SENJA BENING LAZUARDI IV



Aku tak pernah mengira, dia, Senja Bening Lazuardi, seorang yang aku tahu tak pernah tertarik dengan dunia filsafat ketika aku dan dia masih bersama dalam satu kampus, sekarang ia malah jadi dosen filsafat. Berarti benar bahwa jalan hidup seringkali berubah 180 derajat. Seperti juga temanku yang satu ini, namanya Broto, dia pernah mengatakan kepadaku, ia bercita menjadi seniman besar tapi kenyataannya sekaranng dia menjadi pimpinan aliran fundamentalis, yang sering melakukan kekerasan dalam menindak hal yang dianggap salah dalam pandangannya di negeri ini.

“Jadi dia sekarang dia dosenmu filsafat, Nak?” tanyaku dengan raut wajah yang kaget.

“Iya, Pa.” jawab anakku.

Aku dan Senja putus kontak sejak lulus dari kuliah. Teman-teman yang lain juga tak tahu tentang keberadaannya. Dunia baru mungkin telah melupakan teman-temannya selama di bangku kuliah. Dunia baru seperti apa yang ia temukan, aku tak tahu.

Dalam perbincangan dengan Senja anakku, juga bersama ibuku itu, yang tadinya ia hanya diam tiba-tiba ibu menyela, “Senja sampai sekarang, mungkin, masih menunggumu, Wang, itu kenapa sampai sekarang ia belum punya suami.” ia berbicara padaku tapi pandangannya tak mengarah kepadaku, ia sibuk dengan kain yang ada di tangannya yang sedang ia jahit dengan tangan. “Apakah kamu tetap akan menjadi pengecut seperti dulu? Cepatlah ke rumahnya jika kamu memang lelaki.” lanjutnya.

“Aku kira Papa juga masih menyimpan cinta untuk dia. Mungkin benar prasangkaku, namaku yang sama dengannya bukan hanya kebetulan, tapi memang cara Papa mencintai dia.”

“Nah, betul itu. Biasanya, kalau orang pertama kali punya anak, ia akan minta pendapat pada orangtua sebelum memutuskan memberi nama anak pertamanya. Tapi Papamu itu tak bilang samasekali sama nenekmu ini, Nduk. “ Senja dan ibuku gantian berbicara, sementara aku hanya bisa diam.

“Jika namaku ini adalah bukti cinta Papa sama dosenku itu, aku akan mendukung Papa mengejar cinta Papa.”

“Biar Senja, cucuku yang paling cantik ini yang mengantarmu jika kamu tak berani menjemputnya.” ibuku menimpali.

“Iya, Pa, Senja siap ngantar Papa, kok.”
***
Tiga hari kami tinggal di rumah ibuku. Hari ini aku sudah kembali lagi ke Malang. Terngiang kata-kata ibuku sebelum aku kembali ke Malang. “Cepatlah menikah lagi. Segeralah kembali pulang ke rumah ini, merawat aku dan bapakmu yang sudah semakin tua ini.”

“Aku sudah kasih kabar ke Bu Senja kalau nanti malam kita akan berkunjung ke rumahnya”. Tiba-tiba Senja sudah ada di sampingku, membuyarkan keheningan sore itu, saat aku sedang duduk di depan rumah seperti biasa; menikmati cahaya senja.

Malam setelah Isya’ kami berangkat. Ketika sudah sampai di depan rumahnya, jantungku tiba-tiba  berdegup gugup. Aku tak bisa membayangkan seperti apa pertemuan nanti setelah kita lama tak bertemu. Apakah dia tahu maksud kedatanganku ini, atau dia akan mengira sekedar kunjungan teman lama. Entahlah, aku mengikuti langkah Senja yang lebih dulu sudah berdiri di depan rumah.

Senja mengetuk pintu. Tak lama setelah itu, pintu berderit kemudian terbuka. Berdiri seorang perempuan yang menyungging senyum menyambut kedatangan kami.

"Selamat malam, Bu" Senja melemparkan uluk salam takdzim.

"Selamat malam." balas perempuan itu.

Aku terkejut dan terpana melihat apa yang ada di hadapanku sekarang, aku mencoba menyembunyikannya dengan senyuman saat ia menatapku. Aku mendekat dengan Senja anakku hingga tak ada jarak, dan menyenggolnya dengan tanganku yang kusembunyikan dari pandangan perempuan yang ada di tengah pintu. Aku ingin menanyakan sesuatu padanya, tapi kemudian aku mengurungkan pertanyaan itu. Aku sudah terjebak dalam suasana yang memaksa harus diam saja. Lantas Senja menghadap ke arahku dengan pertanyaan menggurat di wajahnya akan maksud senggolanku barusan.

“O, ini Papamu?” sontak, suaranya memecah keheningan sejenak di depan pintu rumahnya malam itu. Sepertinya ia melihat keganjilan di wajahku.

Senja yang masih berpaling ke arahku, cepat-cepat menghadapkan mukanya ke arah perempuan itu. Tapi ia tak langsung menjawab pertanyaan itu, seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokannya. Beberapa detik kemudian ia bilang, “Iya, ini Papa saya. Namanya Awang, nama yang ibu tulis dalam puisi di kertas kecil di dalam buku ibu yang saya baca kemarin.” Senja mengatakan kalimat ini dengan jelas dan tegas.

Aku lihat wajah perempuan yang kira-kira berusia 40 tahun itu langsung berubah mendengar kata-kata Senja barusan.

Gaya bicara Senja yang lebih mirip dengan gaya detiktif itu membuatnya semakin penasaran. Ia mempersilahkan kami masuk. Kami duduk di atas lantai beralas karpet warna merah dengan motif bunga-bunga di tengahnya.

“Maksudmu tadi apa?” tanyanya melanjutkan pembicaraan di bibir pintu tadi.

“Di buku itu,” kata Senja sambil menunjuk salah satu buku yang berjajar di rak di sebelah kanannya, “Aku menemukan sebuah puisi. Puisi itu untuk Awang, Papaku ini. Kebetulan, beberapa hari kemarin, Papaku  juga bercerita tentang ibu, tentang Senja Bening Lazuardi. Dari rangkaian kejadian ini aku mengerti, bahwa kalian saling mencintai. Dan maksud kedatangan kami ini..." Senja diam sejenak karena ragu mengatakan kata terakhirnya, "Dan maksud kedatangan kami ini..." terhenti lagi, baru kemudian, "....adalah untuk menyatukan ibu dan papaku jika kalian masih saling cinta." punkasnya, setelah berhasil mengalahkan rasa ragunya.

Perempuan itu langsung berdiri mengambil buku yang ditunju oleh Senja tadi. Ia membolak-balik lembaran buku itu kemudian mengambil secarik kertas putih. Ia membaca setiap kata dalam kertas yang baru ia dapati dari tengah-tengah halaman buku.

Saat perempuan itu fokus dengan bacaannya, aku memiringkan tubuh ke dekat Senja, membisikinya, kalau perempuan ini bukan Senja Bening Lazuardi yang kumaksud. Wajah Senja langsung tampak kaget tak percaya, matanya melotot.

“Tapi ini memang Senja Bening Lazuardi, dan puisi itu jelas untuk Papa.”

“Sudah, nanti kita bahas di rumah. Ayo pulang saja.”kataku lirih.

“Maaf, Bu,” suaraku menarik perhatianya yang sedang tenggelam dalam tulisan yang ada di tangannya. Di menoleh ke arahku, “Yang dimaksud Senja Bening Lazuardi oleh anakku ternyata bukan anda. Kami salah orang.” dengan malu-malu aku mengatakan. “Kami pamit pulang saja, Bu.”

“Tunggu sebentar, “ cegahnya. “ Ini memang salah paham. Yang dimaksud Senja Bening Lazuardi oleh Senja anakmu memang bukan aku. Tapi mungkin seseorang yang juga pernah tinggal di rumah ini.”

Setelah mengatakan itu, Bu Senja beranjak dari hadapan kami menuju ruang belakang. Setelah kembali ia membawa buku kecil di tangannya.

“Sebelum aku menempati rumah kontrak ini, mungkin ada seorang yang menghuni rumah ini yang namanya juga Senja Bening Lazuardi.” Sambil membolak-balik buku kecil itu di tangannya, ia melanjutkan katanya yang belum selesai, “Saat aku membersihkan rumah ini, sebelum aku tempati, aku menemukan buku ini.” ia membuka lembaran buku itu, “ Mungkin ini adalah sebuah buku harian. Semua tulisannya tentang Awang. Sebelumnya aku mengira Senja Bening Lazuardi itu kamu, Nak.” Tatapannya sekarang mengarah pada Senja yang duduk di sampingku. “Akhirnya aku tahu Senja Bening Lazuardi adalah mahasiswiku sendiri. Setelah itu, aku kira buku ini hanya ungkapan kegalauan percintaan anak muda zaman sekarang.” .

Ia memberikan buku itu kepadaku. Aku mulai membuka lembar pertama dari buku warna biru itu.

SEMUA TENTANGMU, AWANG.

Aku buka lembar selanjutnya secara acak,

22 SEPTEMBER 2008
Cinta itu sederhana,
Kau hadir dalam hidupku,
Diam-diam kau menulis kalimat rindu di hatiku,
Begitu pula aku, menulis diam-diam kalimat ini dengan perasaan merindukanmu yang sungguh.

Aku membuka lembar selanjutnya. Yang menarik dari tulisan berikut ini adalah ia mencatat jam, menit, hingga detik saat ia menuliskannya.

01 JANUARI 2009               00:07:01
Entah, setiap aku pejamkan mata yang hadir dalam pelupuk mataku adalah kamu, Wang. Hingga larut ini aku belum bisa tidur karena kamu terus mengusikku. Andai kamu tahu, aku selalu seperti ini setiap malam. Bagaimana harus mengobati ini semua, aku tak tahu.
Awangku. Awangku.Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku. Awangku.

Hadirlah...!

Lembar yang terakhir dari buku harian Senja Bening Lazuardi,

07 MEI 2012
Akan aku kenang puisi yang telah kau bacakan pada malam itu, di pinggir pantai berkasih dengan  bintang malam yang indah.
Puisi tentang Senja Bening Lazuardi yang indah ini;
Senja Bening Lazuardi kembali menyapa
Desir angin dan dedaunan merunduk
Kaki ombak mulai berjingkrak
Berharap setiap malam ada sebongkah bahagia
Dalam hening Senja Bening Lazuardi
Di dalam hati yang paling jauh
Menyimpan cahaya kerinduan yang semakin tumbuh
Menjelma malam pekat penuh rindu mengaduh.
Maka dengarkanlah puisi ini, jawaban atas puisimu itu:

Pada lembaran terakhir ini, kertas itu tersobek, yang katanya Bu Senja digunakan sebagai pembatas buku yang ia baca beberapa bulan lalu. Akhirnya, sobekan tersebut ditemukan oleh Senja anakku, yang nantinya dikira puisi itu dikarang oleh Bu Senja untukku.

Membaca tulisan Senja membuat hatiku terenyuh juga menyesali, kenapa aku dulu tak berani mengatakan aku cinta padanya,yang  jelas-jelas perasaan itu ada untuk dia.

“Jika rumah ini dikontrakkan, siapa yang punya rumah ini. Apakah ibu bisa kasih kontak pemilik yang bisa dihubungi?”tanyaku pada bu Senja.

“Iya, rumah ini adalah milik Pak Solehun.”
***
Setelah menemukan rumah Pak Solehun, aku dan Senja langsung menemuinya.

“Belum lama dia pindah dari rumah yang aku kontrakkan itu, Mas. Tapi aku tak tahu ia pindah kemana. Selama ia tinggal di rumah itu, ia di temani oleh Mbok Marni, mungkin kalian bisa tanya sama dia. Rumahnya di gang sebelah.

Begitulah jawaban Pak Solehun ketika aku menanyakan tentang kemana kepindahan Senja. Setelah  menemukan rumah Mboh Marni, rumah itu juga kosong. Aku berpikir apakah dia juga ikut pindah dengan Senja. Tapi setelah aku tanyakan pada tetangga rumah itu, katanya Mbok Marni sedang pergi ke rumah kerabatnya.

Hari itu sudah mendekati sore, matahari sudah condong di barat. Aku duduk di depan rumah itu di atas kursi yang terbuat dari pohon bambu. Tak ada pembicaraa antara aku dan Senja. Aku berkutat dengan pikiranku sendiri, kenapa aku harus mencari-cari Senja Bening Lazuardi seperti ini. Aku baru menyadari, bahwa aku sedang terbawa oleh nafsu yang entah apa namanya. Apakah aku gila, kenapa aku tak berpikiran bagaimana jika Senja telah punya suami. Apakah aku akan tetap mengejarnya?

“Sebaiknya kita pulang saja.” kataku pada Senja tiba-tiba.

“Tidak, Pa, kita harus berusaha menemui Senja.”

Aku diam sejenak, lalu berkata, “Bagaimana jika dia telah bersama suaminya, hah? Mau kutaruh mana mukaku.”

“Dia masih menunggu Papa.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Mungkin. Banyak kemungkinan, Pa.” bantah Senja.

Di tengah perbincangan itu, datang dari arah berlawanan seorang perempuan yang sudah tua mendekat ke arah kami. Mungkin dia yang bernama Mbok Marni. Semakin dekat ia melangkah, kemudian aku berdiri menyambutnya. Ternyata benar, dia adalah Mbok Marni seperti yang dikatakan Pak Solehun.

Setelah aku menjelaskan kedatanganku ke rumahnya, ia tampak tak suka.

“Maaf, Mas. Aku tak bisa kasih tahu tentang itu. Aku sudah berjanji tak akan memberitahukan keberadaannya kepada siapapun. Sekali lagi maaf, Mas, ini telah menjadi janjiku.” kata-katanya semakin melemahkan niatku untuk meneruskan pencarian ini.

Kemudian Senja mendekat dan menjelaskan semua, ia memohon kepada perempuan itu, “Maaf, Ibu, memang benar janji adalah janji dan tidak untuk diingkari. Tapi jika pertemuan ini untuk sebuah kebahagiaan, apakah tidak lebih baik mengatakan dimana keberadaan Senja Bening Lazuardi. Apakah dia selamanya akan mengingkari kenyataan selama hidupnya, seperti Papaku ini.”

Aku tak tahu bagaimana anakku sangat lihai bernegosiasi. Aku terpukau dengan kata-kata lihainya dalam hal mempengaruhi orang.

Setelah percakapan itu usai, Senja bersalaman dengan perempuan itu.

“Ayo, Pa, kita berangkat sekarang, sebelum matahari terbenam.”

Tanpa aku tahu tujuan selanjutnya kemana, aku mengikuti langkah anakku. Ia meminta kontak mobil yang aku bawa. Dia yang akan pegang kemudi.

Kami berangkat melanjutkan pencarian pada waktu surup itu.

Bersambung……

0 Comments