Traktiran dari Istri dan Perdebatan tentang Hari Pertama

 Siti Masruroh


Hari ini istriku dapat uang banyak dan aku dapat traktiran makan mie ayam.

Seperti hari biasanya, setelah selesai kerja aku punya tugas jemput istri. Sore itu langitnya cerah. Biasanya hujan. Kali ini meskipun sudah terdengar suara tilawah di masjid-masjid, tapi matahari masih benter.

Ceritanya isriku memang juga lagi malas masak. Capek katanya setelah seharian mengoreksi hasil ujian santri-santrinya.

Lantas kami belok di warung mie ayam Jakarta. Namanya saja Jakarta, tentunya warung itu ada di Malang. Malah tak jauh dari pondok tempat istriku mengajar.

Istriku memesan dua porsi. Dia bilang pada penjual untuk menambah sayur lebih banyak. Istriku sudah paham kalau aku suka sayur banyak buat makan mie ayam.

Kami duduk di meja panjang. Ada beberapa pelanggan yang aku lihat sedang menikmati sajian mereka masing-masing.

Tapi yang menarik perhatianku adalah anak kecil di depanku. Dia bersama ibunya. Sangat lucu anak itu. Badannya gemuk dan lucu. Laki-laki jenis kelaminnya.

Kuperhatikan sekilas-sekilas, anak itu begitu lahap makannya. Ibunya begitu repot mengusap mulut si anak yang kalau makan mie ayam suka blepotan.

Bapak penjual kemudian menghampiri tempat duduk kami, menyuguhkan bagian kami. Satu porsi penuh dengan sayur sawi yang satunya kok sedikit. Istriku mengeluh.

"Kok cuma satu yang banyak sayurnya. Mungkin (bapak penjual) salah paham,"

Dia kemudian memberikan porsi yang banyak sayurnya kepadaku. Lalu aku sedikit memindah sayur dari mangkokku ke mangkok istriku. Urusan sayur sawi kami anggap selesai.

Ternyata memang enak mie ayam Jakarta yang ini, mengingat kami sering kecewa dengan mie ayam di Malang yang sering tak seperti yang kami harapkan.

Dan mie ayam adalah makanan kesukaanku selain bakso, pecel tidar, soto kambing madura, tahu campur, dan segala masakan istri dan emakku tentu saja.

Di tengah kenikmatan makan mie ayam, anak gendut di depanku tadi glegek (bersendawa) keras. Ia menarik perhatianku karena suaranya waktu itu mirip orang dewasa. Hi.. Hi... Dia ditegur sama ibunya karena ulahnya itu.

Aku lirik lagi, ibunya kerepotan membersihkan sisa makanan si kecil di sekitar bibirnya. Istriku menawari si ibu tissu kering. Barangkali berguna, tapi si ibu menolak.

Tak lama kemudian anak lucu dan ibunya berlalu. Belum jauh dari tempat duduk yang ditinggalkan, anak gendut itu bergumam: "Enaknya, makan mie ayam."

Betul, dalam hatiku menjawab. Hi... Hi...

Duh, memang lucu anak gendut itu. Waktu dia menuju tempat parkir motornya, si anak kecil itu dapat hadiah cubitan dari orang yang baru masuk warung mie ayam. Salah sendiri lucu!

Usai makan mie ayam, kami pun mau pulang. Total habis 15 ribu karena kami ngambil krupuk satu.

Di perjalanan pulang, aku lewat jalan yang jarang kami lewati. Istriku sebetulnya melarang lewat jalan itu, karena sering macet.

Kami pun bertaruh. Istriku kalah karena hampir sepanjang jalan ternyata lancar jaya.

Hanya saja kemudian di sebuah perempatan, meskipun ada lampu merah-hijau-kuningnya, terjadi kemacetan akibat ada mobil lawan mobil saling berhadapan dari arah berlawanan. Tempatnya di tengah jalan pula. Yang satu sudah kadung masuk, yang satunya juga ingin menerobos. Tak ada yang mau mengalah untuk mundur karena mau mundur sudah terhadang kendaraan di belakang masing-masing. Itulah yang terjadi akibat egoisme. Kemacetan baru terurai saat ada polisi datang.

Baru sampai rumah ketika magrib menjelang. Sampai di depan rumah, belum sempat buka pintu, tetangga sebelah menghampiri untuk mengundang tahlilan.

"Ba'da magrib."

"Inggih, matur suwun."

Aku senang dapat undangan itu. Setidaknya aku masih dianggap tetangga dan nanti pasti dapat makanan.

Habis sholat magrib aku berangkat. Sudah banyak orang ketika aku datang. Aku duduk di luar, duduk di atas kursi plastik. Berjejer dengan orang-orang desa Pandan Landung yang sedang ngobrol. Aku hanya mesem-mesem karena gak nyambung dengan apa yang mereka obrolkan.

Tahlilan dipimpin oleh seorang vokalis grup jedoran di kampung tersebut. Namanya siapa aku lupa.

Sehabis tahlilan dapat makan bakso. Habis makan bakso yang pedas orang disampingku menawari aku rokok. Aku menolak karena itu rokok dia pribadi, bukan rokok dari shohibul bait. Lagi pula aku punya rokok sendiri di rumah tapi gak aku bawa. Tapi ternyata aku menyesal menolak tawaran itu. Ketika orang-orang merokok, aku hanya bisa membayangkan nikmatnya.

Aku baru merokok setelah di rumah. Itupun dapat marah dari istri yang plekien akibat rokok putihan yang aku sedot. Maaf, sayang!

Tapi dia gak jadi marah karena aku bantu dia mengoreksi soal-soal yang membuatnya capek seharian.

Sekarang istriku sudah bubuk.

Aku juga ingin ikut bubuk tapi pikiranku masih melayang-layang. Aku memikirkan bagaimana bisa punya mobil bagus, seperti yang aku sholawati sepanjang jalan saat pulang dari kantor tadi.

Aku juga masih memikirkan sebuah pesan berantai yang dibagikan di salah satu grup WA di HP-ku.

Pesan itu mempermasalahkan penyebutan hari pertama dalam satu pekan. Katanya, orang islam harus kembali menyebut hari pertama dengan sebutan 'Ahad' sementara 'Minggu' adalah penyebutan agama lain peninggalan Portugis yang menjajah nusantara.

Minggu dikatakan berasal dari bahasa Portugis 'Domingo' dari bahasa Latin 'Dies Dominicus' yang berarti 'Dia Do Senhor' yang berarti 'Hari Tuhan'. Lantas hari itu dikaitkan dengan agama kristen yang ibadahnya hari Minggu.

Bagiku pribadi Minggu atau Ahad bukan masalah. Toh itu sebatas bahasa untuk menandai hari. Lagi pula pergantian hari adalah ciptaan Allah (surat Yunus: 6) dan bahasa juga ciptaan Allah untuk manusia (surat Al Baqoroh: 32-33).

Artinya tidak salah jika orang islam menyebut hari pertama dengan sebutan 'Minggu' yang artinya 'Hari Tuhan'. Toh orang islam kalau di hari pertama dalam sepakan tetap wajib dekat dengan Tuhan. Hari bersama Tuhan.

Tapi jika kita mau menyebut 'Ahad' memang akan lebih baik sebab urutannya hari akan lebih runtut. Orang-orang tua di tanah kelahiranku menyebutnya 'Ngad' karena lidah mereka tak fasih mengucap kata Ahad yang berasal dari bahasa Arab.

Jadinya begini: (Bahasa Arab) Ahad artinya satu, senin adalah dua, selasa berarti tiga, begitu selanjutnya.

Tapi pada hari keenam disebut 'Jumah', yang artinya bukan hari keenam, tapi berkumpul. Dan hari ketujuh tidak menggunakan bilangan ketujuh  atau 'Sabik' tapi 'Sabt'.

Allahu a'lam.

0 Comments