PANGGILAN MAHAMERU


Mountain Moon Man
Awang, sejak terlahir di dunia, ia sangat akrab dengan alam. Seruan untuk menjelajah alam liar selalu menggema dalam dirinya. Tetapi dalam tubuhnya, ia mengidap penyakit asma yang bisa mengancam hidupnya sewaktu-waktu. Dua hal yang selalu bertentangan dalam dirinya; kecintaan pada alam dan penyakit asma.
Bagi Awang, penyakit asma itu sering membuatnya malu dan merasa lemah. Ketika ia sedang melakukan pendakian gunung bersama teman-temannya, jika penyakit bawaannya itu kambuh, akan sangat menyusahkan dan menjadi hambatan mencapai puncak. Tapi, teman-teman di komunitas pecinta alam tempat  ia bergabung sudah seperti keluarga sendiri, yang setia mengurusinya ketika ia sedang susah bernafas.

Pernah, pada suatu ketika asmanya kambuh saat hampir sampai di puncak salah satu gunung di Jawa. Teman-teman komunitas yang berangkat bersamanya saat itu,  rela menggendongnya kembali turun demi keselamatannya. Kemudian minta tolong kepada warga terdekat untuk membawanya ke dokter terdekat.
Awang memang anak yang keras kepala. Sebelum pendakian itu, teman-temannya sudah  memperingatkan agar ia tidak ikut. “Pendakian ini sangat berbahaya, Awang, sebaiknya kau tak ikut saja”, kata seorang teman padanya sebelum berangkat. “keluarga  lebih penting dari pada pendakian gunung, kan?” lanjut teman Awang yang sudah tahu betul keadaan tubah Awang.
Pada masa kecilnya, kecintaan Awang pada alam sudah tampak, ia lebih suka bermain di alam liar. Tak seperti teman seumurannya, mereka lebih suka bermain video game di kamar mereka masing-masing.
***
Hari itu, matahari sudah condong di barat ketika Awang memulai pendakiaannya menuju puncak gunung Semeru. Ia mengambil rute dari arah utara untuk mencapai puncak yang biasa disebut Mahameru dan Jonggring Saloko. Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Jawa dengan ketinggian 3676 m dpl. Jalur yang akan ia tempuh adalah; Landengan Dowo, Watu Rejeng, Ranu Kumbolo, Oro Oro Ombo, Cemoro Kandang, Jambangan, Kalimati, Arcopodo, kemudian menuju puncak. Rencananya, Awang akan mendirikan tenda dan bermalam di Ranu Kumbolo sebelum melanjutkan perjalanannya menuju puncak.
Kali ini, jalan setapak pegunungan yang sunyi ia telusuri sendiri tanpa seorang kawan. Setiap langkah yang ia bawa, adalah jawaban dari sebuah janji yang masih bersemayam dalam dirinya hingga kini. Ada sebentuk keyakinan, kegelisahan, dan ketakutan berkecamuk dalam hatinya.
Perjalanan yang berjarak 17.8 km dari tempat ia memulai pendakian, yaitu dari danau Ranu Pani, ia nikmati sendiri. Suara burung di atas ranting pepohonan membelai-belai dirinya di tengah kesunyian. Baginya, ini adalah sebuah kenikmatan yang tiada tara.
Sampai di Watu Rejeng, sekitat 1 km dari Ranu Pani, ia rebahkan tubuh di atas ransel besar yang ia sandarkan di pohon. Awang beristirahat sejenak untuk mengatur kembali nafasnya setelah melewati jalan yang terjal. Ia mengambil botol air yang ia taruh di bagian luar kanan tas ranselnya. Selembar kertas terjatuh saat ia menarik botol itu keluar. Ia baca, lalu memasukkan kembali ke dalam.
Setelah nafasnya kembali normal ia lanjutkan perjalanannya sebelum matahari jauh berjalanan menuju benam. Ia mengangkat ransel berat berisi segala persediaan selama perjalanan itu, lalu melangkah....
Semakin tinggi, hawa dingan semakin terasa menusuk tulang. Gumpalan mendung hitam bergelantung tepat di atasnya. Jika hujan turun, maka perjalanan akan sangat menyusahkan dan berbahaya. Jalan akan menjadi licin, apalagi jalan setapak itu tepat berada di bibir jurang yang curam. Selain itu, pohon tumbang juga sering terjadi saat hujan.
Cuaca di pegunungan sulit untuk diperkirakan. Waktu ia memulai perjalanan, langit sangat cerah. Pelan-pelan gerimis mulai turun. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia akan bisa melewati segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Jikalau pun nyawanya melayang di tengah perjalanan, ia telah menyerahkan segalanya kepada yang Maha Kuasa. “tiada kekuatan selain Dia” sebutnya dalam hati. Ia tetap melangkah....
Hujan semakin deras disertai angin. Langkah Awang harus terhenti oleh pohon yang tumbang menghalangi jalan. Ia keluarkan parang untuk membersihkan ranting yang menghadang jalang yang akan di laluinya itu.
Dengan susah payah Awang tebas ranting itu sendirian. Setelah mendapat setengah dari usahanya membersihkan ranting, ada pendaki lain yang kebetulan lewat, membantunya untuk membersihkan. Membersihkan ranting tadi cukup menguras tenaganya. Ia merasakan nyeri dalam dadanya. Awang terus melangkah....
Hujan yang lebat sudah reda. Kini langit kembali membiru, awan hitam lamat-lamat hilang. Cahaya matahari berwarna kuning menimpa  daun pepohonan. Waktu senja telah tiba. Rencana untuk sampai di Ranu Kumbolo diperkirakannya akan molor dan ia akan melalui perjalanan malam untuk sampai di tempat pertama mendirikan tenda.
Kuning senja semburat di wajah langit ufuk barat. Ia putuskan untuk berhenti di sebuah pos yang disediakan untuk tempat peristirahatan para pendaki. Awang masih percaya dengan petuah nenek moyang bahwa waktu senja adalah waktu yang berbahaya. Orang-orang dulu menyebut senja dengan sebutan “Sandek Olo” (dekat dengan bahaya). Memasuki waktu senja, mereka menyarankan keluarganya agar segera masuk rumah, dan yang di luar rumah supaya hati-hati karena celaka sering terjadi pada saat perpisahan antara siang dan malam.
Awang sempatkan untuk minum obat di pos tempat istirahat itu. Sebab, nyeri dalam dadanya semakin terasa. Beberapa saat, Awang pejamkan mata, mengatur nafas agar tetap tenang dan berdoa agar asmanya tidak kambuh sepanjang perjalanan ini.
Saat ia membuka matanya kembali, bintang-bintang sudah mulai muncul di hamparan langit. Sebuah keindahaan alam yang alami; bintang itu terasa sangat dekat sekali dari tempat Awang. Matanya tak berkedip melihat keindahaan ini. Bahkan ia lupa dengan rasa nyeri dalam dadanya. Diam-diam air mata mengalir membasahi pipinya. Ada suatu yang menamparnya saat pikirannya sedang melompat ke masa lalu membaca kembali kenangan yang dititipan pada cahaya bintang. Ia pun tersadar, kemudian ia melangkah...
Malam gelap, dingin, terasa membekukan tulang. Ia keluarkan  jaket tebal dari ranselnya untuk melawan dingin yang ia rasakan semakin lama semakin menyiksa. Awang merasakan nafasnya semakin berat, ia terus berusaha setenang mungkin agar penyakitnya tidak kambuh.  Ia pun duduk di antara semak-semak di pinggir jalan.
Awang mengatur nafasnya agar tetap normal. Tapi ia merasakan nafasnya semakin lama semakin berat. Ia terus berusaha untuk mengais udara, tubuhnya ia rasaan menjadi lemah, kemudaian melemah, dan melemah, kemudian gelap. Tubuhnya seperti terbang menuju kehampaan.
***
“Awang...Awang...Awang”
Samar-samar Awang mendengar suara yang memanggilnya dari arah yang  entah  dari mana. Dengan susah payah, ia mencoba menerka panggilan itu. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Suara yang memanggilnya, seperti suara yang pernah ia dengar sebelumnya. Cahaya terang menghampiri matanya. Ia sangat terkejut dengan apa yang dilihat di depannya saat ini.
Awang masih tak percaya, ia mengira telah mati dan tersesat di surga bertemu dengan bidadari yang mirip dengan kekasihnya dulu; Laksmi.
Bidadari yang ada di depannya saat ini sedang bersimbah air mata, mengalir deras dari matanya yang indah. Ia masih kenal betul dengan mata indah milik Laksmi itu.
Ketika dulu Awang masih bersama Laksmi, tiap malam purnama, mereka sering menikmati malam yang penuh bintang yang indah bersama. Saat itulah Awang sering mencuri pemandangan yang tak kalah indah dengan cahaya bulan yang bersinar di langit di mata Laksmi. Tapi mata itu kini menjadi sendu.
Awal Awang bertemu dengan Laksmi adalah ketika ia bergabung dengan komunitas pecinta alam di masa SMA. Jika terjadi cinta lokasi dalam sebuah komunitas itu adalah hal yang biasa. Dari situlah mereka memulai kisah cinta meraka. Tapi mereka harus berpisah setelah lulus sekolah karena masing-masing dari mereka melanjutkan belajar di kampus dan kota berbeda. Terpaksa mereka harus berhubungan jarak jauh.
Tiga tahun lalu, Awang harus memutuskan hubungan dengan kekasihnya karena Laksmi harus segera menikah. Pernikahan Laksmi dengan lelaki lain bukan karena ia tak cinta lagi dengan Awang. Tetapi Laksmi harus berhadapan dengan pilihan yang sulit.
Laksmi merasa menjadi anak durhaka jika tak memenuhi keinginan orang tuanya kali ini. Ia merasa iba pada keluarganya karena selalu mendapat cemooh dari para tetangga. Mereka bilang kalau keluarganya tak bisa mencarikan jodoh untuk anak perempuannya. Para perawan seumurannya di desa tempat ia tinggal sudah menikah semua. Selain itu, Laksmi juga sudah lulus dari kuliahnya sejak dua tahun lalu. Ia mengambil D3 kebidanan di salah satu kampus di kota Malang. Keluarganya tak mau dicap punya anak perawan tua. Sebab itu, keluarganya meminta Laksmi untuk segera menikah saja, dan tak usah menunggu Awang yang sampai sekarang belum lulus. Sejak itu mereka berpisah dan tak pernah bertemu lagi.
“Awang, kau tak apa-apa, kan?” Laksmi menggerakkan tubuh Awang yang lemas.
Awang tetap terdiam, tak sepatah kata pun mampu keluar dari bibirnya. Ia melihat Laksmi semakin deras meneteskan butiran bening dari matanya.
Awang berusaha bangun dari rebahnya dengan bertumpu kedua tangannya. Laksmi membantunya mengangkat tubuh Awang. Saat Awang terduduk, Laksmi langsung memeluknya, “maafkan aku, Awang.....” Laksmi bersedu-sedan.
Awang belum memahami semuanya; kenapa dia tiba-tiba ada dalam tenda, kenapa ada Laksmi di hadapannya saat ini, kenapa ia minta maaf padanya?
Laksmi melepaskan pelukannya kemudian ia membuka kertas yang ia genggamnya dari tadi, “aku menemukan ini....” Laksmi membuka lembaran itu di hadapan Awang, “ Aku menemukan ini....” kata Laksmi mengulangi, karena suaranya terputus oleh senggukan tangis “....saat aku mencari identitasmu.” lanjutnya.
Saat Laksmi dan teman-temannya menemukan Awang yang terkulai di jalan, mereka terpaksa berhenti dan mendirikan tenda di lahan yang tak begitu luas di dekat dimana Awang tak sadarkan diri. “kita memutuskan untuk mendirikan tenda di sini karena melihatmu sangat lemas, Mas” kata seseorang lelaki, teman Laksmi yang duduk di sampingnya di dalam tenda itu.
“Kau besok harus turun lagi dengan keadaanmu seperti ini”, pinta Laksmi pada Awang. “Biar nanti beberapa temanku mengantarmu turun”.
“Biarkan saja aku melanjutkan perjalanan” Awang berkata dengan suara pelan, “aku sedang ada janji di puncak Mahameru”.
Tangis Laksmi kembali pecah mendengar ucapan Awang barusan. Ia tak dapat menahan air matanya. Laksmi masih ingat dengan janji Awang yang pernah dikatakan padanya dulu. “Laksmi, aku berjanji, suatu saat kita akan mendaki gunung semeru bersama dan aku akan membacakan puisi ini di atas puncak untukmu” kata Awang waktu itu.
Sambil memandangi kertas bertuliskan kata-kata puisi yang sedang dipeganginya, Laksmi terbawa kembali ke dalam ingatan masa l`lu. Puisi itu selalu dibacakan oleh Awang untuknya saat mereka bersama. Laksmi membaca kembali puisi itu dalam hati, sesekali Laksmi menyeka air matanya yang mengalir deras.
“Maafkan aku, Laksmi, jika aku baru sekarang bisa memenuhi janjiku” kata Awang sambil mengulurkan tangan, meminta kembali kertas yang sedang dibawa oleh Laksmi. “Maafkan, jika aku merepotkan perjalananmu dan teman-temanmu. Aku akan melanjutkan perjalanan.”
“Malam ini, kita beristirahat di sini. Dan kau harus kembali turun besok pagi, Awang” kata Laksmi dengan sisa-sisa tangisnya.
“Aku harus melanjutkan perjalanan...” bantah Awang.
“Bagaimana jika sakitmu kambuh lagi di tengah jalan nanti?”
“Bagaimana jika aku mati tapi aku masih berhutang janji?” Awang balik bertanya.

***
Keesokan harinya, Awang melanjutkan perjalanan bersama dengan rombongan Laksmi yang tak pernah ia rencanakan. Hari itu adalah tanggal 19 Mei, tiga hari sebelum hari yang sangat mengenang, adalah hari dimana Awang dan Laksmi pernah menyebutnya hari cinta; hari saat mereka memulai kisah cinta mereka.
Puncak gunung Semeru rencananya akan ditempuh selama tiga hari dari tempat Laksmi menemukan Awang.
Sebelum mendaki puncak, rombongan ini bermalam di Kalimati, tempat terakhir istirahat para pendaki sebelum menuju puncak. Pendakian menuju puncak dilakukan pada pagi hari untuk menghindari gas beracun yang sering keluar pada waktu siang.
Kabut tebal menyelimuti puncak Mahameru saat itu. Awang berdiri beberapa meter di hadapan Laksmi membacakan puisi untuknya.

Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
Ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
Lebih dekat
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta*.

Awang mengakhiri membaca puisi, lalu melihat wajah Laksmi yang berdiri di depannya. Laksmi berjalan menuju ke arah Awang dan memeluknya.
“Apakah kau masih mencintaiku?” bisik Laksmi dalam pelukannya dengan Awang.

* Gambar diambil dari campfireskills.co.uk
* Penggalan dari puisi berjudul “Sebuah Tanya” ditulis oleh Soe Hok Gie pada 01 April 1969 sebelum dia meninggal karena menghirup gas beracun di puncak gunung Semeru.


                                                                                    Ranu Kumbolo, 19 Mei 2012

3 Comments

  1. Coba belajar menulis dengan teknik bercerita saja, jangan serba memberi tahu seperti gaya wartawan. ini udah bagus. tinggal bderlatih saja. Misalnya, Awang yang memiliki penyakit asma, jangan diberi tahu kepembaca, tapi bisa saja dengan penggambaran Awak yang sesak nafas, misalnya

    ReplyDelete
  2. komentar di atas dari Gol A gong ya, minjem account anakku.

    ReplyDelete