SENJA BENING LAZUARDI V


Aku belum sempat menanyakan kemana tujuan pencarian selanjutnya. Di dalam mobil pikiranku kembali terpaku dalam bayang-bayang, bagaimana jika Senja telah memiliki suami. Untuk apa aku mencarinya?

Tapi kemudian banyangan itu terhapus dengan kata-kata anakku di depan rumah Mbok Marni beberapa waktu tadi. “Banyak kemungkinan, Pa” begitu katanya. Hanya bermodal kemungkinan, aku berani melanjutkan pencarian ini.

Aku melirik anakku sedang fokus mengendalikan laju mobil sore itu. Dia yang telah mempengaruhiku, mendorongku, mewujudkan cintaku, menjadi lebih nyata. Seandainya saja tak ada dia, mungkin selamanya, aku akan terus  diam, memendam perasaan cinta ini. Selamanya.

Caranya mempengaruhiku, mungkin ia telah banyak belajar dan mempraktekkan ilmu dari pelajaran sejarah filsafat dari dosennya tentang kaum Shopis yang pandai bicara di Athena.


Kaum Shopis atau “guru kebijaksanaan” adalah orang-orang yang pandai dalam Retorika seni berbicara, selalu berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lainnya untuk mengajarkan kebijaksanaan. Dalam menyampaiakan kebijaksaan tersebut mereka menuntut bayaran yang tinggi kepada setiap orang yang hadir.

Karena tingginya bayaran yang diminta kaum Shopis, Socrates mengkritik kaum Shopis sebagai para prostitute.  Dalam ungkapanya ia mengatakan, orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang adalah prostitute. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan adalah pelacur. Plato, sebagai murid Socrates membenarkan ungkapan gurunya tentang kaum Shopis tersebut.

Meskipun mereka mendapat pandangan negatif, tapi bagaimanapun, kaum Shopis telah  berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya kepada dunia. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu berbicara, tapi juga meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Shopis, abad ke-4 adalah abad retorika.

Sistematis retorika pertama kali diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran yang senang menggusur tanah rakyat. Pada tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi untuk menumbangkan diktator dan menegakkan demokrasi. Kemudian, pemerintah yang berkuasa akan mengembalikan kembali tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.

Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.

Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang berjudul Techne Logon (Seni kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, makalah itu intinya berbicara tentang “teknik kemungkin”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya dituduh mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita dapat mengajukan ungkapan, “Mungkinkah seorang yang kaya raya mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah sepanjang hidupnya, ia tak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri.” Sekarang, jika orang miskin yang dituduh mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita dapat menyanggah, “Ia pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama.” Jadi, yang disebut dengan retorika memang semacam  ilmu silat lidah.

Aku tahu sedikit tentang retorika ini karena beberapa hari lalu aku sempat membaca buku catatan anakku yang tergeletak di meja tamu. Dan ilmu inilah yang kumaksud ilmu yang telah dipelajari, kemudian dipraktekkan oleh anakku untuk mempengaruhi aku. Ia menggunakan teknik kemungkinan untuk mempengaruhiku yang sempat menyerah karena keraguan.

Tentang keraguan dan kemungkinan, aku teringat sajak pendek yang ditulis oleh seorang penyair, Sitok Srengenge:

Aku hanya yakin tentang keraguanku, katanya lagi.
Di dalam keraguan aku melihat begitu banyak kemungkinan.

Banyak kemungkinan Senja Bening Lazuardi belum menikah, sebab cintanya kepadaku begitu besar, seperti yang terungkap dalam buku diary-nya yang kubaca. Inilah kemungkinan umum.

***
“Pa…Pa… Bangun.” suara Senja membangunkan. Tak terasa aku tertidur dalam perjalanan. Aku tak tahu sudah sejauh mana perjalanan yang telah kami tempuh. Tapi aku mengira tidurku belum  terlalu lama.

Ada hal yang membuat aku bertanya-tanya ketika aku membuka mata. Mobil yang aku naiki berhenti di depan rumahku sendiri.  Bukankah tujuannya tadi adalah mencari rumah Senja, kenapa berhenti di sini?

“Senja...” panggilku dengan penuh penasaran. “Bukankah kita mencari tempat tinggal Senja? Kenapa berhenti di sini?”

“Kita sudah sampai, Pa?” jawabnya.

“Maksudmu, tadi kita sudah sampai di rumah Senja saat aku tertidur?”

“Bukan begitu. Di sinilah rumah Senja Bening Lazuardi.” Senja membuka pintu mobil lalu melangkahkan kakinya menuju beranda rumah.

Aku tak paham maksudnya, aku masih terdiam di dalam mobil memperhatikan langkahnya dengan seribu tanya di kepala. Apa maksudnya kita telah sampai di rumah Senja Bening Lazuardi?

Ia menghentikan  langkahnya di tempat biasa aku menikmati cahaya senja. Aku menyusulnya. Kemudian aku duduk di kursi sebelahnya.

“Ini semua maksudnya apa?” aku tak lagi betah menyimpan pertanyaan yang menggedor-gedor ruang dalam kepala.

“Saat tadi aku membujuk Mbok Marni untuk membuka mulut agar memberi tahu tentang keberadaan Senja, ia mengatakan bahwa Senja Bening Lazuardi telah pergi jauh. Mbok Marni sendiri sekarang tak tahu kabarnya.” sampai di kalimat ini jantungku serasa tersendat. Begitu pula dengan Senja, ia menghentikan kata-katanya, seperti tak sanggup melanjutkan cerita.

“Apakah maksudnya ia telah meninggal dunia, mati?”

“Aku tak tahu, Pa.”

Beberapa bulan setelah lulus kuliah, Senja Bening Lazuardi masih tinggal di kontrakan yang sekarang ditempati oleh seorang dosen filsafat.

Seperti sarjana lainnya, kewajibannya setelah keluar dari dunia kampus adalah mencari kerja. Tapi nasib itu tak selalu sama satu dengan yang lainnya.

Lebih dari dua tahun ia mengajukan lamaran kerja ke sana kemari tapi tak satupun yang menerimanya. Ketika semua jalan telah buntu, ada seorang yang menawarinya bekerja di luar negeri, menjadi pembantu rumahtangga. Bagi seorang sarjana, lulusan jurusan sastra Inggris, menjadi TKI, tentu bukan pekerjaan yang diharapkan. Tapi bagaimana lagi, kehidupan di dunia kadang memang tak beraturan dan tak dapat dirumuskan.

Beberapa tahun di perantauan ia masih sempat menghubungi Mbok Marni, meski hanya memberi kabar tentang kondisi kesehatannya. Ia menganggap Mbok Marni sudah seperti ibu kandungnya sendiri, walaupun sebenarnya ia adalah pembantunya selama ia masih menjadi mahasiswa.

Keluarganya, mungkin, sekarang tak menganggapnya lagi sebagai anak. Sebenarnya, setelah sekian lama tak dapat kerja, ia akan dinikahkan dengan pengusaha kaya raya teman ayahnya, dari pada ia sulit mencari kerja. Dengan pernikahan itu, ayahnya akan mendapat imbalan kontrak proyek yang menghasilkan uang sangat besar. Tapi ia menolak tawaran tersebut, selain ia tak suka dengannya ia juga tahu pengusaha yang sudah tua itu telah beristri empat. Semua keluarganya marah kepadanya. Akhirnya, ia kabur dari rumah, tak mau kembali pulang ke rumah.

Bekerja di negeri orang, sejak tujuh tahun lalu, hingga kisah ini diceritakan oleh Mbok Marni, tak ada lagi kabar dari Senja Bening Lazuardi.

Mendengar kisah yang baru saja dituturkan oleh anakku, aku langsung bergegas masuk rumah, menyalakan komputer. Aku mengetik nama SENJA BENING LAZUARDI dalam kotak pencarian di internet.

Dengan keyword yang aku masukkan dalam mesin pencari www.google.com . Di urutan paling atas, aku menememukan alamat blog seorang yang bernama Senja Bening Lazuardi lagi, orang itu menyebut suka dipanggil Bening. Setelah aku lihat photonya ternyata bukan. Bukan Senja Bening Lazuardi anakku, bukan Senja Bening Lazuardi seorang dosen filsafat, juga bukan Senja Bening Lazuardi yang kumaksud, yang kucintai selama ini.

Di bawah alamat blog itu, kutemukan cerita tentang Senja Bening Lazuardi yang ditulis oleh entah siapa, aku tak kenal, blognya ia beri judul “Morning Peace”. Cerita itu mencatat semua kisahku dalam perjalanan pencarian Senja Bening Lazuardi. Ini aneh, bagaimana ia bisa menuliskan kisahku? Siapakah dia?

Aku ingin menemuinya. Mungkin ia tahu akhir dari kisah pencarianku ini. Mungkin ia tahu keberadaan Senja Bening Lazuardi.

0 Comments