DI BAWAH BENDERA

Di bawah bendera yang berkibar bocah kecil berdiri memandang kibaran bendera yang perkasa. Menghempas terterpa angin di udara. Ia mendongak ke atas dengan pandangan tajam dipenuhi rasa yakin akan kejayaan. Dia berdiri tegak menghormat kepada sang saka merah putih. Berdirinya tegak setegak tiang bendera di depannya. Kakinya kuat, sekuat bendera melawan angin di udara.
Bocah kecil yang pernah mengenyam pendidikan formal meski tak begitu lama itu, dibayangi harapan-harapan yang mengganggu setiap menjelang tidurnya. Meskipun, kenyataan tak seindah yang ia impikan. Nasib sekolahnya harus ia korbankan karena keadaan yang begitu mendorongnya kuat untuk meninggalkan dunia pendidikan. Ia harus bergulat dengan waktu di usianya yang dini demi melangsungkan kehidupan dia dan ibunya. Sejak ia berumur sepuluh tahun, ia harus mengurus ibunya yang tak bisa apa-apa kecuali berbaring di atas ranjang, lumpuh tak tau sebabnya.

“Maafkan ibu o anakku” kata ibu di atas tempat berbaring sambil mengelus rambutnya. “Maafkan ibumu karena tak bisa menyekolahkanmu lagi. Kamu harus memutus sekolahmu sebelum lulus.”
“Tak mengapa o ibu” jawabnya dengan wajah merunduk. “Aku sudah bersyukur sempat sekolah berkat usaha ibu dan ayah.
“Andai ayahmu masih ada mngkin kau masih bisa sekolah bersama kawan-kawanmu sebaya” lanjut ibunya sambil memejamkan mata, lalu mengalir air matanya.
“Sudahlah ibu, aku sudah bersyukur, aku sekarang bisa bekerja dengan alat musik dari tutup botol ini” dia kemudian memeluk ibunya. “ dalam keadaan apapun aku akan menjaga ibu sampai usia senja.”
“O anakku, hati-hati yan nak ketika bekerja di jalanan” ibunya membalas pelukan makin erat, makin deras pula air matanya. Sesekali mengecup kening anaknya. “ibu gak mau terjadi apa-apa dengan mu o anakku, kamu adalah satu-satunya harta yang ibu punya. Hanya kamu yang bisa melindungi ibu dari bahaya. Kamu yang bisa memberi makan ibu. Kamu o anakku, yang bisa membuatku merasa sejahtera. Pemerintah di negeri ini sudah tak peduli lagi dengan orang –orang menderita seperti kita. Mereka hanya memikirkan perut-perut mereka sendiri. Harta telah membutakan mata hati mereka. Rumah kita yang reot ini mungkin akan dihancurkan mereka pada suatu ketika, tapi malah mereka akan memperkokoh bangunan gedung tempat mereka sidang. Bukti kalau mereka tak pernah berpihak kepada kita o anakku. Mereka sering pergi jalan-jalan ke luar negeri dengan alasan studi, akan tetapi mereka pulang tak membawa ilmu apa-apa kecuali barang-barang mahal dari sana, emas, mutiara tas, arloji, kemeja untuk dia dan saudara-saudara meraka dengan uang aggaran belanja Negara. Belum juga pajak-pajak yang rakyat bayarkan ternyata diembat untuk foya-foya. Tapi o anakku, tetaplah kau bangga jadi orang Indonesia. cintailah Indonesia sepenuhnya. Perjuangkanlah ia agar tetap merdeka. Kau sudah ibu ceritai bukan, tentang darah para pahlawan yang mereka korbankan untuk negeri ini. Tetaplah yakin wahai anakku, suatu saat nanti, pasti ada di negeri ini seorang ksatria yang peduli dengan kaum papa seperti kita.”
“Iya ibu, meskipun hidup kita selalu sengsara, tapi aku yakin harapan itu masih ada” sambungnya dalam hangat pelukan ibunya.
**
Setelah bocah itu selesai melakukan ritual kepada bendera untuk membangkitkan keyakinan yang ada dalam hatinya akan suatu kejayaan di Indonesia, dia lantas pulang ke rumah. Ia hendak pergi kerja, mengambil peralatannya di rumah.
Waktu itu matahari belum terlalu panas menimpa bumi. Ketika melihat rumahnya, bocah itu tak sanggup lagi berdiri dengan tegak seperti saat dia hormat pada bendera. Hatinya seketika diguncang gelombang melebihi gelombang tsunami Jepang. Memporak-porandakan seluruh keyakinan yang barusan ia tanamkan. Semua luluh lantak. Ia jatuhkan tubuhnya di atas tanah setelah melihat orang-orang berseragam sama bertuliskan satpol PP di salah satu lengan bahunya. Mereka bagaikan iblis kepagian muncul di muka bumi.
Saat itu ibu-ibu, anak-anak, berteriak bagai cacing disiram air panas. Orang-orang berseragam itu bersikap brutal merusak tempat tinggal cacing yang tak berdaya. Tapi meraka tak menghiraukan lagi suara teriakan yang mampir di dalam kepalanya. Mereka ratakan rumah-rumah dengan tanah. Semua di kampung bawah kolong jembatan itu musnah.
“Ibu, bagaimana harus aku tanamkan lagi keyakinan akan kesejahteraan di negeri pertiwi jika seperti ini adanya?” gerutunya dalam hatiya yang panas


Oleh: Moh. Haris Suhud

0 Comments