Kisah Anak Kecil dan Abah Moehaimin Tamam


Siti Masruroh

Ditulis Oleh: Siti Masruroh

Mengenal Assalam

Mulai dari kecil, anak ini sudah terbiasa terlambat dalam hal apa saja, mulai telat berangkat ngaji, telat mandi, bahkan seringkali juga telat makan. Namun bukan berarti anak ini pemalas, khususnya dalam mencari ilmu. Kebiasaan telatan akhirnya berlahan terkikis setelah ia masuk Assalam. Semangat belajarnya semakin berkobar setelah perjumpaan dengan sang murobbil karim, Abah Moehaimin Tamam.

Ia sudah mengenal Assalam sejak ia masih duduk di bangku SD. Mula-mula ia sering ikut saudara laki-lakinya, Charies Soetikno, yang sudah lebih dulu menuntut ilmu di sana. Dengan mengendarai sepeda BMX, ia dibonceng bak di film Korea. Di pesantren ini, ia menemukan guru ngaji baca Quran pertama yang ahli nan tegas; beliau adalah Ustadzah Sa'adah.

Ketika anak kecil ini mulai tumbuh dewasa, ia didaftarkan oleh orang tua yang selalu menyayanginya sebagai santri Assalam di kelas satu setingkat SMP. Awal-awal belajar di sana, sifat sering telat masih melekat kuat. Kondisi tak kunjung berubah. Ia tak pernah absen terlambat masuk kelas. Masuk tepat waktu paling-paling hanya bisa dihitung dengan jari.

Tapi Assalam selalu mengajarkan kedisiplinan pada santri-santrinya. Ia pun ingin mengubah kebiasaan yang kurang ahsan itu, walaupun toh sulit.

Terlebih lagi ketika ia mulai merenungi dawuh Abah Moehaimin Tamam yang selalu mengingatkan pada santrinya;

"Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina,"

"Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu."

"Bondo bahu pikir, nek perlu sak nyawane pisan."

Itulah di antara pesan KH. ABDUL MOEHAIMIN TAMAM yang membimbingnya agar terus memperbaiki diri, bahwa untuk menjadi orang berilmu itu butuh perjuangan besar.


Mencintai Assalam

Bersama sahabat perjuangan, teman karib sejak TK yang sama-sama belajar di Assalam, Kartika Hadi Wijaya, ia mulai memacu keaktivannya mengikuti kegiatan pesantren walaupun mereka berdua berstatus santri mbajak. Semangatnya yang mulai berkobar bisa jadi melebihi semangat santriwan-santriwati yang bermukim di asrama; M Yusuf Burhanuddin, Maria Oelfana Munar, Ustman Tjah Salee dan masih banyak lagi teman seangkatan.

Masih pagi benar sehabis subuh, ia sudah mengayuh sepeda butut yang setia bersamanya dari desa Sambung Lombok menuju pasar Bangilan yang masih sepi akan pengunjung. Dengan penuh antusias ia menjemput Kartika yang kebetulan rumahnya tepat di sebelah selatan pasar tersebut.

Terkadang ia jengkel tiap kali mengetuk pintu rumah sahabatnya kecilnya itu. Seringkali, kala ia sampai di depan rumahnya, yang ada hanyalah pemandangan gelap gulita, tak ada sepercik sinar sedikit pun terpancar dari kamarnya. Artinya, ia masih tidur cantik, sangat cantik. Huft...!

Dengan sabar ia selalu membangunkan dan menunggunya sampai siap berangkat. Dikayuhnya berdua sepeda menyusuri jalan terjal bebatuan menuju pondok. Kebetulan saat itu jalannya belum mulus seperti sekarang dan lampu penerang jalan masih sangat jarang. Gelap.

Pada suatu kali baru saja mereka sampai depan gerbang pondok, sudah terdengar suara lantang bersahut-sahutan nan kompak.

"Maadzaa barnaamijuna al-ana?"

"Barnaamijunal al-aana ilqoo-u al mifrodaati,"

Ya, mereka terlambat lagi. Apes. Kalau sedang tidak beruntung bahkan mereka mendapat hukuman. Tapi demi mendapatkan satu kata mufrodat (kosakata bahasa Arab), seperti inilah perjuangan yang harus ditempuh oleh mereka santri yang tidak bermukim di asrama.

Saat itu sehabis ilqo' mufrodat, dua anak ini tak langsung pulang. Sejenak mereka terdiam di depan kelas dekat kamar ustadz, yang kebetulan juga bersampingan kolam lele baunya semerbak khas aroma kasturi dalam tanda kutip. Mereka saling tukar pandang sambil tersenyum; bagaimanapun mereka berdua merasa bahagia atas perjuangannya meskipun telat. Paling tidak mereka boleh berbangga diri karena telah mengamalkan nasihat Abah, meskipun baru sedikit. Seperti dawuh Abah bahwa ilmu itu harus benar-benar dicari. Kalau hanya berdiam diri maka ilmu tak akan didapat.
 

Madu Assalam

Semakin hari, ia semakin semangat ingin melaksanakan semua gemblengan Abah. Hingga seragamnya kini telah berubah menjadi putih abu-abu, ia semakin penasaran dan ingin terus membuktikan kebenaran gemblengan Abah satu demi satu.

Semua nasihat Abah ia catat dalam buku khusus bersampul warna hitam. Semakin hari buku itu semakin penuh coretan dan semakin bertambah lengkap. Semakin banyak maqolah dan nasehat yang ditulis, semakin banyak pula gemblengan yang harus ia buktikan kebenarannya dalam kehidupan nyata.

Sedikit demi sedikit, ia mulai merasakan dahsyat khasiat gemblengan Abah. Buktinya, dia bukanlah anak berprestasi selama enam tahun belajar di Assalam tapi entah mengapa ndlalah ia sering menjadi pilihan Abah untuk mengemban beberapa amanah.

Pertama, ia pernah mendapat tugas mendampingi seorang da'iyah terkenal yaitu ibu Nyai Hj. Hanifah Muzadi (alm) dalam berdakwah. *Mari kita sama-sama doakan semoga Allah menempatkan Bu Hanif di sisi-NYA bernaung cahaya. Semoga kita semua kecipratan barokahnya. Amin.

Kedua, saat tiba pendaftaran santri baru (PSB), Abah memberinya tanggung jawab sebagai penguji bersama Ustman dan rekan lainnya. Ia heran mengapa Abah memberinya amanah seperti ini padahal ia bukan santri yang bermukim di asrama.

Yang mengejutkan lagi adalah ketika pada suatu malam, ia melihat namanya tertera dalam sebuah pengumuman yang tertempel rapi di mading pesantren bahwa ia menjadi salah satu lulusan yang mesti mengabdikan diri dengan ikhlas di pesantren tercinta. Hanya sedikit santri yang mendapat panggilan ini.

Anehnya, ia menjadi pengajar pelajaran yang langka diampu oleh guru perempuan: Khot. Mata pelajaran ini membuatnya bangga sekaligus takut. Bangga karena Abah langsung yang menyerahkan amanah ini padanya. Takut karena ia khawatir mengecewakan beliau karena sebenarnya ia merasa kurang mampu di mata pelajaran seni menulis huruf Arab ini. Tetapi amanah dari Abah harus ia jalani dengan senang hati dan ikhlas.

Usut punya usut, awal mula ia ditunjuk sebagai guru Khot bermula saat sahabatnya yang bernama Rahayu Fitriani mengumpulkan buku i'dadnya pada Abah. Beliau melihat sebuah kaligrafi di sampul dan beliau pun bertanya siapa yang menuliskan itu. Maka terungkap lah!

Setelah satu tahun mengabdikan diri, ia melanjutkan menuntut ilmu di Jakarta. Alhamdulillah, sekarang ia telah menyelesaikan hafalan Al Quran 30 juz berkat izin dan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa serta do'a dan restu orang tua. Semua ini mungkin tak akan terjadi jika tak ada pertemuan dengan guru ngaji di Assalam Ustadzah Sa'adah dan ketularan semangat Abah yang selalu menjadi inspirasinya.

Sekarang ia juga mulai mengajarkan ilmu yang ia dapatkan di sebuah rumah tahfidz di Jakarta dan ia akan terus belajar mengamalkan petuah Abah tentang arti kedisiplinan, keistiqomahan, dan perjuangan.

Akhirnya, Abah akan selalu terkenang sepanjang hayat. Semoga Allah menempatkan beliau di jannah firdaus-Nya yang haq. Amin.

*Dengan segala kerendahan hati saya sampaikan, anak kecil yang kini telah tumbuh menjadi remaja itu adalah saya sendiri, Siti Masruroh. Hendaknya dari rangkaian kisah di atas menyadarkan kita bahwa sukses itu hak siapa saja begitu juga menjadi orang yang berilmu. Berilmu bukan agar dikenal namun semoga agar dikenang sepanjang masa karena manfaat ilmunya; walau telah hidup di alam berbeda seperti Ayahanda kita Al Mahbub Abah Moehaimin Tamam.


Depok, 06 Januari 2016

0 Comments