Basman, Sukran, dan Perubahan

Mereka adalah Basman dan Sukran. Bersahabat. Persahabatan. Sejak kecil mereka telah menjalin hubungan yang intim. Kemanapun, dimana, bagaimana, apa, mereka sering sama. Mereka, begitulah mereka.
Kini Basman dan Sukran telah beranjak dewasa. Sejak masih duduk di bangku SD, mereka selalu duduk di satu bangku yang sama. Sama. Sampai kuliah pun mereka masih tetap di Univesitas yang sama. Tapi  mereka mengambil jurusan yang berbeda. Meski demikian, mereka masih sering bersama. Hanya ketika ada kelas saja mereka nampak berbeda; Basman belajar Sastra sedangkan Sukran belajar Matematika.
Setelah selesai jam kuliah, Basman mengajak sahabat karibnya, Sukran, untuk bertemu di tempat mereka biasa nongkrong, di cafeteria kampus yang berada dekat dengan fakultas Basman.
NGOPI DI CAFETARIA. AKU TUNGGU.

Baru saja Sukran keluar dari dalam kelas. Ia membaca sms dari Basman. Tanpa berpikir panjang dia langsung meluncur pergi ke tempat yang disebutkan Basman.
Di cafeteria, tempat bertemu, mereka duduk di meja paling belakang dekat dengan tembok.
 “Aku ingin menato tubuhku, Kran. Apa kamu mau ikut?” Tanya Basman sampil menyulut rokok.
“Gila kamu, Bas. Kamu tahu sendiri keluargaku itu seperti apa. Mereka adalah orang yang ketat dalam beragama. Mereka pasti akan bilang HARAM. Dan bisa-bisa kulitku bisa dikupas sama mereka” suaranya dengan nada tinggi.
“Kran, sebagai orang terpelajar mestinya kamu bisa jelasin dong. Kasih argument bahwa tidak semua imam empat dalam islam yang dianut oleh keluargamu itu mengharamkan tato, Imam Hanafi, misalnya.” Ia berhenti sejenak, menghisap rokoknya dalam-dalam, “Tato aja di bagian dada kalau kamu takut dimarahi sama keluargamu. Gak kelihatan kan?
Sukran berpikir sejenak. Dia memang tahu tentang hukum tato masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, dan tato tidak bisa dikatakan haram secara mutlak. “Bemang benar, Bas. Aku sih oke saja….tapi di lingkunganku orang bertato akan selalu diidentifikasi sebagai orang yang gak bener; orang jahat, pecandu, maling, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan keburukan….”
“Ah, kamu benar, Kran.” Basman memotong pembicaraan Sukran, “Banyak orang yang tak tahu kalau sebenarnya arti asli tato bukan identik dengan keburukan. Tapi orang-orang sudah terlanjur mengambil kesimpulan sedimikian rupa.
Ideologi sebenarnya, yang terkandung dalam pembubuhan tato bukan merupakan sebuah keindahan atau bahkan sebuah pameran untuk menyombongkan diri agar dianggap hebat atau apapun.  Mulai dari pendeta Nubia pada zaman 2000 SM, sampai para pembantu pendeta bertato dari aliran Cybele di Roma kuna, sampai parut-parut luka moko suku Morori modern, manusia menato tubuh sebagai cara persembahan tubuh dalam pengorbanan, menahan sakit fisik pembubuhan tato, dan muncul sebagai manusi yang telah bertransformasi.
Meski ada larangan dalam hukum islam dan Kristen untuk membubuhkan tato, tetapi tato telah menjadi ritual perubahan. Kemudian diikuti oleh orang-orang di abad modern sekarang ini—semua orang, mulai dari remaja-remaja berpenampilan rapi sampai para pengguna narkoba tingkat tinggi.
Mungkin karena tato dipakai oleh kalangan yang terakhir inilah, kemudian tato mendapat pandangan jelek di mata masyarakat. Mereka akan mengatakan orang yang bertato adalah indikasi orang jahat.
“Maaf, Bas. Aku gak ikut menato tubuhku” tolak Sukran dengan suara rendah, “Hukum hanya hukum, sejarah hanya sejarah. Bagaimanapun lingkungan tempat kita hidup mempunyai pandangan hukum dan sejarah sendiri. Dan tato, di lingkungan kita adalah hal yang buruk” punkasnya.
“Ya udah….. aku akan menato tubuhku sendiri”
Dalam keadaan hening itu, mereka bersama-sama menyeruput kopi hangat yang ada di depannya.
“Srrruuuuuppp…….”

0 Comments