Negara
Hastina. Pertikaian antara kubu kurawa dan pandawa dalam masalah kekuasaan
berangsur-angsur tak terdengar lagi kabarnya. Patih Sengkuni yang biasanya
setiap hari memanas-manasi untuk menghabisi pandawa juga tak terlihat sedang bersama bala kurawa.
Apakah
sebenarnya yang sedang terjadi, apakah kurawa sudah merelakan tahta Hastina
kepada pandawa?
***
Menjelang
pergantian malam tahun baru, rakyat Hastina telah menyiapkan segalanya untuk
merayakan pesta pergantian tahun. Panggung acara sudah berdiri di beberapa
titik. Patih Sengkuni sibuk menanda-tangani surat izin acara yang akan digelar
nanti malam.
Para
pemuda sudah mulai keluar rumah, wira-wiri di jalan. Di perempatan jalan
sebelah utara banyak kemacetan. Polisi-polisi itu sibuk mengatur lalu lintas.
Penjual terompet itu menaruh dagangannya di sembarang pinggir jalan. Sudah
beberapa kali pak polisi menegur mereka untuk menyingkirkan dagangannya agar
tidak menyebabkan kemacetan. Tapi tetap saja penjual terompet itu ngotot tak
mau pindah.
Meskipun perayaan tahun baru masehi bukan
kebudayaan asli Hastina tapi raja Destarastra telah memberi izin rakyatnya
merayakan malam pergantian tahun dengan pesta-pesta. Uniknya, kebudayaan luar
itu menjadi warna-warni ketika masuk Hastinapura. Bisma misalnya, ia merayakan
tahun baru dengan menyepi, berdo’a bersama dengan beberapa warga. Yamawidura,
adik dari sang raja Destarastra itu menggelar pertunjukan wayang semalam
suntuk. Tak ketinggalan Sengkuni nanti malam juga mau goyang bersama artis
dangdut koplo di alun-alun Hastina. Aswatawa mau berangkat dari Sokalima. Anak
satu-satunya guru Dorna itu katanya mau nonton konser musik metal di depan
stasiun Hastina.
Ngomong-ngomong, kemana itu
para kurawa dan pandawa, mereka sama sekali tak menampakkan diri.
***
@puntadewa: Tak sabar menunggu. Sabarlah hatiku, rindu
sebentar lagi bertemu. Hari Sabtu aku menantimu.
@Bratasena: Seberdentam apa pun rasanya, seperti
pukulan godam di hati, tapi aku yakin akan bisa menahan perasaan. Hari Minggu
kita akan bertemu.
@Permadi: Lelah habis latihan memanah. Hari Senin, aku akan
menemuimu, melepaskan anak panah rinduku untukmu.
@Nakula:
Yeee.. ye... waktu cepatlah berlalu. Aku ingin hari Rabu-ku.
@Sadewa:
Hik, hik! Hari Kamis masih lama, ya?
Lima
saudara itu dari tadi sore tak keluar kemana-mana, sama sekali. Mereka hanya
mengurung diri dalam kamar mereka masing-masing: twitteran!
Hampir
secara bersamaan, mereka menulis tweet perihal kerinduan mereka masing-masing untuk
seseorang yang mereka rindukan. Anehnya, entah alasan apa, mereka
membuat kesepakatan tidak saling follow dan dilarang kepo. Begitu
perjanjian yang harus mereka sepakti. Termasuk tidak boleh memollow
saudara tuanya di Hastinapura, Duryadhana dan adik-adiknya.
@Duryudhana: Hahaha...! akan kuajak kau berduaan di tempat yang
indah. Kamis malam nanti akan menjadi saksi cinta kita.
Mereka semua seolah lupa dengan keinginan
mereka untuk menjadi raja. Tapi tanpa itu semua, wajah mereka tambah tampak sumringah.
Suatu
malam, Kunti, ibu para bala pandawa itu mendekati Puntadewa yang sedang duduk sendirian di taman di dekat air mancur, di sebuah taman, di Saptarengga. Tak biasanya, wajah yang selalu murung itu kok sekarang senyum-senyum
sendiri. Kunti bertanya ada apa gerangan kok anak sulungnya itu begitu nampak
bahagia. Lalu Puntadewa pun menjawab, “Beginilah seharusnya hidup, Ibu. Jatuh cinta
itu dapat mengubah segalanya. Orang yang paling merugi adalah mereka yang tak
merasakan jatuh cinta. Oh, indahnya rasanya jatuh cinta.”
Di tempat
terpisah, di Hastinapura, Duryadana sedang bersama Gendari, ibunya. Ia bilang
kepada ibunya, “Aku berterima kasih telah kau lahirkan di dunia. Oh, ibu,
seandainya saat ini Tuhan memberiku satu permintaan yang pasti akan dikabulkan,
aku ingin hidup dalam keadaan jatuh cinta dan mati pun dalam keadaan jatuh
cinta.”
Dalam
pertemuan arisan antar-negara, Kunti dan Gendari sering bertukar cerita kalau
anak-anaknya sudah semakin dewasa. Mereka bersyukur karena mereka sudah bisa
akur, tidak melulu tengkar merebutkan singgasana raja di Hastina. Mereka juga
merasa senang karena masing-masing anak mereka sudah punya ancer-ancer perempuan.
Betapa bahagianya seorang ibu yang sebentar lagi akan segera ngunduh mantu.
***
Lain
lubuk lain ikannya. Lain ladang lain belalangnya. Lain tempat lain suasananya.
Tahun
ini adalah tahun yang sangat mengagumkan bagi Sinta. Tahun 2012 dicatatnya
sebagai tahun penuh dengan cinta. Ternyata ramalan kiamat 21-12-12 tak terbukti
terjadi. Malah kenyataannya sepanjang tahun ini, ia merasakan banyak cinta
dalam hidupnya.
Sinta
tak tahu bagaimana harus menyikapi keadaan yang terjadi dalam hidupnya saat
ini. Ia tak kuasa menolak setiap ucapan kata cinta untuknya. Lima saudara
kurawa satu per satu, secara bergantian datang kepadanya mengungkapkan cinta. Yang
terakhir adalah Duryudhana. Jadi, sekarang jumlahnya enam orang bersamaan sedang
mencintainya. Untung saja bala kurawa yang berjumlah seratus itu tak semua ikut
mencintainya. Ia tak bisa membayangkan kalau seandainya semua itu terjadi.
Agar
tak terjadi pertikaian antara enam orang yang sedang kasmaran dengannya itu,
Sinta memberikan gelang kepada mereka semua. Setiap gelang warnanya berbeda:
Gelang biru untuk Puntadewa, Gelang hitam untuk Bratasena, Gelang kuning untuk
Permadi, Gelang ungu untuk Nakula, Gelang putih untuk Sadewa, Gelang hitam
untuk Duryudhana. Setiap gelang itu menunjukkan hari kapan mereka boleh
menemuinya. Kecuali hari Selasa, hari itu hari untuk dirinya sendiri.
Tak
ada maksud untuk menduakan, menigakan, mengempatkan, melimakan, mengenamkan
cinta. Cinta Sinta tulus untuk mereka semua. Sinta juga merasakan kerinduan
yang sama pada mereka semua. Tanpa dibuat-buat.
***
Tahun
baru 2013 ini jatuh pada hari Selasa. Semarak di sana-di sini sudah terdengar
gaungnya. Memasuki malam hari, panggung-panggung perayaan yang disiapkan tadi
siang sudah mulai berjejalan orang-orang. Raja Destarastra bahagia mendengar
laporan kalau rakyatnya bahagia.
Menjelang
pukul dua belas malam, Ia duduk di dekat kolam ditemani istrinya, Gendari. Istrinya
bilang kalau anak-anaknya sudah tak bermusuhan lagi dengan pandawa. Mereka telah
sepenuhnya menyerahkan urusan kenegaraan kepadanya. Suaminya sekarang jadi
tenang karena tidak akan ada pertumpahan darah karena perebutan kekuasaan. Gendari
juga senang karena itu artinya ia akan terus menjadi seorang istri raja.
Tepat tengah malam, terompet ditiup bersamaan,
suaranya serentak bertetet-towet. Kembang api meletus di udara jeblar-jeblar
lalu pecah menjadikan langit kelap-kelap tapi tak diikuti bumi gonjang-ganjing
karena ini bukan pertunjukan wayang seperti kata dalang yang selalu bilang, “bumi
gonjang-ganting, langit kelap-kelap” dimana ketika prahara mulai muncul dalam
cerita pewayangan. Sebab ini adalah negara Hastina yang damai, rakyatnya sedang
bersuka ria merayakan hari raya tahun baruan.
Setelah
prosesi sorak-sorai sebagai tanda memasuki awal tahun itu, mereka para
muda-mudi, tua-tui, melanjutkan pesta mereka. Aswatama masih asyik dengan hentakan musik
metal. Ia berjingkrak seperti sama sekali belum lelah. Sengkuni juga belum
bosan berjoget bersama dengan ketipung suara dangdut koplo. Pembawa acaranya
pun masih semangat mengiringi para penonton yang hadir, “Mari kita sambut artis
cantik bahenol kita. Yuk, kita sambut Via Valles. Masih bersama Selaaaaa...”
teriak si pembawa acara.
Para
penyanyi itu suaranya sudah hampir habis. Apalagi yang nyanyi lagu-lagu metal
itu, tenggorokannya sudah mau jebol. Tapi masalahnya, mereka sudah berjanji mau
menghibur sampai nanti matahari terbit. Terpaksa mereka tetap harus melanjutkan
dengan sisa-sisa suaranya. Tapi rasanya malam tahun baru terlalu panjang. Matahari
tak kunjung terbit, padahal jarum jam sudah menunjuk pukul enam.
Tapi
sampai pukul delapan, matahari belum juga muncul. Artinya, para penyanyi itu harus
tetap menyanyi sampai pagi tiba. Hingga pukul sepuluh yang biasanya sudah
panas, tapi masih saja gelap seperti malam.
“Apa
mungkin hari ini sedang gerhana matahari?” tanya Sengkuni yang baru sadar kalau
ternyata sebenarnya sudah siang.
“Barangkali
begitu, Pak.” Jawab asistennya.
Akhirnya,
patih Sengkuni dan lainnya membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing.
Dua hari,
tiga hari, empat hari, lima hari, enam hari, tujuh hari, genap seminggu
matahari belum juga muncul. Setiap hari serasa selalu malam. Mereka semua mulai
khawatir, gelisah, dengan keadaan yang sedang terjadi.
“Oh,
benar kata pujangga, orang yang sedang jatuh cinta malamnya selalu terasa
panjang.” Keluh Nakula sebab sudah tak tahan menahan rindu.
Puntadewa,
Bratasena, Arjuna, Nakula, Sadewa, Duryudhana, semua sedang merindu. Tapi setiap
ia mengintip keluar kamar ia dapati pagi belum juga datang. Lalu ia kembali
menyendiri menikmati sunyi, menjajaki rindu, menunggu hari miliknya.
Sinta
duduk sendiri di depan rumahnya. Ia juga khawatir sebenarnya apa yang sedang
terjadi. Satu Minggu berlalu tak ada matahari, tak ada orang-orang terkasih
mendatanginya.
Tiba-tiba,
“Toeeeeeeet.....”
Semula,
Sinta mengira itu suara terompet seperti tahun baru seminggu lalu,
“Toeeeet...Toeeet...Toeet...Toet...Toe...To...T.
. . .”
Lalu,
semua berhenti.
Hening. Titiknya suatu masa telah tiba.
0 Comments