SANTRI BUKAN TERORIS

        Begitu sangat mengejutkan ketika tiba-tiba saja kita mendengar berita tentang meledaknya bom di “pesantren” Umar bin Khatab di Bima, Nusa Tenggara Barat. Seketika itu juga dalam fikiran orang-orang yang tidak faham tentang pesantren langsung mengatakan. “Pesantren adalah sarang teroris”. Tapi sebenarnya bukanlah begitu kenyataannya. Pesantren yang asli akan tetap mendukung kesejahteraan dan kedamaian umat manusia. Jadi, “pesantren” Umar bin Khatab, Bima itu pesantren palsu?
Kata santri diambil dari istilah jawa dari lembaga pendidikan Hindu-Buddha. Lembaga itu disebut Dukuh, sedang penghuninya yaitu siswa-siswanya yang belajar di dukuh disebut sebagai sashtri, yaitu orang yang mempelajari sashtra (kitab suci). Untuk membedakan siswa-siswa beragama Hindu-buddha, maka siswa yang beragama islam disebut santri. Dan tempat para santri bukanlah Dukuh, melainkan pe-santri-an yang di lafalkan pesantren.

Dari cara berpakaian, santri tulen dari pesantren, biasanya dapat kita temui mereka dari cara berpakaiannya sehari-hari. Mereka memakai sarung, baju takwa (koko), peci, dan bakiak atau sandal japit.

Dalam perjalanan sejarah, santri tidak pernah melakukan pemberontakan untuk memecah belah kesatuan Indonesia. Ada yang mengira bahwa DI/TII itu adalah sebuah kelompok pemberontak yang melibatkan santri dan pesantren sebagai kekuatan. Tapi kenyataannya bukan begitu. Tokoh tertinggi dalam DI/TII seperti Sekarmadi Maridjan Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar itu bukanlah apa yang disebut santri asli. Melainkan mereka adalah orang-orang didikan sekolahan biasa. Kartosoewirjo adalah dari fakultas kedokteran di Surabaya, kemudian Kahar Muzakkar dari sekolahan di Jogja. Sementara itu santri-santri asli didikan pesantren seperti Kyai Iskandar Sulaiman, Kolonel Kyai Zarkasi, Kyai Syam’um, Kyai Yunus Anis, Kyai Duryatman dan lain-lain berada dipihak NKRI.

Kemudian jika ada yang mengaku santri lalu mangacau negara apalagi jadi teroris yang membunuh aparatur negara, bisa dipastikan itu adalah santri palsu. Mereka menggunakan istilah santri dan pesantren , untuk memuluskan skenario yang dirancang kapitalisme global, sesuai yang ditulis Samuel Huntington dalam buku The Clash of Civilization yaitu memunculkan kekuatan islam yang akan menjadi musuh bagi Barat. Jadi, cukup menggunakan istilah pesantren dan santri, mereka yakin telah bisa mengklaim bahwa seluruh umat Islam Indonesia yang mayoritas adalah ahlussunnah wal jamaah adalah ekstrim dan teroris.

Nah, jika santri yang asli tadi memakai sarung dan sandal kapiak dan segala perabotannya, maka sangat berbeda sekali dengan santri palsu. Biasanya mereka memakai celana cingkrang di atas mata kaki, kopiah putih, kening hitam bekas dibentur-benturkan ke lantai, kumis dicukur klimis, janggut menggantung. Sudah menjadi rahasia umum kalau santri yang berpenampilan seperti ini bukanlah santri yang berkultur ahlussunnah wal jamaah, melainkan orang-orang yang berfaham wahabi-salafi al-Badui. Mereka adalah orang-orang yang selalu menganggap salah terhadap orang yang berbeda faham dengan mereka, kemudian membasminya. Itulah budaya orang-orang Badui.

Dalam kaitannya dengan ledakan bom yang terjadi di “pesantren” Umar bin Khatab, Bima. Ternyata pondok itu dihuni oleh orang yang berseragam celana cingkrang, jenggot menggantung, dan sebagainya. Pondok-pondok seperti ini bukan seperti kebanyakan pondok di Indonesia, ada orang-orang yang menyokong dibaliknya untuk menebarkan faham-faham wahabisme, salafisme, atau baduisme tadi. Dalam berhubungan dengan masyarakat mereka nampak ekslusif dan mengasingkan diri, tidak mau berbaur dengan masyarakat seperti pondok yang berkultur ahlussunnah wal jamaah yang berkembang sejak Islam masuk nusantara. Semoga anda bisa menyimpulkannya!

Malang, 14 Juli 2011
Moh. Haris Suhud

0 Comments