Kosong Itu Merusak
Kosong itu merusak. Kosong
itu merusak. Kata-kata itu harus kami tancapkan dalam jiwa, harus selalu
diingat setiap saat. Sebab, kosong itu merusak siapa saja.
Setiap kali ada ustadz,
apalagi ada Abah yang kebetulan sedang lewat, kita harus terlihat sibuk; tidak
melamun atau nganggur. Cara paling mudah agar terlihat tidak kosong adalah
membaca. Jadi, kalau kebutulan kami sedang tidak membawa buku untuk dibaca—sedangkan
mereka ada di hadapan kami—kami mengambil apa saja yang ada di dekat untuk
dibaca, walau itu hanya sobekan koran.
Oleh karena itu, tak
ada santri yang kemanapun tanpa membawa buku. Aku juga begitu. Walau hanya
sebagai tameng. Di tanganku, buku yang kubawa itu tak pernah terbaca kecuali
dalam keadaan tertentu. Ya, saat mereka lewat di depanku.
Aku tidak terbiasa
membaca, aku tidak biasa belajar, aku tak biasa berpikir untuk pelajaran. Aku tidak
punya buku untuk dibaca. Maka, mulai saat itu aku mencari cara untuk bagaimana
tidak kelihatan tidak membawa apa-apa ketika kemana-mana.
Sungguh aku tak biasa
berkomunikasi dengan buku, dengan pelajaran. Walaupun aku sudah lulus SMP, tapi
masa itu aku tak pernah berurusan dengan pelajaran. Intinya aku bukan orang
yang rajin dengan urusan sekolah. Suatu ketika aku pernah ingin belajar
menjelang ujian semester. Tapi, setelah membuka buku, aku tak tahu apa yang
harus kupelajari. Aku tak tahu cara belajar. Tapi buktinya, aku lulus dari
ujian itu dan sekarang bisa melanjutkan di sekolah ini. SMA aku sekarang. [post_ad] Tapi bisa
saja sekolah ini yang tak punya ketentuan dalam menerima murid.
Jika dilihat
nilai-nilai yang tertulis di lembar kertas memang tak jauh beda dengan yang
lain. Bahkan dua saudaraku yang sekarang bersamaku ini, adalah termasuk
terkenal orang pintar karena tinggi nilai yang tertulis dalam kertas itu. Tapi kukira
sama saja. Mereka tak biasa dengan pelajaran. Sama seperti aku. Mereka dapat
nilai bagus-bagus karena mereka berdua adalah keluarga para pimpinan yayasan
SMP-ku dulu. Sedangkan aku tidak.
Bersama saudaraku itu,
aku berangkat ke pasar mencari buku bekas.
“Yang ini, Mas.” Tiga buku
kusodorkan pada penjual buku itu, yang kupilih berdasarkan sampulnya saja. Tidak
penting isinya apa. Yang penting, gambar sampul itu pantas dilihat: tidak
mengandung pornografi.
“Tiga puluh ribu,” kata
penjual itu. Kami tak menawar karena kami tak menawar agar cepat deal. Lagi pula
ada urusan yang lebih penting daripada membeli buku ini.
Setelah membeli buku
itu, kami tidak langsung keluar pasar. Kami menelusuri terowongan pasar makin
ke dalam; melewati para penjual kain, masih terus berjalan hingga melewati para
penjual alat-alat dapur, penjual sayuran, dan kemudian belok ke kiri kelompok
penjual daging dan ikan laut. Sampai akhirnya jalan sudah mentok, terpaksa kami
balik arah menuju arah keluar pasar tapi melalu terowongan pasar yang berbeda.
Di terowongan ini, kami
melewati para pedagang sepeda onthel, penjual aneka besi dan benda tajam,
kemudian mulai memasuki stand warung-warung makanan.
“Di warung yang tadi
saja, bagaimana?” Afik mengusulkan, kami menghentikan langkah sejenak
mempertimbangkan.
“Coba cari yang lain
dulu saja. Barangkali ada yang lebih nyaman dan aman.” Kamal balik menawarkan.
Aku diam saja. Akut ikut
kemana saja mereka. Untuk urusan ini mereka kukira lebih jago. Kami melanjutkan
perjalanan sambil menengok kanan dan kiri, memilih warung mana yang akan kami
singgahi.
Tapi sepertinya tak ada yang lebih aman daripada yang diusulkan Afik.
Akhirnya, kami balik arah menuju warung reot.
Setelah kami masuk, di
dalam warung itu yang terlihat hanya kendi—tempat air putih terbuat dari tanah—tak
ada deretan menu makanan seperti di warung-warung lainnya. Tapi tak mengapa,
memang tujuan kita bukan untuk makan. Rasanya tempat ini memang cocok.
Afik memutar kepalanya
ke sudut-sudut warung itu. Tak ada yang menarik perhatiaannya kecuali gambar
model seorang perempuan dengan gaya rambut sangat terlihat jadul. Yaitu, waktu
perempuan lebih bangga dengan gaya rambut keriting mengombak daripada lurus
seperti ekor kuda seperti perempuan cantik zaman sekarang. Tentu, gambar perempuan
itu bukan selera zaman kami, tak menarik perhatian kami.
Kamal menengok-nengok lebih
ke dalam warung itu, karena sejak kami masuk dalam warung itu tak ada orang
yang jaga.
“Kopi tiga, Mbah!”
pesan Kamal kepada perempuan tua yang sudah uzur usianya tiba-tiba muncul,
sepertinya memang dia pemilik warung itu. Kamal mengeluarkan sebungkus rokok
dari saku celananya.
Sementara aku, dudukku
teras amat tidak tenang. Beberapa kali aku melihat ke luar. Jangan-jangan ada
seseorang yang melihat keberadaan kami di sini.
***
Terik matahari sudah
terasa amat menyengat kepala ketika kami keluar dari warung itu. Kepala yang
kuraba sambil membenahkan rambut yang diterpa angin, terasa basah oleh
keringat. Kami berjalan pulang menuju pondok setelah puas menghabiskan beberapa
batang rokok dan minum kopi hitam di warung reot milik seorang perempuan tua
itu.
Aku berjalan paling
belakang. Kamal dan Afik berjalan di depanku bebarengan. Sesekali aku masih
menengok ke belakang: jangan-jangan ada yang mengikuti kami. Ketakutanku memang
lebih besar dibanding dengan mereka barangkali. Mereka tenang aku tidak. Aku gelisah
mereka tidak. Bungkusan buku dalam plastik hitam itu kugenggam erat untuk
mengurangi rasa kegelisahanku.
Entah selalu begitu,
perasaan gelisah selalu diiringi perut yang nyeri. Aku tak tahan menahan. Aku berlari.
Bungkusan itu keserahkan cepat-cepat di tangan kamal. Aku berlari.
“Ada apa, hoi?” Kamal
berteriak tak paham, kenapa aku tiba-tiba berlari. Aku tak menjawab. Aku tak
sanggup bicara.
Akhirnya sampai juga.
“Hoi...hoi...” teriak
santri yang sudah antri sejak tadi, tapi kudahului.
“Ah,” desahku
melapaskan segala kenikmatan di dalam ruang kecil yang kotor itu: toilet.
***
Setelah magrib,
acaranya belajar membaca Al quran. Setelah itu adzan isya sudah berkumandang. Aku
tak punya waktu melakukan ritual: merokok setelah makan malam. Jamaah adalah
wajib untuk santri baru. Siapapun yang
tak ikut pasti ketahuan. Ketua kamar selalu mengapsen. Ini, bagiku, adalah
siksaan yang berat. Dalam jiwa saya sudah terprogram sebuah semboyan lebih baik
tidak makan daripada tida merokok. Aku seperti kehilangan diriku.
Kepada santri baru
wajib mengikuti gemblengan Abah setiap malam. Mulai malam ini dimulai.
Santri-santri baru
sudah berkumpul di musholla. Aku, Kamal, dan Afik selalu bersama karena kami
adalah saudara seperjuangan. Yang lain sibuk mencari teman, berkenalan dengan
orang baru. Kita bertiga tak butuh itu. Masing-masing dari kami tak merasa
kesepian sedikitpun. Tidak seperti mereka. Kalau mereka ingin kenal dengan
kita, biar saja mereka yang datang mendekati kita karena kami tak butuh teman
lagi. Bertiga kita cukup untuk menjalani penderitaan di pondok ini.
Tak ada yang mendekat
ke kita yang duduk paling belakang di ruang depan. Di ruang belakang sudah
ruang untuk perempuan. Kami bersandar di tembok paling pojok.
Diam-diam, amat
rahasia, kita sedang merencanakan agar setelah acara gemblengan ini, kita
keluar mencari tempat paling aman untuk menghisap asap daun tembakau.
Entah apa yang
dibicarakan santri baru lain kita tak peduli. Sepertinya mereka adalah
orang-orang alim yang tidak doyan merokok. Di otak mereka yang terbayang adalah
bagaimana menjadi anak baik di pesantren ini. Tapi bagi kami bertiga, selama
satu minggu di sini, sama sekali belum tergambar bayangan seperti itu. Kami masih
sibuk dengan urusan mencari tempat dimana bisa meroko tanpa diketahui oleh
siapapun civitas pondok pesantren ini.
Ya, mencari tempat
persinggahan yang aman untuk memuaskan hasrat mulut ini yang sekarang sering
merasa kecut karena jauh dengan pahit rokok yang menikmatkan. Jadi, bagi kami,
merokok adalah wajib.
0 Comments