Pondok Pesantren ASSALAM Sudah seperti Ini atau Baru seperti Ini?



"ASSALAM sudah seperti ini atau baru seperti ini?" itu adalah pertanyaan almarhum Abah Abdul Moehaimin Tamam kepada salah satu muridnya yang jadi tukang, sedang membangun pondok ASSALAM II di Punggur (Dikutip dari buku Surgaku adalah Mengajar: 2016). 

Jika saya boleh menebak, ketika Abah mengutarakan pertanyaan itu, beliau sedang mengulang kembali  terkait perkembangan pondok yang ia bangun mulai dari titik nol; atau barangkali beliau tengah mengingat kembali perjalanan sebuah pesantren yang ia bangun berdasarkan 'linangan air mata' dan 'dengan kapital--bondo bahu pikir nek perlu sak nyowone pisan'. 

Perjalanan ASSALAM memang sudah cukup panjang, dari satu tempat ke tempat berikutnya. Pada tahun 2003, ketika saya masuk di ASSALAM, belum besar seperti sekarang ini. Masih berada di desa Rayung, asrama putra dan putri masih jadi satu. Belum punya masjid, hanya mushola kecil di sisi selatan—yang sebenarnya lebih mirip disebut ruang kelas daripada musholla. Faktanya tempat tersebut juga sebagai tempat mengajar Abah dan menyampaikan gembelangan pada santri-santrinya. 

Lahan di mana masjid sekarang berdiri, dulu, adalah hamparan rumput yang cukup tinggi, lebat, juga terdapat tanaman sayuran dan pepohonan jambu. Santri yang tinggal di kamar (kibar dan wustho) di sebelah selatan, akan serasa melewati semak-semak kalau mau ambil makan di dapur. 

Itu sekilas tentang ASSALAM era saya dulu. Adapun cerita pondok kurun awal tentu lebih sederhana lagi di mana santri-santi lebih banyak mencetak batu-bata untuk pembangunan pondok daripada belajar di dalam kelas. 

Saat ini, suda 10 tahun berlalu sejak saya meninggalkan pondok. ASSALAM sudah benar-benar beda. Pondok putri dan putra sudah terpisah sepenuhnya. Pondok yang di Rayung, Bangilan khusus untuk putri sementara pondok ASSALAM II di Punggur khusus putra. 


Beda Pondok ASSALAM Dulu dan Sekarang


10 tahun setelah saya meninggalkan pondok, saya tidak selalu mengikuti dan mengerti secara detail soal apa yang terjadi di dalam pondok, soal apa yang diajarkan, aktivitas para santri sekarang dan seterusnya. Abah sendiri kemudian wafat pada tahun 2015, di bulan Desember menjelang pergantian tahun masehi.

Baca: Meneladani KH. Moehaimin Tamam Nyantri pada Guru Sejati

Baru-baru ini ada salah seorang yang memiliki posisi strategis di salah satu orgnisasi massa membuat klaim bahwa ASSALAM bukan pesantren yang mengajari santrinya berdasarkan paham ahlussunnah wal jamaah. Namun tampaknya ia keliru dalam membuat kesimpulan. Orang yang membuat klaim tersebut faktanya tidak pernah ikut belajar di ASSALAM. Barangkali ia terlalu sering berbicara soal hal-hal yang jauh dirinya sehingga suka menyimpulkan sesuatu yang tidak dia tahu. 

Dalam hal ideologi, ASSALAM, saya percaya, tak akan pernah berubah. Pondok ini tetap berdiri untuk semua golongan. Santri dari pondok ASSALAM memang akan selalu memberikan warna di mana mereka berada, sehingga mungkin Anda akan menemukan sebagian mereka berada di kubu hijau atau biru, bergabung dengan pergerakan merah atau putih. Tapi Anda tak lantas bisa mengambil satu kesimpulan dari satu pihak belaka. 

Dan melihat perkembangan santri saat ini sungguh menyenangkan. Membandingkan zaman saya dengan zaman sekarang sungguh terdapat lompatan yang jauh. Dulu, santri kalau tampil di acara pesta perayaan akhir tahun (Haflah Akhirus Sanah) paling cuma kreativitas sholawat nabi. Sekarang sungguh luar biasa. Inovasinya sangat besar. Semakin tahun semakin mengagumkan. 

Kemarin saya baru saja menghadiri Haflah Akhirus Sanah (HAS) 2018. Soal antusias para hadirin dan kemegahan panggung dalam acara tersebut, saya pernah menulisnya tahun lalu.  Baca: Sayangnya KH. Moehaimin Tamam Sudah Pergi

Soal kemegahan panggung dan keramaian dalam acara tersebut tak perlu saya bahas lagi. Tapi yang membuat saya kagum hari ini adalah rangkaian penampilan para santri itu. Penampilan sholawat nabi, hafalan kitab Zubat, penampilan bahasa Arab dan Inggris tetap ada. Sekarang ditambah berbagai penampilan karya santri sendiri seperti kesenian barongsai, reog, marching band, orkes, dan masih ada lagi lainnya. 

Kehadiran teknologi semakin membuat pada hadirin pasti terpukau. Sebab saya sendiri pun begitu. Garapan multimedia anak-anak ASSALAM begitu rapi dan indah baik itu dari segi teknik kemara, editor, pengarah gaya, dan para pemeran. Semuanya mengesankan. 

Kebetulan saya duduk di belakang bersama dengan bebarapa ustaz yang masih mengajar di pondok saat santri-santri tampil. “Siapa yang mengarahkan santri-santri kreatif sehingga mampu menyuguhkan penampilan yang begitu atraktif, siapa yang mengajari membuat media-media interaktif seperti itu?”  Jawabnya adalah, itu adalah inisiatif para santi sendiri.

Lebih-lebih penampilan Reog Ponorogo makin membuat saya bertanya-tanya. Ketika saya kebetulan melihat penampilan tersebut, salah satu dari hadirin yang di dekat saya seolah tak percaya kalau yang menari di atas panggung itu anak-anak ASSALAM sendiri, melainkan para profesional. Saya pun sempat meragukan. Tapi tak lama setelahnya saya mendapat klarifikasi bahwa benar itu penampilan santri ASSALAM sendiri. Kok bisa, ya? 

ASSALAM masa kini telah jauh berbeda dengan 10 tahun lalu. Menurut saya pribadi, penampilan santri-santri ini sangat pantas mendapat apresiasi yang sangat besar. Mereka tak kalah dari penampilan-penampilan dalam acara yang sering muncul di televisi nasional.

Pada akhirnya saya jadi percaya bahwa pergerakan kebudayaan, keilmuan, dan hal-hal yang menyangkut kemajuan bangsa ini akan banyak bergantung pada santri.  Dan di ASSALAM ini adalah bibit yang akan melahirkan ulama yang intelek, berkarakter dan berbudaya. Integritas. 


Bersyukur Bisa Hadir di HAS


Almarhum Abah pernah dawuh, sejatinya ketika malam HAS berlangsung, semua santri yang pernah mondok di ASSALAM di mana saja berada diharapkan bisa datang. Saya pernah mendapat sebaran terkait harapan Abah tersebut sekitar tahun 2009 atau 2010.  

Namun sayangnya, tidak semua santri alumni bisa hadir karena terbentur dengan urusan masing-masing—yang  pastinya tak kalah penting; atau sebab keterbatasan-keterbatasan tertentu. Tapi bagi siapa saja yang bisa hadir, itu perlu disyukuri. Menghadiri HAS tak lain adalah ungkapan takzim murid kepada guru. Meskipun Abah sendiri saat ini ‘sampun mboten wonten’. 

Abah sendiri pernah mengajarkan dengan kitab ‘Taklimul Muta’alim’ pada santrinya bahwa menghormati guru itu tak kalah penting daripada memuliakan orang tua kandung. Dalam keterangannya, jika murid yang tak bisa ziarah kepada guru karena ia sibuk mengurusi orang tuanya, dikatakan bahwa murid tersebut akan mendapatkan barokah panjang umur karena mendampingi orang tuanya. Tapi di sisi lain, sebab mengurus orang tua tapi membuat murid tak bisa ziarah kepada gurunya, maka akan membuat murid tersebut itu kehilangan beberapa barokahnya ilmu. 

Dan akhirnya kenapa Abah ingin santri-santrinya selalu hadir pada acara HAS, yaitu mungkin biar para santri menjadi saksi perjalanan ASSALAM dari awal hingga saat ini. Dengan demikian, Anda mungkin bisa menjawab sebuah pertanyaan, "ASSALAM sudah seperti ini atau baru seperti ini?" 







0 Comments