Potret Endonesa Jaman Doloe



Koeli petik teh di perkebunan Ramawatie Priangan tahun 1900. Meski sebutannya sudah berubah jadi "buruh pemetik teh" tapi sistem kerjanya tidak berubah sehingga nasibnya pun tidak berubah. Semua seolah mengikuti prinsip gerak homeostatik kolonialisme-imperialisme: BISO OBAH ASAL ORA OWAH (boleh bergerak asal tidak berubah) sekali koeli ya tetap koeli apa pun istilah baru yang diberikan kepada status itu.



Penjual sate di Klaten tahun 1870. Sekarang sudah diwarisi canggah? Leluhur penjual sate ini berharap anak cucunya bisa berubah nasibnya...tapi inlander tak pernah bisa mengubah nasib karena sejak era VOC - Nederland Indie - Nippon - Orba - Reformasi kebijakan tidak pernah diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Momentum: Bung Karno, Proklamator, Founding Father, anggota organisasi Muhammadiyyah, Pembaharu Islam Indonesia, saat meng-amin-kan doa Pak Modin dalam acara SLAMETAN.




Pemerintah kolonial menerapkan sistem pemerintahan ganda, yg terdiri dari Binnenland Bestuur (pejabat kulit putih) menduduki jabatan Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen, Asisten Residen dan Inlandsch Bestuur (pejabat inlander) menduduki jabatan Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Kades. Penduduk tidak sadar dijajah karena sehari-hari menyaksikan pejabat pejabay pemerintah adalah pribumi. Padahal, penghasilan pemerintah dari rakyat mengalir ke Jakarta dan terus ke Nederland. Inilah gambar ambtenaar jaman kolonial. 


Nasib kuli perkebunan di era kolonial diawasi marsose akankah terulang?


Orang Indonesia Inlander yang berontak melawan pemerintah kolonial dengan senjata akan diburu, ditangkap lalu dimasukkan bui oleh KNIL (tentara kolonial yangg anggotanya pribumi). Aktivis kampus yang melawan dengan cara agitasi, provokasi dan mengindoktrinasi rakyat akan berurusan dengan polisi karena warga sipil. Aneh juga, jika sudah merdeka aksi protes warga sipil dihadapi oleh tentara.





SUMBER: https://www.facebook.com/agus.sunyotoii

0 Comments