Jejak Abah Moehaimin Tamam dalam Dirimu.

Haris Suhud dan KH Moehamin Tamam


Bagi santri seperti saya, pada mulanya tidak pernah akrab dengan Abah Moehaimin Tamam. Saya cuma santri yang dari awal, sebenarnya, tidak punya niat baik. Mondok bagi saya biar jauh dari orang tua, dapat uang jajan, bebas ngopi, dan rokok. Maka pertama kali yang saya cari sesampai di Pesantren Assalam adalah warung kopi. Ketemulah warung Mak Wek dalam pasar-- Azkal Mukafi , mantan rekan mondok hampir diangkat jadi cucu waktu itu seandainya tak boyong terlalu pagi.

Pertama kali melihat Mbah Yai adalah sosok yang menakutkan, menyeramkan, nyungkani. Sampai sekarang pun masih demikian, kalau ketemu. Tapi entah kenapa para santri waktu itu kok berlomba-lomba agar dikenal, saya pun ikut-ikut cari perhatian beliau.

Saya iri dengan Luqman Ayahe Tasya yang tiba-tiba sudah dikenal Mbah Moehaimin. Tapi itu wajar karena dia, konon, adalah adik Mbak Ida, ustadzah berprestasi. Mbah Yai mula-mula kenal dengan Mohammad Sofi, karena dia masih kerabat dengan Bu Mimin. Yai kenal sama Ahmad Saifudin, itu karena anak juragan tongkol dari Bulu itu berotak encer. Begitu juga dengan Ifa Ridlwan dan lainnya. Lalu bagimana mungkin Mbah Yai kenal sama saya yang berotak jongkok, punya hubungan keluarga pun tidak, tidak punya Mbak yang berprestasi pula.

Maka saya mulai memutar otak agar dikenal Mbah Yai. Salah satu jalannya adalah berani ngacung saat pelajaran beliau. Ngacung, adalah keberanian baru yang saya dapat di Assalam. Bener- salah.... Mboh, pokok wani. Setelah mulai berani ngacung, senakin ke sini, saya berani duduk di bangku paling depan.

'Kharees dari Kalitidu' begitulah Mbah Yai kemudian mengenalku, meskipun aslinya dari Ngasem. Lebih ndeso lagi dari Kalitidu.

Dari Internsif naik kelas empat mungkin, kalau gak salah, saya mulai diajak kalendaran. Kalenderan adalah sebuah jihad, hanya orang-orang terpilih yang dipanggil. Artinya, nama saya sudah tak asing lagi di benak Mbah Yai. Dan saya juga merasa benar-benar dikenali.

Melihat cara saya mengenalkan diri, Mbah Yai mungkin sadar kalau saya itu pekerja keras... *cieee. Maka adalah pilihan tepat jika sering menempatkan saya di hutan belukar nan gelap terpencil selama kalenderan. Beda sama Sofi yang ngalem dan masih mambu keluarga, selalu dapat daerah lembut perkotaan. Jika dia berhadapan dengan Satpam di perumahan, saya dengan anjing liar di semak belukar.

Pernah satu kali saya digemprong sama Yai secara privat, semacam les privat. Kalau santri ecek-ecek macam kalian mungkin digemprong bareng-bareng. Ya to? Saya sendirian, tepat di depan muka.

"Kharees.. Mana Khareess... Matane picekkk!" betapa pekik suara itu.

Kejadian ini terjadi saat kalenderan. Saya disuruh nunggu di masjid di dalam gang. Karena saya tak ingin merepotkan Mbah Yai dan mobil kalenderan masuk-masuk gang, maka saya menunggu di pinggir jalan besar saja, ehh.. tibake malah salah.

Kalenderan tahun berikutnya kejadian serupa terulang. Kali ini saya disuruh nunggu di POM pinggir jalan, tapi saya nunggunya malah di masjid dalam gang, tidur pula... Dan Mbah Yai pun marah tapi untungnya tanpa gemprongan. Versi ini yang selalu diingat Mbah Yai setiap kali saya sowan di hari raya.

Semakin dekat saja hubungan saya dengan Abah, kian hari kian tahun. Puncaknya ketika tiba di ujung tahun kelas enam: waktunya amaliah atau praktikum mengajar, atau micro teaching, atau semacam itu istilahnya.

Seingatku sebelum puasa, ngaji tarbiyah kelas enam bab teori kelar. Ujungnya, harus ada yang berani mengajukan diri menjadi pelopor amaliah, sebagai percontohan. Tak ada yang angkat tangan. Dan abah menetapkan-- dengan hak diktatornya dari angkatan bersangkutan--saya yang amaliah pertama kali. Ingat, pertama kali. Anak-anak pintar seperti Dina Kamila, Nita Assyam, Nurul Qibtiyah, Muth Sholihin, Futihatul Hasanah, Mustaqim Abu Fannan, Yuniarta Ita Purnama, Iin Muthmainnah, dll, kalah dalam hal ini: maka akulah pelopornya berkat Abah Yai. Akulah pelopornya.

Seburuk apapun amaliah yang saya lakukan, saya adalah pelopornya. Maka jangan heran kalau saya dapat panggilan mengabdi dari Abah Yai. Beda dengan Azhim Thalib yang tak begitu menonjol dalam hal apapun, kecuali sering kesurupan dan minta suwuk Yai. Wajar jika dia tak pernah mengajar.

Dapatlah saya gelar ustadz. Beberapa bulan mengabdi dan menyandang status ustadz, saya dipanggil abah lagi buat ikut kalenderan. Saya ustadz lho, kok kalenderan, ini bagaimana ceritanya?

Setelah itu, selama jadi ustadz, tak ada hubungan intim dengan abah. Saya cuma mengamalkan gemar membaca, seperti pesan abah. Koran selembar bekas buntel pecel pun saya baca, tanyakan Sofi kalau gak percaya, atau Charies Soetikno.

Gemar membaca mempertemukan saya dengan novel Andrea Hirata yang judulnya 'Sang Pemimpi'. Keinginan saya kuliah di luar negeri timbul dari situ. Namun akhirnya mimpi itu hanya berlabuh di Brawijaya. Tapi tetap membanggakan.

Konon setelah saya keluar dari Assalam dengan hormat--tanpa izin terpaksa seperti Charies Gotot--nama saya masih disebut-sebut abah karena saya adalah santri pertama yang menolak mitos 'santri ujungnya jadi kiai'. Bagiku tidak begitu, santri bisa menjadi apa saja seperti yang diimpikan. Dengan bangga saya katakan, saya adalan santri Assalam pertama kali santri yang kuliah di kampus negeri (bukan setengah negeri seperti IAIN Sunan Ampel, seperti kampus kampusnya Kholid Fauzi). Kampus saya Universitas Brawijaya Malang, kampus liberal. Hahahaahha...

Banyak yang kemudian mengekor jejak saya, Arin anak Pak Nur Ghozi sekarang juga kuliah di sana. Adik kelas juga ada yang masuk sastra inggris (lulus lebih dulu daripada saya).

Bagimanapun saya adalah pelopornya, ingat.. Saya adalah pelopornya. Saya. Adapun yang taqlid pada saya tak akan dikenang.

Harap maklum jika di brosur daftar anak intensif yang sukses di halaman pertama waktu itu--gak tahu kalau sekarang--adalah aku. Aku, Haris Suhud, santri yang tak punya sejarah bangun pagi, kata Luqman. Tapi itu hanya klaim sepihak padahal bangun saya pukul 07.00.

*Mohon kesombongan saya kali ini disikapi dengan bijak.

0 Comments