Review Film Dilan 1990: Jalan Menemukan Kehadiran Tuhan dan Menambah Kadar Iman

Dilan 1990


Film Dilan 1990 sudah rilis pada 25 Januari 2018 kemarin. Film ini sudah aku tunggu sejak 2017. Sebenarnya aku tidak penasaran dengan cerita di filmnya, karena aku sudah baca bukunya yang terbagi dalam tiga seri itu. 

Seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya, film yang dinukil dari sebuah buku ceritanya tak akan sebagus dan sedramatis di buku. Tapi entah, ini aku penasaran aja pengen lihat filmnya: bagus atau jelek, aku sudah siap mental, lah. 

Sebelum memberi komentar soal film Dilan, aku pengen mengisahkan bagaimana perjuanganku mendapatkan tiket buat nonton film yang naskahnya ditulis oleh Pidi Baiq sendiri ini. 

Film Dilan tayang pertama kali di bioskop pada hari Kamis. Meski aku penasaran, tapi aku tidak mau ngoyo—harus melihat pertama kali atau di gala premiere. Nonton bioskop di akhir pekan juga aku hindari. Mahal tiketnya. 

Akhirnya aku berangkat beli tiket hari Senin. Tapi antrinya MasyaAllah. Rame. Gak kebagian, lalu aku pulang lagi.  

Besoknya berangkat lagi. Hari Selasa itu. Biar bisa lihat film habis magrib, aku bersama istri berangkat habis asar. Di Bioskop Mandala yang menjadi andalan kami, kembali tidak kebagian. Tapi aku gak mau pulang sia-sia. 

Menuju di Mall Dieng, habis juga buat yang tayang pukul 18.45. Kecuali pukul 21.00 WIB, masih ada. Ngantuk bos kalau nonton jam segitu. 

Kemudian lari ke Matos di jalan Veteran, habis total. Pulanglah kami dengan rasa lelah. 

Besoknya hari Rabu, Kamis. Aku tidak cari tiket. Sibuk dan capek cari uang. Akhir pekan lagi, dan tiket bioskop harganya mahal. Terpaksa tengah pekan depan saja. 

Nah, akhirnya aku bisa lihat pada hari di mana penonton Dilan 1990 sudah mencapai 4 juta penonton, yaitu setelah 288 jam film tersebut diluncurkan. 

Di dalam bioskop, kuambil duduk senyaman-nyamannya. Sungguh aku siap dengan cerita film Dilan jika nanti tidak seperti di dalam buku. Istriku duduk samping, memegang erat lenganku.

Perlu kamu tahu, buku Dilan itu hidup dalam diriku. Saat aku membacanya, aku berasa berada di Bandung. Aku adalah Dilan, aku rindu Milea. Aku ingin bertemu dengannya. Semunya terasa nyata. 

Pada akhirnya film mulai dan dibuka dengan, tentu saja, seperti yang ada pada trailer. Dilan naik sepeda motor CB, menyapa Milea yang sedang jalan kaki ke sekolah. 

Bagian ini banyak menjadi meme dan menjadi cuplikan yang disadur untuk berbagai parodi. Ada satu parodi yang cukup lucu pada bagian ini, yang menyinggung soal cara bicara Dilan yang diperankan Iqbaal Ramadhan. 

Lihat di sini:





Video tersebut sama dengan pandanganku. Dilan memang kadang bicaranya tidak jelas artikulasinya. Masak kupingku yang kopok? Gak lah. 

Tapi bukan berarti akting Iqbaal dam film ini buruk, setidaknya menurutku. Justru ia mampu menjawab keraguan orang-orang yang tidak memfavoritkannya untuk memerankan Dilan saat masa-masa casting yang disaring langsung sama Imam Besar The Panasdalam. 

Sebelumnya aku juga gak kenal siapa Iqbaal. Konon ia mantan anggota boyband. Tapi menurutku dia bisa menjadi pemeran Dilan di film ini. Tapi bagaimanapun, dia tidak akan mampu membuatku puas. Jika merujuk kembali pada buku, Iqbaal ini kurang cengingisan untuk menjadi Dilan. 

Jika boleh sedikit mengeluh lagi, kisah yang terbangun di film tidak mampu menawarkan sisi dramatis yang menyentuh hati. Di filmnya, Milea rasanya dengan mudah 'menerima' kehadiran Dilan. Di buku tidak semudah itu. Jadi saat film berlangsung, aku sering mambangun kisah sendiri lewat kepingan cerita yang kuingat dari buku. Tapi ya sudahlah, cerita di film memang terbentur durasi yang terbatas. 

Menurutku lagi banyak cuplikan di buku yang menurutku lucu tapi di film kok gak bisa buat ketawa, ya? Orang-orang yang nonton itu juga tidak ketawa. Misalnya bagian ini: Dilan saat berkirim surat undangan untuk Milea agar hadir ke sekolah pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat sama Sabtu. Di buku itu jadi lucu. Tapi di film terasa garing. 

Lalu aku menemukan pada satu adegan dalam film ini terdapat miskomunikasi; yaitu saat Dilan berkunjung ke rumah Milea untuk pertama kalinya. Dilan mengucapkan salam pada ayah Milea yang menyambutnya di depan pintu. Lalu hening tak ada percakapan. Lalu Dilan mengucapkan salam lagi sebelum pulang. 

Penonton di sampingku salah memahami. Dia pikir yang tampak ‘salam lalu salam lagi’ itu cuma ulah Dilan yang suka usil. Padahal sebenarnya pada bagian itu, Dilan menerangkan pada ayah Milea sebagai utusan kantin sekolah yang menawarkan menu baru. 

Pembuat film memang sengaja tidak memperdengarkan percakapan antara Dilan dan sang Ayah hanya sebagai trik dalam penyajian film saja. Tapi ya gitu, penonton di sampingku malah salah paham. 

Namun secara keseluruhan, film ini menurutku bagus dengan alur cerita sederhana berdasarkan poin-poin penting dari buku. Meskipun aku secara pribadi tidak puas, untuk sebuah film yang dibuat berdasarkan buku, cerita dalam film cukup lengkap dan runtut. Jika dibandingkan film Ayat-ayat Cinta 2, Dilan 1990 ini lebih bagus. 

Bahkan bagi aku pribadi, film Dilan ini lebih religius daripada AAC2 yang mengatasnamakan film yang identik dengan pesan keagamaan. 

Lalu setelah itu semua, film Dilan 1990 menjadi fenomena. Kemudian aku mendapat hikmah di luar konten film. 

Kata istriku, film Dilan ini sebenarnya tidak bagus untuk tontonan anak sekolah. Dia menilai banyak akhlak kurang baik yang diperlihatkan; misalnya tawuran, pacaran waktu sekolah, berani sama guru. Cocoknya, katanya, film ini buat orang-orang yang sudah aqil-balig, buat orang-orang yang sudah matang yang mampu memilih dengan jernih mana baik dan mana buruk. 

Dan yang paling membekas buat istriku setelah nonton film Dilan 1990 adalah; aku diharapkan sering romantis dengan cara unik seperti Dilan. Modiar tenan! 

Tapi bagiku, film Dilan memberikan pelajaran soal iman. Setelah film ini menjadi hits, menurut penelitianku, banyak orang yang mengidolakan Iqbaal sebagai Dilan dan Vanesha sebagai Milea. Sosok dua orang itu kemudian menjadi viral di mana-mana. 

Orang-orang itu begitu histeris ketika melihat Iqbaal dan Vanesha. Anak-anak itu mungkin baper ketika melihat Iqbaal dan Vanesha tampak bermesraan di luar akting film. 

Yongalah. Mereka itu cuma pemeran, lho. Mereka berdua adalah orang yang kebetulan diberi peran sebagai Dilan dan Milea. Siapa yang membuat mereka menjadi insan yang seolah-olah sedemikian mengagumkan, adalah penulis cerita yang tidak tampak sepanjang film. Dia bekerja di balik layar. Siapa lagi dia kalau bukan Kang Pidi Baiq yang Maha Lucu, yang mengaku sebagai imigran dari surga, yang diselundupkan ke bumi oleh ayahnya, yang tegang di kamar pengantin.

Mereka gagal melihat peran Pidi Baiq yang tidak tampak dalam film, kecuali sebagian saja. 

‘Kebutaan’ seperti ini juga terjadi pada khalayak umum di tengah masyarakat kita. Banyak dari kita mengagumi makhluk yang tampak di depan mata sahaja. Kita lantas terlalu mengagumi mereka. Lalu lupa, siapa sebenarnya yang membuat manusia itu menjadi idola di dunia ini?

Tentu saja dia adalah Allah, sang aktor di balik segala kejadian di alam semesta. 

Itulah hikmah dari film Dilan 1990.

0 Comments