bersama, atau kadang sekedar membagikan pengalamannya. Asal tidak dipanggil 'kakak' saja. Dan saya rasa tak akan ada yang berani memanggil begitu.

Kiai berseragam pramuka?

Iya, ada. Dan itu adalah KH. Moehaimin Tamam. Sungguh baru kali ini saya temui ada pesantren yang menampung ribuan santri, kiainya berseragam pramuka.

Tapi kemudian ini menarik. Abah itu kalau berseragam pramuka kadang tidak seperti pada umumnya. Dalam beberapa kesempatan, beliau mengenakan baju pramuka lengkap dengan hasduk. Peci hitam tinggi melekat di atas kepala beliau. Sangat gagah tentu saja. Tapi bawahannya, pakai sarung.

Gaya ini menandakan bahwa kaum santri memang punya ciri khas sendiri. Out of the Box, namun tanpa mengurangi esensi pramuka itu sendiri.

Ber-pramuka seperti ini beliau lakukan hingga bertahun-tahun selama mendidik santri-santrinya di ASSALAM, Bangilan, Tuban, Indonesia. Sampai kondisi beliau berjalan di atas kursi roda, pun masih berpramuka. Maka inilah sebuah aplikasi nyata 'ulama tapi juga intelek'.

Maka dapat disimpulkan bahwa Abah telah menyerap nilai luhur ajaran Nabi Muhammad dan mengikuti jejak nabi yang penuh dengan perjuangan. Beliau beragama tapi tidak ketinggalan dengan hal-hal yang ada di luarnya. Dan revolusioner, seperti Nabi Muhammad ketika menerapkan Piagam Madinah.

Pesan Abah kedua, yang dapat saya ingat ketika menulis artikel ini adalah, ketika beliau menceritakan kisahnya sowan kepada Kiai Abdul Hamid Pasuruan.

Kepada kiai kondang di Jawa Timur tersebut, Abah mengutarakan niatnya ketika akan mendirikan pesantren. Abah hanya dapat sangu tepukan 'puk... puk... puk' tiga kali di pipinya lalu disuruh pulang.

Pada lain kesempatan Abah mengisahkan pernah mendapatkan uang 25 repes (rupiah) dari Kiai Hamid untuk disimpan. Ternyata dengan 'azimat' uang tersebut bisa membuat Abah naik haji.

Yang perlu digaris bawahi dari kisah tersebut adalah Abah punya kedekatan dengan Kiai Hamid yang kharismatik itu. Abah sangat hormat dengan gurunya tersebut. Kalau tidak, Abah pasti plaur menyimpan uang 25 repes untuk naik haji karena secara akal sehat hal itu pasti sangat mustahil.

Satu bukti lagi tentang kedekatan antara Abah dengan Kiai Hamid dapat saya rasakan pada fakta tanggal yang menandai kepergian dua alim ulama tersebut. Kalau Kiai Hamid kapundut pada 25 Desember, Abah Moehaimin 24 Desember. Hanya beda satu angka.

Lalu jika kepergian Kiai Hamid terjadi pada 25 Desember bertepatan dengan kelahiran Nabi Isa--sang utusan ilahi sebelum Nabi Muhammad-- kepergian Abah Moehaimin yakni pada 24 Desember yang waktu itu bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad.

Kiai Hamid tersohor dengan sifatnya yang sangat sabar seperti Nabi Isa yang tergambar dalam sebuah ungkapan, 'siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.'

Sedangkan Abah Moehaimin ini punya sifat tegas layaknya pengikut Nabi Muhammad. Keras pada kemungkaran, lembut pada kebenaran.

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia, keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka..." (Alfath 48:29).

Allahu a'lam.

Barangkali saat ini, InsyaAllah, Abah duduk berdekatan dengan Kiai Hamid dalam sebuah jamuan istimewa bersama para nabi di alam sana.

Alfatihah....

Malang, 1 Desember 2017

0 Comments