Pamitan Abah Moehaimin Taman




Ditulis oleh: Charies Soetikno

Sekitar bulan Agustus 2011, pasca lulus kuliah dan tinggal menunggu wisuda, saya berunding panjang lebar dengan bapak saya (Soetikno); saya ingin mengakhiri masa pengabdian di Assalam. Sebenarnya berat buat saya mengambil keputusan ini setelah 4 tahun lebih dua bulan mengabdikan diri mengajar di KMI Assalam, pada akhirnya harus pamit dan pergi.

Saat lebaran Idul Fitri kira-kira H+6, saya memberanikan diri ditemani bapak sowan pada Abah untuk minta pamit.

Bermaksud ingin menemui Abah di kantor, tapi kami kepanggih beliau tepat di depan kelas samping kiri gapura utama Assalam I. Di situ, kami sedikit ngobrol dengan Abah lalu beliau mengajak kami masuk ke dalam kelas.

Ketika bertatap muka dengan Abah, bapak saya langsung menangis sambil mengecup tangan beliau. Dengan suara terbata-bata bapak memamitkan saya. "Yi, kulo mamitke anak kulo Kharis, bade merdamel teng Jakarta."

Saya hanya diam, tertunduk. Degggg... jantungku berdegup sementara itu, menunggu jawaban dari Abah.

"Abah belum bisa kasih jawaban. Abah mau ke Punggur (Assalam II) dulu," hanya itu dawuh Abah. Mungkin memang sudah menjadi karakter Abah harus menunggu ilham terlebih dahulu sebelum mengambil sebuah keputusan, pikirku.

Abah berangkat ke Punggur, saya dan bapak pun balik ke rumah dengan perasaan dipenuhi tanda tanya. Hari pertama pamit belum ada jawaban dari Abah alias gagal.

Selang sehari kemudian, saya memberanikan diri lagi menemui Abah. Kali ini Abah kebetulan sedang berada di kamar santri samping ruang makan ustadz, kamar Palestina yang biasa dipakai menerima tamu saat lebaran.

"Bah, melanjutkan yang kemarin, saya minta restu mau pamit ke Jakarta," saya mengawali.

"Assalam itu kekurangan guru yang tarbawi dalam mengajar. Sedangkan santri Assalam angkatan Kharis itu adalah santri-santri yang sudah tergembleng dengan manteb. Jadi, Abah belum bisa memberikan jawaban."

Rasa bangga dan kecewa bercampur aduk kala mendengar ucapan Abah seperti itu. Abah sepertinya sangat percaya dengan kualitas angkatan saya tapi di sisi lain, rencana saya berangkat ke Jakarta terancam gagal.

Setelah pamitan yang kedua belum mendapat jawaban pasti dari Abah, malam harinya saya tidak bisa tidur. Yang saya lakukan cuma ngopa-ngopi nang nduwur gendèng kamar ustadz koyok wong bento.

Dalam kesendirian itu, hati saya terus bergejolak dan mbatin, "sesok aku kudu wes kukut, mboh diizini opo ora."

Hari berikutnya, untuk kesekian kalinya, saya kembali menemui Abah di kantor. Tanpa banyak basa-basi saya bicara to the point soal maksud dan tujuan saya.

"Afwan, Bah, dengan terpaksa saya harus tetap pamit," begitu kata saya tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau.

"Karena Kharis izinnya terpaksa, Abah pun mengizinkan dengan terpaksa. Hati-hati di luar sana," jawab Abah.

Saya langsung mengecup tangan Abah setelah itu. Sambil menunduk di hadapan beliau, air mata saya mengalir. Sungguh, saya tak bisa mengungkapkan perasaan, semua rasa bercampur aduk. Hanya air mata yang bisa mewakili semua yang saya rasakan.

Ya, hati saya senang tapi juga sedih. Hati ini sedih tapi juga senang. Senang, karena Abah sudah meridhoi saya untuk mengakhiri masa pengabdian di KMI Assalam selama empat tahun. Sedih, karena Abah mengizinkan saya dengan terpaksa. Dan pastinya, setelah ini semua, saya akan jauh dari kehidupan semula; mengawali hidup dan menghadapi tantangan baru di Jakarta.

Tapi 'alaa kulli hal, saya yakin semua akan dimudahkan. Inilah awal di mana saya harus selalu berpikir panjang untuk menentukan langkah hidup saya selanjutnya pasca pamit dari Assalam.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengucapkan sugeng tindak, Abah. Sungguh jasamu sangat berarti, tanpa pernah mengharap imbalan apapun. Niatmu tulus mencerdaskan kami. Semoga Abah bahagia di alam sana. Semoga Allah mengampuni segala khilaf dan dosa Abah. Semoga Allah mencatat Abah sebagai penghuni surga-Nya. Amin!

0 Comments