Aku sering mimpi. Mimpi yang seolah menjadi nyata, dejavu.
Mimpi yang serasa mencekik sampai tak
bisa bernapas, tindihan. Tapi kalau mimpi yang terulang-ulang apa
istilahnya? Terulang setiap malam selama satu bulan terakhir. Entahlah apa
menyebutnya, itu yang kualami.
Apakah setiap mimpi memiliki arti? Ada yang bilang, ada orang yang
bisa menafsir mimpi, tapi aku tak percaya. Menurutku, mimpi hanya bunga tidur,
tontonan gratis—pertunjukan drama romantis atau tragis—dari tuhan. Mimpi cuma
mimpi, tak punya arti apa-apa. Mimpi, yang pasti terjadi saat sedang tertidur.
Saat kita tidur, ruh lepas meninggalkan tubuh. Itu yang kupahami. Jadi, mimpi
adalah tentang ruh. “Manusia, tiada diberi ilmu tentang ruh kecuali sedikit.”
kata guru agama di sekolahku dulu.
Aku sering terbangun di ujung malam dengan tubuh basah berkeringat.
Istriku kadang juga sampai ikut terbangun.
“Mimpi apa, Mas?” tanyanya sambil mengelus rambutku. Pertanyaan sulit
untuk kujawab.
“Dikejar ular.” gitu saja sudah, jawabku. Lalu kuminum segelas air
yang ia sodorkan untukku. Terpaksa aku bohong. Biar! Paling tidak, agar tak
menyakiti hatinya. Malam selanjutnya dan seterusnya aku selalu menyiapkan
jawaban sebelum tidur.
Setiap setelah terbangun oleh mimpi-mimpi aneh itu, aku enggan
kembali terpejam. Mendekati pagi yang dingin, istriku memelekku erat. Selalu
begitu. Mungkin karena ia sedang rindu kehadiranku dalam ruang rindunya; dalam
percakapan tanpa kata seperti saat 'malam pertama'.
“Tapi maafkan aku, Rukmana! Barangkali memang aku suami paling
keparat di dunia, andai kau tahu.” kataku dalam hati.
Aku bilang ini mimpi buruk di depan istriku. Tapi bukan, bagiku
pribadi ini bukan mimpi buruk. Ini mimpi indah. Sumpah!
Demi keharmonisan rumah tangga yang terbilang masih muda ini,
beberapa hari lalu, aku pergi ke rumah dukun ahli mengusir ruh halus.
Barangkali mimpi-mimpiku itu tersebab iblis atau peranakannya yang mendiami
rumahku. Tapi apa jawab dukun itu?
Baru saja aku memasuki rumah gelap serba aroma menyan itu,
tiba-tiba ia berkata kepadaku, “Ah, ini datang satu lagi, pasti datang untuk
mengadu urusan cinta. Kau sangka aku pawang cinta apa!? Aneh sekali problem
manusia zaman sekarang. Ingin menggaet perempuan, minta bantu dukun. Yang
ditolak cintanya, juga menyerahkan
urusannya pada dukun. Hal semacam itu dibilang problem. Hahahaha.... Padahal
sebenarnya hanya diri mereka yang lemah menghadapi kenyataan. Hihihi...Uhuk.
Uhuk. Uhuk...” Ia tersedak asap rokok yang
memenuhi mulutnya.
“Semoga ia mampus sajalah.” batinku. “Bukan, Mbah dukun Samidi, ini bukan urusan cinta,” bantahku.
“Lalu?”
“Tentang perempuan yang...”
“Ah! Sama saja. Dukun tak bisa membantu masalah dengan perempuan. Pergi! Pergi!
Pergi!”
Edan! Tak pernah kukira dukun akan menolak pasiennya seperti itu. Aku
kira memang dukun itu sudah edan. Aku pun pergi sebelum menguraikan masalahku
seluruhnya.
Di bawah lampu kamar yang kubiarkan menyala, tiba-tiba memoriku
mengulang kejadian malam tadi dalam sebuah acara ludruk. Aku duduk di barisan
paling depan. Di sampingku, duduk seorang perempuan berpakaian serba hitam dari
ujung kaki hingga kepala.
Berkali-kali ia cekikikan sendiri saat adegan lucu. Suatu kali ia
bergumam sendiri mengomentari apa saja yang ia lihat. Sepertinya ia sedang
menikmati alur cerita yang sedang dipentaskan. Tapi, lama-lama menyebalkan juga.
Berisik.
Ketika drama komedi-tragedi itu selesai, ia mengutuk aktor yang
berperan sebagai Rama. Air matanya mengalir menangisi Sinta. Betapa teganya
Rama, membiarkan kekasihnya menceburkan diri dalam jilatan api menjulat hanya
untuk menguji kesucian Sinta. Begitu pentingkah keperawanan bagi Rama untuk
mencintai Sinta?
“Dasar lelaki, hanya keperawanan yang dicari.” begitu ungkapan
kecewa perempuan serba hitam tadi.
“Bukankah perempuan juga sama, hanya ingin menguasai harta lelaki!”
sebenarnya aku hanya kesal saja mengatakan kalimat itu pada perempuan di
sampingku yang dari tadi ngomong sendiri.
Ia menoleh. Pandangannya tajam, seperti mencari-cari sesuatu di
wajahku. Lama sekali. Dalam ruangan itu, cahaya lampu menerangi samar-samar. Aku
balas tatapannya. Perempuan ini sama sekali tak asing di mataku. Ia Cantik rupanya. Masih nampak muda pula. Jarang
ada perempuan sebelia ia datang di acara kesenian kuno seperti ini. Mungkin ia
terlihat cantik sebab tak ada perempuan seumurannya di antara penonton yang
datang. Memang kebanyakan adalah orang-orang tua yang sudah
mendekati udzur usia. Lalu, kemana remaja seusianya? Film-film dari negeri
Korea lebih asyik ditonton barangkali.
“Loh, sampean Teto, bukan?” tanya perempuan itu sedikit ragu. Ia mendekatkan
wajahnya menatapku dengan membungkukkan tubuhnya. Aku boleh kaget, karena ternyata
ia tahu namaku.
Aku sinta,” lanjutnya, “temen sekolahmu dulu, ingat?”
Aku pun mulai mengingat ulang teman-teman perempuan masa sekolah
dulu. Hanya Dian, Nina, yang kuingat, selebihnya sudah lupa. Karena dua anak
itu cantiknya minta ampun, dah! Setiap siang hari, sepulang dari sekolah,
kita anak-anak lelaki sering menggodanya; mencolek pipinya yang halus, mencubit
bokongnya yang emmm.... semok. Kemudian kita lari sambil menjulur-julurkan
lidah ke arah mereka. Esoknya lagi, masih saja kedua anak itu dengan bergandeng
tangan, jalannya megal-megol di depan kita. Sepertinya, memang mereka ingin menggoda kita agar menggodanya. Kita pun menepuk bokongnya lagi, lalu
lari lagi.
Sinta? Aku masih berusaha mengingatnya. Mungkin ia golongan anak rajin duduknya di barisan depan, mendengarkan ocehan Pak guru, ketika aku dan teman sebangku sibuk main kaca cermin mengintip celana dalam seorang siswi yang duduk di belakang bangkuku.
Sudahlah aku menyerah. Aku sudah benar-benar lupa kalau punya teman sekolah namanya Sinta. Tapi sungguh, aku amat mengenalnya, “O, iya, lama tak jumpa, pangling
sudah. Wajahmu banyak berubah. Tinggal di mana sekarang?”
Dan apa jawabannya: ternyata ia tetangga sendiri satu komplek. "Kok, kita tak pernah berpapas muka?"
“Ya, memang aku baru saja pindah rumah.”
Dengan malu-malu ia mengatakan
tentang yang sebenarnya terjadi, ia pernah diusir karena tuduhan melakoni
ilmu hitam. Begitulah yang ia ceritakan kepadaku dalam perjumpaan singkat itu.
***
Suatu malam di sudut kota Malang, sepanjang lorong gang yang tak
begitu luas, air menggenang di cekungan jalan yang tak rata. Hujan sejak tadi siang masih menyisakan rintik-rintik kecil. Suasana terasa sepi. Mereka sedang bercengkerama dengan pasangan
mereka masing-masing barangkali. Apalagi udara dingin serta hujan gerimis
seperti ini.
Tapi aneh, lihatlah perempuan-perempuan di dalam rumah itu, hanya ditemani anak-anak yang sudah terlelap
di sampingnya, bayi yang sedang menetek susu ibunya. Ada yang hanya ditemani
siaran TV. Ada juga yang malah dilihat TV, ketiduran menunggu suaminya pulang. Mulutnya
mangap, seperti buaya sedang menunggu mangsa. Kemana ini para suami?
Nah, perempuan satu ini sedang duduk di beranda rumah. Ia nampak resah gelisah menunggu kedatangan seseorang. Seperti perempuan lainnya; menunggu suami pulang. Sesekali aku melihatnya berdiri,
berjalan ke kanan-kiri lalu duduk lagi. Berpangku dagu. Termenung. Ia berdiri lagi, bibirnya menyungging senyum ketika aku
melewati pagar rumah. Ini aku yang datang bukan orang lain. Aku lihat wajahnya
semakin sumringah ketika ia yakin bahwa aku yang datang dari balik
rintik hujan malam itu.
Dalam percakapan sebelum tidur, ia sering cerita padaku tentang hari-hari lalunya. Sejak lama ia
ingin menjeritkan gemuruh dalam batinnya. Siapa yang tak susah menjadi
perempuan seorang diri terkucilkan.
“Aku tak pernah merebut
suami kalian,” ia mencoba menyanggah semua tuduhan kepadanya, ketika para istri
yang merasa diduakan oleh suaminya itu melabraknya, termasuk Rukmana, istriku.
“Nenek sihir!”
“Mak lampir!”
“Dukun pelet!”
“Murid iblis!”
Berbagai kata kutukan terlontar menusuk hatinya. Tak jarang ia meringis
menahan nyeri. Ia ingin menuntut keadilan. Tapi, keadilan seperti apa yang ia
harapkan di negeri demokrasi; suara-suara itu telah mengatakannya perempuan
lacur.
“Lupakanlah. Sekarang, kau punya aku, Sinta.”
Tak terasa gelap sudah di ujung malam setelah ia usai menceritakan semua kisah pahitnya padaku. Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari balik pintu,
kadang juga dari jendela.
“Siapa itu?” tanyaku.
“Lelaki-lelaki gila yang ingin meniduriku,”
“Apa kau memang pernah melayani?”
“Tidak pernah. Sekali pun, tak pernah! Mungkin mereka sering
bermain dengan fantasinya sendiri. Hingga dalam mimpi, mereka sering menyebut
namaku. Itu kenapa para istri mereka menuduhku merebut pasangan mereka.”
Dan aku cerai dengan Rukmana satu tahun lalu. Selama menjadi istriku, katanya, sama
sekali tak pernah merasakan hangat kasih cinta. Apalagi setelah ia tahu, aku
selalu menyebut nama Sinta dalam mimpiku, tapi ia pura-pura tak tahu. Aku pun pura-pura
mimpi buruk.
“Now, it’s time to sleep.” bisik Sinta di dekat telingaku.
“This isn’t dream anymore,” balasku dalam batin. Ia tersenyum lalu aku memeluknya.
Apakah semua lelaki sedang memimpikan seperti ini? Diam-diam aku
menyimpan tanya, untuk perempuan yang sedang dalam pelukan.
*Judul lagu Payung Teduh (2010)
0 Comments