Mengiringi Detik-detik Kepergian Pak Yai Moehaimin Tamam

KH Moehaimin Tamam


Ditulis Oleh Puput Priyo Santoso

Beberapa hari terakhir ini saya tidak ke pondok karena santri-santri sedang liburan. Malam itu setelah menghadiri acara muludan (Maulud Nabi Muhammad) di masjid Al Falah, tiba-tiba saya ingin ke pondok. Sebenarnya saya hanya ingin cari sedikit kesibukan saja. Namun justru kesibukan ini menjadi hal yang tak bisa terlupa sepanjang hidup. Malam itu saya mendorong kursi roda Pak Yai Moehaimin Tamam sesaat sebelum beliau menghembuskan nafas terakhir.

Tengah malam pukul 23.30, Pak Yai minta diantar ke kantor. Saya dan Syairozi mengiringi dari belakang. Sampai depan kantor, beliau minta ke toilet; Faqih dan Izzudin mengantar beliau. Ketika Pak Yai berada di dalam kamar mandi, Faqih bilang pada saya untuk menggantikannya untuk menjaga Pak Yai. Saya menyanggupi.

Saya menunggu Pak Yai di depan toilet cukup lama. Setelah beliau keluar, saya menuntun beliau balik lagi kantor. Di tengah perjalanan beliau tampak menahan rasa sakit sambil memegang jitok (bagian belakang leher).

Sampai di dalam kantor, beliau minta diambilkan minuman teh kemudian minta ditidurkan. Kami sangga pelan - pelan punggung beliau karena tersentuh sedikit kasar saja beliau sambat kesakitan.

Lebih setengah jam Pak Yai bisa tidur dan kami tunggui berlima; Saya, Sairozi, Gaguk, Vina, Izzudin. Setelah setengah jam berlalu, Pak Yai terbangun dan meminta untuk dibangunkan. Tak lama setelah itu, beliau bilang pada Vina.

"Vina.. besok yang mengantar Abah siapa? Yang mengantarkan Abah badannya yang bersih, baju-bajunya harus dicuci dulu, kakinya juga harus bersih, "

Sekitar Pukul 00:46 Pak Yai minta diantarkan ke dalem lagi. Saya yang siapkan kursi roda kemudian saya dorong pelan-pelan sambil teman-teman yang lain memijiti leher dan bahu beliau.

Jarak antara kantor dengan dalem tidak lebih dari 200 meter. Tapi seingat saya menghabiskan waktu setengah jam untuk sampai ke dalem karena kami harus mendorongnya pelan-pelan. Sekali saja kursi bergoyang menginjak kerikil di jalan Pak Yai langsung merasa kesakitan.

Sesampai di depan dalem, Pak Yai dawuh lagi.

"Vina.. besok yang mengantar Abah siapa? Yang mengantarkan Abah badannya yang bersih, baju-bajunya harus dicuci dulu, kakinya juga harus bersih, "

Kami antarkan Pak Yai ke kamar. Pelan pelan kami tuntun dan kami dudukkan beliau di atas kasur. Beliau minta ganti baju. Lama sekali proses ganti baju ini sebab Pak Yai merasakan sakit jika terjadi kontak pada tubuhnya. Jadi kami harus hati- hati dan pelan pelan. Setelah itu, Pak Yai minta ditidurkan.

Pukul 01:20 saya ke kamar ustadz, Vina sendirian menjaga Pak Yai. Saya tiba-tiba terbangun dari tidur dan mendengar kondisi Pak Yai sudah kritis. Kami bergegas ke dalem.

Ketika sampai di dalem, di sana sudah ada Bu Anim, Bu Ana dan santri yang mengajikan Yasin. Juga ada dokter untuk memeriksa Pak Yai. Tetapi, Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, beliau sudah pergi memenuhi panggilan Yang Maha Penyayang.

Menyadari semua ini, betapa saya sangat menyesali. Kenapa saya tak menjaga beliau sampai akhir? Kenapa saya meninggalkan beliau? Kenapa? Sampai sekarang penyesalan ini masih menghantui dan mungkin penyesalan ini tak akan pernah bertepi.

(Maafkan santrimu ini, Pak Yai. Semoga amal ibadah serta keikhlasanmu diterima di sisi Allah SWT. Akan selalu saya ingat semua yang engkau berikan termasuk julukan Puput Priyo Santoso Mangku Wanito Udo Sedoyo yang engkau sematkan, gemblengan- gemblengan yang engkau sampaikan akan saya amalkan semaksimal mungkin)

Awal Mula Mengenal Pak Yai dan Assalam Bangilan

Saya tahu Assalam sudah lama sekali , sejak usia saya sekitar 7 tahun. Rumah saya dengan pondok jaraknya cuma sejengkal, tepat di belakang pondok.

Waktu saya berusia 12 tahun, tepatnya tahun 2002, saya dan beberapa tetangga ikut ngaji di TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an) Assalam. Jadi, dulu itu di Assalam ada pendidikan semacam itu, Mbak Siti Masruroh salah satu alumninya. Namun setelah saya lulus sekolah dasar MI Salafiyah Bangilan, taman pendidikan itu sudah bubar. Entah sebab apa kok tidak berlanjut lagi.

Awal masuk kelas satu Assalam, saya sudah tidak asing dengan lagu-lagu Assalam; Mars Assalam, Abad 21, Kampung Damaiku, semua lagu itu sudah saya hafal di luar kepala bahkan versi Arab maupun Inggris.

Pengalaman pertama belajar di dalam kelas yang saya rasakan mungkin sama seperti santri-santri lain. Saya merasa asing dengan pelajaran-pelajaran Assalam. Setiap pagi saya selalu mendegar sapaan menggunakan bahasa Arab "Shobahal Khoir ... Shobahan Nur ". Saking seringnya, akhirnya saya tahu bahwa ungkapan Arab itu artinya ‘Selamat pagi’. Begitulah kira-kira. Dan saya tidak sadar, baru masuk Assalam saya sudah bisa ngomong dengan bahasa Arab.

Di tahun-tahun pertama saya belajar pulang-pergi dari rumah. Istilahnya santri luar atau santri bajak. Tapi mula-mula, pikiran saya mulai terusik ingin mondok ketika ada sekelompok teman seangkatan yang bermukim di pondok, mendatangi rumah saya untuk sekedar numpang wudhu. Sejak itu mulai muncul angan-angan, kenapa saya tidak sekalian ikut mukim di pondok biar bisa sholat bareng , makan bareng, tidur bareng.... mandi bareng. Hem.. dasar santri!

Mulailah saya sering pergi ke pondok meskipun tidak pada jam sekolah, yang kemudian mengakrabkan saya dengan teman-teman Alex Umarouv, Suyadi, Beny As'ad. Saya bukan satu satunya santri luar yang sering bermalam di pondok; Alfiyanto, NH. Rif'an Najih, Siti Fitriyana adalah santri tidak mukim tapi sering di pondok.

Memang benar dawoh Pak Yai bahwa kesuksesan santri luar dengan santri yang mukim di pondok itu beda. Sebab, semua yang ada di pondok mengandung pendidikan.

Ketika saya hidup di pondok, banyak pelajaran yang bisa saya petik, salah satunya adalah menghormati hak orang lain. Di pondok para santri diajari untuk disiplin; mau makan, antri; mandi, antri; mau berak, antri; tidur pun antri, hah?

Begitu asyiknya kehidupan di pondok sampai saya kadang lupa rumah. Paling-paling saya pulang hanya untuk makan atau mandi saja, lalu balik ke pondok lagi.

Puput Priyo Santoso Mangku Wanito Udo Sedoyo

Jadi ceritanya selama 4 tahun saya belajar di Assalam, Pak Yai belum kenal saya. Pak Yai hanya tahu saya sebagai anak dari Pak Warijan; karena Bapak saya selalu menitipkan semua anaknya ke Assalam. Sementara itu, Pak Yai cenderung mengenal di antara ratusan santrinya yang berotak encer seperti Beny As'ad, Muhammad Faiz Nashrulloh, Munawar Said, Atyatul M, Fatmawati dll.

Hari itu kami kehilangan teman dari intensif generasi ke-2, namanya Sholikhah, santri dari Tambakboyo, Tuban. Dia meninggal karena penyakit pembengkakan pada kakinya.

Rencananya kami akan pergi takziah. Satu per satu teman-teman yang mau berangkat masuk ke mobil. Saya masuk paling akhir, tapi ternyata mobil elf milik Pak Yai seperti yang dikisahkan Ustadzah Dina Kamila sudah penuh. Terpaksa saya pun tak jadi ikut dan akhirnya saya memutuskan balik pulang.

Sampai di rumah saya lihat jadwal pelajaran hari itu. Kebetulan ada pelajarannya Pak Yai pada jam ke 4 dan 5. Saya pun bergegas ikut pelajaran beliau dan duduk di barisan paling depan, barisan yang biasanya diisi oleh teman-teman berotak encer yang saya sebutkan di atas.

Bab Al Ikhlas dalam kitab Idhotun Nasyiin menjadi materi pilihan Pak Yai waktu itu. Beberapa pertanyaan dilempar pada kami dan saya mencoba untuk angkat tangan. Pada pertanyaan kesekian akhirnya saya pun ditunjuk.

"Anta" begitu Abah menunjuk saya dengan aura kewibawaanya.

Saya mengenalkan diri saya Puput sebelum menjawab. Tapi Abah kemudian memanggil saya Puput Udel (pusar) setelah itu ada julukan lebih panjang lagi ‘Puput Priyo Santoso Mangku Wanita Udo Sedoyo’. Apa arti nama itu, entahlah. Yang pasti sosok Pak Yai yang kami kenal 'kereng' dan berwibawa ternyata juga sosok yang humoris. Dan setiap kali julukan itu disebutkan, saya malah senang dan geleng-geleng kepala.

Lebih Dekat Belajar Organisasi dengan Pak Yai

OSPA masa bakti 2007–2008, saya mendapat amanah menjadi ketua Seksi Olahraga. Berat, pikir saya waktu itu. Sebab bagian olahraga ini sering menjadi momok karena kerap mendapat kritik langsung dari Pak Yai. Saya sendiri pernah dimaki habis di hadapan ratusan santri saat memimpin senam dengan santri.

"Bukan begitu cara senam yang benar! Bisa apa tidaaak?" gemprong Pak Yai waktu itu, dan masih saya ingat sampai hari ini.

Tak lama setelah itu, kami pun langsung sowan ke kantor Pak Yai.
Beliau lalu memberi arahan pada kami. Pak Yai langsung berdiri dan mempraktekkan beberapa gerakan senam yang kemudian dinamakan Pak Yai sendiri dengan ‘Senam Ala Assalam. Ketika Pak Yai mempraktekkan gerakannya, kami mencatatnya. Maka jadilah ‘Senam Ala Assalam’ yang sekarang telah terbukukan. Dan senam tersebut masih terus diamalkan oleh santri-santri setiap pagi hingga hari ini.

Ide Pak Yai memang selalu hebat, akurat, dan bermanfaat. Adapun manfaat yang saya ambil untuk pribadi saya sendiri lewat organisasi OSPA adalah, saya bisa lebih dekat dengan Pak Yai. Saya lebih punya banyak waktu belajar berorganisasi dengan beliau. Lewat organisasi ini, mental saya ditempa dan terbentuk. Dan akhirnya, saya salut dengan sosok Pak Yai yang paham betul soal seluk-beluk cara berorganisasi yang benar.

Menjadi Ustadz Sekaligus ‘Paranormal’

Saya masih ingat benar pesan Pak Yai sebelum saya melaksanakan Amaliyah (praktek mengajar).

"Walaupun kamu orang dekat dari pondok, belum tentu kamu bisa lulus amaliyah dan menjadi ustadz. Jangan lupa potong rambut dulu karena besok kamu amaliyah pelajaran Imla" demikian pesan Pak Yai pada saya yang waktu itu memang rambut saya hampir mirip dengan Ariel NOAH.

Kenapa harus tampil rapi, karena memang pelajaran Imla’ adalah pelajaran yang tujuannya akan membentuk karakter peserta didik menjadi pribadi yang saklek dan disiplin.

Sebelum memulai amaliyah saya sudah belajar dari Marzuki, teman yang sebelumnya melakukan amaliyah. Saya hanya melakukan beberapa kesalahan kecil. Alhamdulillah, proses amaliyah hingga darsun naqdi yang dipimpin langsung oleh Pak Yai semua berjalan lancar. Alhasil, jadilah saya ustadz Assalam sampai seperti sekarang.

Awal menjadi dewan Asatidz saya langsung dipasrahi tugas menjadi kepala keamanan pondok oleh Pak Yai. Padahal sebenarnya saya tidak punya pengalaman apapun dalam bidang ini. Bisa dikatakan nol potol. Tapi saya selalu sowan pada Pak Yai setiap kali ada kasus yang perlu diselesaikan.

Kasus besar pertama yang pernah saya tangani adalah kasus pencurian yang terjadi di kamar Sighor. Ada beberapa santri yang melapor kepada kami sering kehilangan uang. Tak ada satu anak pun yang bisa dicurigai sebagai pelaku.

Saya punya ide untuk mengumpulkan seluruh anggota kamar Shigor. Saya siapkan sebotol air yang sudah dicampuri garam. Dengan nada sedikit mengancam saya bilang pada seluruh santri:

"Masing-masing santri harus minum air ini. Kalau setelah minum air ini dan tetap tidak mengakui kesalahannya, maka yang bersangkutan akan terkena penyakit gagal-gatal, cacat, dan lumpuh total," ucap saya yang tiba-tiba menjadi sok paranormal.

Selain itu ceramah-ceramah pelurus moral saya lontarkan. Siksa neraka, dosa dan azab, semua saya sampaikan. Kemudian setelah satu per satu sudah minum air, saya suruh mereka memejamkan mata.

"Ayo, sekarang mengaku saja! Kalian sudah minum air. Ingat, jika kalian tidak mengakui maka habislah diri kalian" suara saya lantang tapi dalam hati agak cengegesan.

Lampu saya matikan. Malam yang gelap itu hanya dipendari cahaya lilin, suasana menjadi horor. Ada tiga anak yang kemudian angkat tangan, dan itu dia pelakunya.

Pagi harinya saya sowan Pak Yai dan melaporkan kesuksesan debut saya dalam menangani kasus besar. Saran dari Pak Yai, agar pelaku digundul saja. Tetapi ketika saya hendak melakukan itu, anak ini sudah tidak ada di pondok alias kabur.

Saya cari hingga akhirnya tertangkap di rumahnya. Saya ajak anak itu matur Pak Yai. Akhirnya, hanya ada dua opsi untuk anak itu dari Pak Yai. Pertama, gundul dan tetap berada di pondok. Kedua, jika tidak mau digundul harus pulang selama-lamanya. Pak Yai tak pernah takut kehilangan santri karena semboyan beliau adalah ‘Mati satu tumbuh seribu, keluar satu masuk seribu.’

Hingga tahu ke-7 pengabdian saya di Assalam, saya masih terus matur pada Pak Yai untuk melaporkan segala apa saja menyangkut kedisiplinan dan keamanan pondok.

Selama menjalani tugas Kepala Dewan Keamanan Pusat hingga sekarang, dukanya sangat banyak dan sukanya tentu saja ada. Hingga ada yang pernah mengancam ingin membunuh saya, mencaci saya di media sosial, dan lain sebagainya.

Pesan Terakhir Pak Yai


Setahun belakangan sebelum Pak Yai wafat, saya dan beberapa Ustadz dan Ustdzah lainnya hampir setiap malam di-SMS Pak Yai,

'Ayo keliling'
'Pukul 22:00, keliling '
'Sudah keliling?'
'Gerbang tolong digembok'

Itulah beberapa bunyi SMS yang sering kami terima. Pernah juga Pak Yai kirim pesan tengah malam dan kami tak sempat membalas hingga Pak Yai telepon.

Pernah suatu ketika saya pergi ke Surabaya, tiba-tiba Pak Yai kirim SMS:

'Puput di mana?’
'Cepat kembali ke pondok, jaga pondok. Jaga dalem Abah,'

Pernah ada rasa bosan yang saya rasakan dengan kehidupan di Assalam. Suatu kali saya pernah merasa suntuk di pondok dan Pak Yai tiba-tiba berkirim pesan khusus kepada saya:

"NIATMU UNTUK TAAT ABAH KUAT-KUATKAN"

Ini adalah pesan terakhir dari Pak Yai untuk saya. Tak ada pesan lagi setelah itu sampai Pak Yai wafat. InsyaAllah wasiat itu akan selalu saya amalkan.

0 Comments