Spirit Samurai Bangsa Jepang

Jepang berduka karena gempa! Itulah panorama menggentarkan yang oleh kebanyakan orang Indonesia hanya bisa disaksikan dari layar kaca. Namun hebatnya, Jepang tetap bertahan dalam duka dan malah bersiap untuk bangkit lagi.
Boleh jadi kesiagaan menghadapi dampak bencana ini terjadi karena Jepang sudah kenyang menghadapi gempa. Hanya saja, ada satu faktor lain yang tak boleh dilupakan, yaitu ‘spirit samurai’ atau ‘jalan pedang’ yang dihayati oleh bangsa Jepang.

 
Terus Berpikir
‘Jalan Pedang’ adalah sebuah filsafat hidup yang ditemukan oleh Miyamoto Musashi, pendekar pedang Jepang terhebat sepanjang zaman. Dalam kisah fiksi yang diramu oleh Eiji Yoshikawa, Musashi (terjemahan, 2005), Miyamoto Musashi adalah mantan berandalan yang kemudian mendapatkan pencerahan setelah mendapatkan wejangan dari seorang pendeta bernama Takuan Soho. Dengan kata lain, Musashi boleh dibilang adalah murid dari Takuan.
Nah, dalam buku The Unfettered Mind (terjemahan, 2006), sebuah kitab nasihat filsafat berpedang yang ditulis Takuan untuk karibnya pendekar pedang Yagyu Munemori, sang pendeta pernah berkata bahwa seorang pendekar tanpa tanding haruslah memiliki ‘pikiran yang tak berhenti’. Maksudnya, seorang pendekar tanpa tanding tidak boleh membiarkan dirinya berkubang dalam satu isu atau titik tertentu dari pihak lawan. Melainkan, ia harus memiliki pikiran komprehensif yang bercakrawala luas dan berwawasan ke depan. Dengan begini, seorang pendekar tak terkalahkan harus terus-menerus memperbarui diri dan tak boleh berleha-leha ataupun berpuas diri. Jadinya, sang pendekar harus terus berproses, terutama untuk mengatasi perubahan yang memang niscaya dan mengalir deras bak air.
Tampaknya filsafat ini diresapi betul oleh sang murid, Musashi, tatkala merumuskan jalan pedangnya. Dalam biografi terlengkap tentang Musashi, The Lone Samurai (terjemahan, 2006), William Scott Wilson menguraikan bahwa tujuan atau inti filsafat berpedang Musashi adalah “membuat dan melatih dirimu sendiri sedemikian rupa sehingga kau menjadi tanpa tanding dan tak terkalahkan, sehingga kau pun pasti akan meraih kemenangan dan tak khawatir mengalami kekalahan.”
Artinya, Musashi tidak berpuas diri dengan jurus-jurus dahsyatnya. Dia terus mencari jurus-jurus baru sehingga betapa pun orang berusaha mempelajari dan meniru jurus Musashi demi mengalahkannya, mereka pada akhirnya tetap tak mampu menggapai kemenangan karena Musashi terus-menerus melatih diri sedemikian rupa sehingga tak terkalahkan. Terbukti, resep ini manjur membuat Musashi tak pernah tertaklukkan dalam 36 pertandingannya melawan suhu-suhu bela-diri dari berbagai aliran dan ragam senjata.
Daya Lenting
Dari dua filsafat berpedang yang menjadi landasan roh samurai ini, wajar jika kita melihat betapa Jepang selalu mampu bangkit dari rentetan bencana yang menimpanya. Sebagai contoh, Jepang pernah dibom atom pada 1945 oleh Amerika Serikat. Alih-alih terpuruk, bangsa Jepang memilih untuk memperbarui diri dan menjalankan dwisula filsafat pikiran tak berhenti dari Takuan dan penggemblengan diri dari Musashi. Hasilnya, mereka mengubah diri menjadi lebih rendah hati, pekerja keras dan lebih disiplin.
Kemudian, gempa yang memorak-morandakan Kobe pada 1999 tidaklah menjadi sumber ratapan belaka. Sebaliknya, Jepang kembali berpandangan ke depan dan belajar banyak dari bencana tersebut. Buktinya, mereka sekarang mampu merancang gedung-gedung yang tahan deraan gempa, yang terlihat dari tetap menjulangnya gedung-gedung pencakar langit di Jepang meskipun sudah dihajar gempa berskala 8,9 Richter yang baru saja terjadi. Selain itu, mereka juga membangun sistem peringatan dini yang mumpuni untuk menyebarkan informasi soal gempa atau tsunami. Bahkan mereka membangun Earthquake Museum (Museum Gempa Bumi) di kawasan Nada, Kobe, untuk mendidik para warganya memahami serba-serbi soal bencana alam tersebut dan bagaimana menyelamatkan diri kala bencana itu datang tanpa bisa terelakkan.
Terakhir, tsunami yang baru terjadi jelas menghancurkan kawasan pantai timur Jepang Utara. Belum lagi, musibah kebocoran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima yang beruntun datang menimpa. Akan tetapi, Jepang niscaya bakal menunjukkan jati diri mereka untuk menerapkan pikiran yang mengalir tanpa berhenti dan terus belajar mengasah diri. Dengan kata lain, Jepang rasanya tidak mungkin berkubang lama dalam kedukaan dan mengasihani diri sendiri (self-pity). Sebab, mereka justru akan menjadikan bencana ini sebagai tantangan untuk mengantisipasi bagaimana dan apa lagi yang perlu dilakukan saat bencana serupa atau yang lebih dahsyat tiba menghantam di masa depan.
Akhir kata, masyarakat Jepang yang dianggap sebagai salah satu kiblat bangsa modern di Asia ternyata masih menjunjung tinggi sikap mental dan spirit luhur yang mereka warisi dari kultur leluhur mereka. Itulah spirit dari kultur samurai yang selalu berpandangan ke depan, tidak cengeng, tidak gampang berpuas diri, penuh integritas, terus menggembleng diri, tak luput berinovasi serta selalu mau belajar dari pengalaman masa lampau.
Tak heran, jika masyarakat Jepang di dalam perjalanan sejarahnya terbukti sebagai sebuah bangsa yang selalu berhasil mengatasi segala penderitaan dan bahkan bangkit kembali dengan tingkat kemajuan yang lebih menakjubkan. Semoga kita di Indonesia juga bisa belajar dari Jepang! ***

* Penulis adalah sosiolog, Magister Filsafat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

0 Comments