Aku belum sempat menanyakan kemana
tujuan pencarian selanjutnya. Di dalam mobil pikiranku kembali terpaku dalam
bayang-bayang, bagaimana jika Senja telah memiliki suami. Untuk apa aku
mencarinya?
Tapi kemudian banyangan itu terhapus
dengan kata-kata anakku di depan rumah Mbok Marni beberapa waktu tadi. “Banyak
kemungkinan, Pa” begitu katanya. Hanya bermodal kemungkinan, aku berani
melanjutkan pencarian ini.
Aku melirik anakku sedang fokus
mengendalikan laju mobil sore itu. Dia yang telah mempengaruhiku, mendorongku,
mewujudkan cintaku, menjadi lebih nyata. Seandainya saja tak ada dia, mungkin
selamanya, aku akan terus diam, memendam
perasaan cinta ini. Selamanya.
Caranya mempengaruhiku, mungkin ia telah
banyak belajar dan mempraktekkan ilmu dari pelajaran sejarah filsafat dari
dosennya tentang kaum Shopis yang pandai bicara di Athena.
Kaum Shopis atau “guru kebijaksanaan”
adalah orang-orang yang pandai dalam Retorika seni berbicara, selalu berpindah-pindah
dari tempat satu ke tempat lainnya untuk mengajarkan kebijaksanaan. Dalam
menyampaiakan kebijaksaan tersebut mereka menuntut bayaran yang tinggi kepada
setiap orang yang hadir.
Karena tingginya bayaran yang diminta
kaum Shopis, Socrates mengkritik kaum Shopis sebagai para prostitute. Dalam ungkapanya ia mengatakan, orang yang
menjual kecantikan untuk memperoleh uang adalah prostitute. Begitu juga, orang
yang menjual kebijaksanaan adalah pelacur. Plato, sebagai murid Socrates
membenarkan ungkapan gurunya tentang kaum Shopis tersebut.
Meskipun mereka mendapat pandangan
negatif, tapi bagaimanapun, kaum Shopis telah berjasa mengembangkan retorika dan
mempopulerkannya kepada dunia. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu
berbicara, tapi juga meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka
tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan
teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati
pendengar. Berkat kaum Shopis, abad ke-4 adalah abad retorika.
Sistematis retorika pertama kali
diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia.
Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran yang senang menggusur tanah
rakyat. Pada tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi untuk menumbangkan diktator dan menegakkan
demokrasi. Kemudian, pemerintah yang berkuasa
akan mengembalikan kembali tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus
sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu tidak ada pengacara dan
tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan
pembicaraan saja. Sering orang tidak memperoleh kembali tanahnya, hanya karena
ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya
di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang berjudul Techne Logon (Seni
kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, makalah itu intinya berbicara
tentang “teknik kemungkin”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah
dari kemungkinan umum. Seorang kaya dituduh mencuri dan dituntut di pengadilan
untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita dapat mengajukan
ungkapan, “Mungkinkah seorang yang kaya raya mengorbankan kehormatannya dengan
mencuri? Bukankah sepanjang hidupnya, ia tak pernah diajukan ke pengadilan
karena mencuri.” Sekarang, jika orang miskin yang dituduh mencuri dan diajukan
ke pengadilan untuk kedua kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita dapat
menyanggah, “Ia
pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi
pekerjaan yang sama.” Jadi, yang disebut dengan retorika memang semacam ilmu
silat lidah.
Aku tahu sedikit
tentang retorika ini karena beberapa hari lalu aku sempat membaca buku catatan
anakku yang tergeletak di meja tamu. Dan ilmu inilah yang kumaksud ilmu yang
telah dipelajari, kemudian dipraktekkan oleh anakku untuk mempengaruhi aku. Ia menggunakan teknik kemungkinan untuk mempengaruhiku
yang sempat menyerah karena keraguan.
Tentang keraguan dan kemungkinan, aku teringat sajak pendek yang ditulis oleh seorang penyair, Sitok
Srengenge:
Aku hanya yakin tentang keraguanku, katanya lagi.
Di dalam keraguan aku melihat begitu banyak kemungkinan.
Banyak kemungkinan
Senja Bening Lazuardi belum menikah, sebab cintanya kepadaku begitu besar,
seperti yang terungkap dalam buku diary-nya yang kubaca. Inilah kemungkinan
umum.
***
“Pa…Pa… Bangun.” suara Senja membangunkan. Tak terasa aku tertidur dalam
perjalanan. Aku tak tahu sudah sejauh mana perjalanan yang telah kami tempuh. Tapi
aku mengira tidurku belum terlalu lama.
Ada hal yang
membuat aku bertanya-tanya ketika aku membuka mata. Mobil yang aku naiki
berhenti di depan rumahku sendiri. Bukankah
tujuannya tadi adalah mencari rumah Senja, kenapa berhenti di sini?
“Senja...”
panggilku dengan penuh penasaran. “Bukankah kita mencari tempat tinggal Senja? Kenapa
berhenti di sini?”
“Kita sudah
sampai, Pa?” jawabnya.
“Maksudmu,
tadi kita sudah sampai di rumah Senja saat aku tertidur?”
“Bukan begitu.
Di sinilah rumah Senja Bening Lazuardi.” Senja membuka pintu mobil lalu
melangkahkan kakinya menuju beranda rumah.
Aku tak paham
maksudnya, aku masih terdiam di dalam mobil memperhatikan langkahnya dengan
seribu tanya di kepala. Apa maksudnya kita telah sampai di rumah Senja Bening
Lazuardi?
Ia menghentikan
langkahnya di tempat biasa aku menikmati
cahaya senja. Aku menyusulnya. Kemudian aku duduk di kursi sebelahnya.
“Ini semua
maksudnya apa?” aku tak lagi betah menyimpan pertanyaan yang menggedor-gedor
ruang dalam kepala.
“Saat tadi aku
membujuk Mbok Marni untuk membuka mulut agar memberi tahu tentang keberadaan
Senja, ia mengatakan bahwa Senja Bening Lazuardi telah pergi jauh. Mbok Marni
sendiri sekarang tak tahu kabarnya.” sampai di kalimat ini jantungku serasa
tersendat. Begitu pula dengan Senja, ia menghentikan kata-katanya, seperti tak
sanggup melanjutkan cerita.
“Apakah
maksudnya ia telah meninggal dunia, mati?”
“Aku tak tahu,
Pa.”
Beberapa bulan
setelah lulus kuliah, Senja Bening Lazuardi masih tinggal di kontrakan yang
sekarang ditempati oleh seorang dosen filsafat.
Seperti sarjana
lainnya, kewajibannya setelah keluar dari dunia kampus adalah mencari kerja. Tapi
nasib itu tak selalu sama satu dengan yang lainnya.
Lebih dari dua
tahun ia mengajukan lamaran kerja ke sana kemari tapi tak satupun yang
menerimanya. Ketika semua jalan telah buntu, ada seorang yang menawarinya
bekerja di luar negeri, menjadi pembantu rumahtangga. Bagi seorang sarjana,
lulusan jurusan sastra Inggris, menjadi TKI, tentu bukan pekerjaan yang
diharapkan. Tapi bagaimana lagi, kehidupan di dunia kadang memang tak beraturan
dan tak dapat dirumuskan.
Beberapa tahun
di perantauan ia masih sempat menghubungi Mbok Marni, meski hanya memberi kabar tentang
kondisi kesehatannya. Ia menganggap Mbok Marni sudah seperti ibu kandungnya
sendiri, walaupun sebenarnya ia adalah pembantunya selama ia masih menjadi
mahasiswa.
Keluarganya, mungkin,
sekarang tak menganggapnya lagi sebagai anak. Sebenarnya, setelah sekian lama
tak dapat kerja, ia akan dinikahkan dengan pengusaha kaya raya teman ayahnya,
dari pada ia sulit mencari kerja. Dengan pernikahan itu, ayahnya akan mendapat
imbalan kontrak proyek yang menghasilkan uang sangat besar. Tapi ia menolak
tawaran tersebut, selain ia tak suka dengannya ia juga tahu pengusaha yang
sudah tua itu telah beristri empat. Semua keluarganya marah kepadanya. Akhirnya,
ia kabur dari rumah, tak mau kembali pulang ke rumah.
Bekerja di negeri orang, sejak tujuh
tahun lalu, hingga kisah ini diceritakan oleh Mbok Marni, tak ada lagi kabar
dari Senja Bening Lazuardi.
Mendengar kisah
yang baru saja dituturkan oleh anakku, aku langsung bergegas masuk rumah,
menyalakan komputer. Aku mengetik nama SENJA BENING LAZUARDI dalam kotak
pencarian di internet.
Dengan keyword yang aku masukkan dalam mesin pencari www.google.com
. Di urutan paling atas, aku menememukan alamat blog seorang yang bernama Senja
Bening Lazuardi lagi, orang itu menyebut suka dipanggil Bening. Setelah aku
lihat photonya ternyata bukan. Bukan Senja Bening Lazuardi anakku, bukan Senja
Bening Lazuardi seorang dosen filsafat, juga bukan Senja Bening Lazuardi yang
kumaksud, yang kucintai selama ini.
Di bawah
alamat blog itu, kutemukan cerita tentang Senja Bening Lazuardi yang ditulis
oleh entah siapa, aku tak kenal, blognya ia beri judul “Morning Peace”. Cerita
itu mencatat semua kisahku dalam perjalanan pencarian Senja Bening Lazuardi.
Ini aneh, bagaimana ia bisa menuliskan kisahku? Siapakah dia?
Aku ingin
menemuinya. Mungkin ia tahu akhir dari kisah pencarianku ini. Mungkin ia tahu keberadaan Senja Bening Lazuardi.
0 Comments