DRAFT Novel 1

Kosong Itu Merusak

Kosong itu merusak. Kosong itu merusak. Kata-kata itu harus kami tancapkan dalam jiwa, harus selalu diingat setiap saat. Sebab, kosong itu merusak siapa saja.

Setiap kali ada ustadz, apalagi ada Abah yang kebetulan sedang lewat, kita harus terlihat sibuk; tidak melamun atau nganggur. Cara paling mudah agar terlihat tidak kosong adalah membaca. Jadi, kalau kebutulan kami sedang tidak membawa buku untuk dibaca—sedangkan mereka ada di hadapan kami—kami mengambil apa saja yang ada di dekat untuk dibaca, walau itu hanya sobekan koran.

Oleh karena itu, tak ada santri yang kemanapun tanpa membawa buku. Aku juga begitu. Walau hanya sebagai tameng. Di tanganku, buku yang kubawa itu tak pernah terbaca kecuali dalam keadaan tertentu. Ya, saat mereka lewat di depanku.

Aku tidak terbiasa membaca, aku tidak biasa belajar, aku tak biasa berpikir untuk pelajaran. Aku tidak punya buku untuk dibaca. Maka, mulai saat itu aku mencari cara untuk bagaimana tidak kelihatan tidak membawa apa-apa ketika kemana-mana.

Sungguh aku tak biasa berkomunikasi dengan buku, dengan pelajaran. Walaupun aku sudah lulus SMP, tapi masa itu aku tak pernah berurusan dengan pelajaran. Intinya aku bukan orang yang rajin dengan urusan sekolah. Suatu ketika aku pernah ingin belajar menjelang ujian semester. Tapi, setelah membuka buku, aku tak tahu apa yang harus kupelajari. Aku tak tahu cara belajar. Tapi buktinya, aku lulus dari ujian itu dan sekarang bisa melanjutkan di sekolah ini. SMA aku sekarang. [post_ad] Tapi bisa saja sekolah ini yang tak punya ketentuan dalam menerima murid.

Jika dilihat nilai-nilai yang tertulis di lembar kertas memang tak jauh beda dengan yang lain. Bahkan dua saudaraku yang sekarang bersamaku ini, adalah termasuk terkenal orang pintar karena tinggi nilai yang tertulis dalam kertas itu. Tapi kukira sama saja. Mereka tak biasa dengan pelajaran. Sama seperti aku. Mereka dapat nilai bagus-bagus karena mereka berdua adalah keluarga para pimpinan yayasan SMP-ku dulu. Sedangkan aku tidak.

Bersama saudaraku itu, aku berangkat ke pasar mencari buku bekas.

“Yang ini, Mas.” Tiga buku kusodorkan pada penjual buku itu, yang kupilih berdasarkan sampulnya saja. Tidak penting isinya apa. Yang penting, gambar sampul itu pantas dilihat: tidak mengandung pornografi.
“Tiga puluh ribu,” kata penjual itu. Kami tak menawar karena kami tak menawar agar cepat deal. Lagi pula ada urusan yang lebih penting daripada membeli buku ini.

Setelah membeli buku itu, kami tidak langsung keluar pasar. Kami menelusuri terowongan pasar makin ke dalam; melewati para penjual kain, masih terus berjalan hingga melewati para penjual alat-alat dapur, penjual sayuran, dan kemudian belok ke kiri kelompok penjual daging dan ikan laut. Sampai akhirnya jalan sudah mentok, terpaksa kami balik arah menuju arah keluar pasar tapi melalu terowongan pasar yang berbeda.

Di terowongan ini, kami melewati para pedagang sepeda onthel, penjual aneka besi dan benda tajam, kemudian mulai memasuki stand warung-warung makanan.

“Di warung yang tadi saja, bagaimana?” Afik mengusulkan, kami menghentikan langkah sejenak mempertimbangkan.
“Coba cari yang lain dulu saja. Barangkali ada yang lebih nyaman dan aman.” Kamal balik menawarkan.

Aku diam saja. Akut ikut kemana saja mereka. Untuk urusan ini mereka kukira lebih jago. Kami melanjutkan perjalanan sambil menengok kanan dan kiri, memilih warung mana yang akan kami singgahi. 
Tapi sepertinya tak ada yang lebih aman daripada yang diusulkan Afik. Akhirnya, kami balik arah menuju warung reot.

Setelah kami masuk, di dalam warung itu yang terlihat hanya kendi—tempat air putih terbuat dari tanah—tak ada deretan menu makanan seperti di warung-warung lainnya. Tapi tak mengapa, memang tujuan kita bukan untuk makan. Rasanya tempat ini memang cocok.

Afik memutar kepalanya ke sudut-sudut warung itu. Tak ada yang menarik perhatiaannya kecuali gambar model seorang perempuan dengan gaya rambut sangat terlihat jadul. Yaitu, waktu perempuan lebih bangga dengan gaya rambut keriting mengombak daripada lurus seperti ekor kuda seperti perempuan cantik zaman sekarang. Tentu, gambar perempuan itu bukan selera zaman kami, tak menarik perhatian kami.

Kamal menengok-nengok lebih ke dalam warung itu, karena sejak kami masuk dalam warung itu tak ada orang yang jaga.

“Kopi tiga, Mbah!” pesan Kamal kepada perempuan tua yang sudah uzur usianya tiba-tiba muncul, sepertinya memang dia pemilik warung itu. Kamal mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya.

Sementara aku, dudukku teras amat tidak tenang. Beberapa kali aku melihat ke luar. Jangan-jangan ada seseorang yang melihat keberadaan kami di sini.
***
Terik matahari sudah terasa amat menyengat kepala ketika kami keluar dari warung itu. Kepala yang kuraba sambil membenahkan rambut yang diterpa angin, terasa basah oleh keringat. Kami berjalan pulang menuju pondok setelah puas menghabiskan beberapa batang rokok dan minum kopi hitam di warung reot milik seorang perempuan tua itu.

Aku berjalan paling belakang. Kamal dan Afik berjalan di depanku bebarengan. Sesekali aku masih menengok ke belakang: jangan-jangan ada yang mengikuti kami. Ketakutanku memang lebih besar dibanding dengan mereka barangkali. Mereka tenang aku tidak. Aku gelisah mereka tidak. Bungkusan buku dalam plastik hitam itu kugenggam erat untuk mengurangi rasa kegelisahanku.

Entah selalu begitu, perasaan gelisah selalu diiringi perut yang nyeri. Aku tak tahan menahan. Aku berlari. Bungkusan itu keserahkan cepat-cepat di tangan kamal. Aku berlari.

“Ada apa, hoi?” Kamal berteriak tak paham, kenapa aku tiba-tiba berlari. Aku tak menjawab. Aku tak sanggup bicara.

Akhirnya sampai juga.
“Hoi...hoi...” teriak santri yang sudah antri sejak tadi, tapi kudahului.
“Ah,” desahku melapaskan segala kenikmatan di dalam ruang kecil yang kotor itu: toilet.
***
Setelah magrib, acaranya belajar membaca Al quran. Setelah itu adzan isya sudah berkumandang. Aku tak punya waktu melakukan ritual: merokok setelah makan malam. Jamaah adalah wajib untuk santri baru. Siapapun  yang tak ikut pasti ketahuan. Ketua kamar selalu mengapsen. Ini, bagiku, adalah siksaan yang berat. Dalam jiwa saya sudah terprogram sebuah semboyan lebih baik tidak makan daripada tida merokok. Aku seperti kehilangan diriku.

Kepada santri baru wajib mengikuti gemblengan Abah setiap malam. Mulai malam ini dimulai.

Santri-santri baru sudah berkumpul di musholla. Aku, Kamal, dan Afik selalu bersama karena kami adalah saudara seperjuangan. Yang lain sibuk mencari teman, berkenalan dengan orang baru. Kita bertiga tak butuh itu. Masing-masing dari kami tak merasa kesepian sedikitpun. Tidak seperti mereka. Kalau mereka ingin kenal dengan kita, biar saja mereka yang datang mendekati kita karena kami tak butuh teman lagi. Bertiga kita cukup untuk menjalani penderitaan di pondok ini.

Tak ada yang mendekat ke kita yang duduk paling belakang di ruang depan. Di ruang belakang sudah ruang untuk perempuan. Kami bersandar di tembok paling pojok.

Diam-diam, amat rahasia, kita sedang merencanakan agar setelah acara gemblengan ini, kita keluar mencari tempat paling aman untuk menghisap asap daun tembakau.

Entah apa yang dibicarakan santri baru lain kita tak peduli. Sepertinya mereka adalah orang-orang alim yang tidak doyan merokok. Di otak mereka yang terbayang adalah bagaimana menjadi anak baik di pesantren ini. Tapi bagi kami bertiga, selama satu minggu di sini, sama sekali belum tergambar bayangan seperti itu. Kami masih sibuk dengan urusan mencari tempat dimana bisa meroko tanpa diketahui oleh siapapun civitas pondok pesantren ini.


Ya, mencari tempat persinggahan yang aman untuk memuaskan hasrat mulut ini yang sekarang sering merasa kecut karena jauh dengan pahit rokok yang menikmatkan. Jadi, bagi kami, merokok adalah wajib.

0 Comments