Menjadi Pintar dan Cantik ala Abah Moehaimin Tamam

KH Moehaimin Tamam


Ditulis Oleh: Afifah Efendi


Santri rajin biasanya mencatat semua pesan yang disampaikan Abah Moehaimin Tamam. Tapi saya bukan santri seperti itu. Buku catatan saya, buku gemblengan istilahnya, sudah raib entah ke mana. Namun ada beberapa pesan Abah yang terus melekat meski tidak saya tulis. Dahulu saya tak begitu mengerti, tapi justru sangat bermanfaat ketika sudah lulus dari pesantren dan hidup di tengah masyarakat .

Saya sangat beruntung karena di masa puber tumbuh di lingkungan yang baik dengan nasihat terbaik dari beliau. Salah satu nasihat dari beliau adalah agar gemar membaca, baca apa saja yang ada. Kami diminta pura–pura cinta membaca meski sebenarnya tidak suka baca. Dengan begitu, nanti kita akan jadi terbiasa membaca. Kata Abah, cara seperti itu pasti 100 persen manjur. Seperti halnya pria pemain ludruk yang awalnya hanya pura–pura menjadi wanita— dia berpakaian seperti wanita, bernyanyi, menirukan suara wanita— lama-kelamaan dia akan jadi ‘wanita’ beneran.

“Mereka itu awalnya hanya pura–pura, Nak. Tapi akhirnya dadi tenanan,” ujar beliau.

Abah juga menanamkan dalam jiwa santri agar selalu sibuk melakukan hal–hal yang bermanfaat karena kosong itu merusak. Tidak boleh ada waktu sedikit pun yang terbuang. Bahkan ketika istirahat pun, kita tidak boleh nganggur; karena istirahat yang sejati, kata beliau, adalah ganti dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Benar-benar tidak boleh kosong. Saya yakin jika semua santri mengamalkan gemblengan ini, lulusan Assalam kelak tak akan ada yang jadi pengangguran. Sebab, pengangguran itu bukan mental yang ditanamkan Abah di pondok.

Abah bukan hanya sosok inspiratif bagi kami namun beliau juga role model untuk menjadi pribadi yang baik. Beliau itu sangat detail dalam berbagai urusan bahkan pada hal yang sering kita anggap remeh-temeh. Bagaimana cara berjalan, duduk, minum, dan hal-hal lain seperti penampilan semuanya menjadi perhatian beliau. Ketika saya masih nyantri, Abah sudah sepuh tapi beliau lah yang paling bersih dan menawan; beliau yang paling wangi, jalannya paling tegak, padahal umur beliau sudah lebih dari setengah abad. Dan senyumnya, tentu saja, paling manis di antara kami. Barangkali ini cuma sekedar pendapat pribadi, tapi begitulah adanya.

Dulu di pesantren, olahraga senam dengan musik sempat jadi kegiatan rutin. Tapi abah melihat bahwa banyak santri yang kurang sungguh–sungguh, tidak bikin berkeringat yang ada hanya joget ria. Akhirnya Abah turun tangan langsung.

Pada suatu pagi, beliau hadir di tengah kami lengkap dengan baju senam, tak pakai peci plus membawa senyum beliau yang manis. Kami para santri deg-degan kira-kira apa yang akan beliau lakukan dan katakan. Lantas beliau bilang akan mengganti rutinitas senam musik dengan gerakan sederhana meliputi gerakan kaki, tangan, pinggang, kepala, leher dan sebagainya. Sekarang saya masih sedikit mengingat urutan gerakannya. Senam singkat itu diakhiri dengan olah pernapasan; menarik napas lewat hidung sebanyak-banyaknya kemudian mengeluarkan lewat mulut. Kata Abah, cara seperti itu akan membersihkan kotoran dalam paru–paru.

Selanjutnya kami diajak lari pagi alias jogging. Kenapa olahraga ini yang dipilih Abah, karena lari adalah olahraga yang murah meriah tanpa modal; efektif membakar kalori dan membuat kita berkeringat untuk mengeluarkan racun dalam tubuh.

” Lari, Nak, biar semangat dan tidak ngantuk di kelas ” Abah sedikit menyindir pada santri yang memang ngantukan.

Tentang cara makan, santri harus mengunyah pelan-pelan sebanyak 32 kali sampai lembut. Begitu pesan beliau bak seorang dokter. Santri harus siap makan seadanya di pesantren. Kalau terong sedang murah di pasar, bisa jadi menu sarapan kami setiap hari, masakan terong dan dua krupuk kecil warna-warni.

Ada yang masih ingat? Dimakan dalam keadaan masih panas sambil tergesa-gesa karena bel masuk sekolah akan segera berbunyi.

Abah selalu membesarkan hati kami dengan mengatakan bahwa makanan yang ada di pondok adalah yang paling enak dan barakah. “Lihat saja santri-santrinya Abah, gemuk-gemuk toh,” sambil menunjuk sembarang santri yang kebetulan bertubuh gendut.

“Nak, makanan enak itu bukan karena harga tapi syaratnya adalah; pertama, badan sehat. Kedua, perut lapar. Bim salabim, jadi lezat,” mantra beliau yang kemudian memang mengubah setiap menu makanan kami jadi ladzid, enak.

Bagaimana tidak ladzid, lha wong perut ini memang sering kelaparan dan adanya makanan cuma itu, gumam saya pada suatu ketika. Tapi Abah memang benar, akhirnya kami terdidik makan seadanya, tidak pilih-pilih dan tetap bersyukur atas segala nikmat. Semua itu berkat nasihat sederhana dari beliau. Dan buktinya sampai sekarang, saya jarang sakit.

Lalu minumlah yang banyak agar ginjal selalu sehat, agar tidak seperti Abah yang ginjalnya tinggal satu. Jangan minum saat kamu sedang berdiri.

“La tasyrab wa anta qaiman!”diucapkan Abah fasih dengan bahasa Arab. Ini adalah tuntunan minum yang benar ala Rasulullah.

Nasihat selanjutnya, jangan membungkuk saat berjalan atau menekuk tulang belakang ketika duduk. Itulah rahasia Abah mengapa hingga tua masih tetap tegap bak tentara.

Perhatikanlah kebersihan! Santri Assalam harus bersih lingkungan, pakaian, dan badan sendiri. Abah mengajari kami bagaimana cara mandi yang baik. Guyurlah tubuh dengan air pelan-pelan. Jangan cuma diusap–usap tapi harus digosok hingga bersih.

Agar santri semangat mengerjakan pesan ini, beliau pernah mengajari sebuah 'lagu mandi' seperti yang beliau nyanyikan ketika beliau aktif di pramuka. Sedikit liriknya masih saya ingat, ‘bum cik cik bum cik cik, bum cik cik bum’. Lanjutannya saya lupa. Semua santri bernyanyi riang gembira menirukan. Besoknya, para jadi lama kalau di dalam kamar mandi, mungkin mereka sedang belajar praktik gemblengan Abah.

Untuk santriwati yang ingin tampil cantik—santriwan kalau mau ikut mempraktikkan sebagian juga boleh, ding—muka harus dirawat dengan benar. Kulit muka dengan kulit badan itu beda. Beliau menghimbau agar muka punya sabun sendiri dan untuk badan pakai sabun sendiri. Kemudian kalau memakai bedak, harus dari bawah ke atas. Teori ini, ungkap beliau, hasil baca dari kemasan kapas kecantikan yang menerangkan bahwa mengusap muka dari bawah ke atas akan meminimalisir tanda-tanda penuaan atau kerutan dan mengencangkan kulit muka.

“Abah tahu karena suka membaca, kalian yang perempuan malah tidak tahu ” sindir beliau disela-sela gemblengan waktu itu. Subhanallah, cinta membaca seperti Abah itu memang banyak manfaatnya, ya!

Abah juga berpesan agar menggunakan bahan alami untuk merawat muka, seperti bedak dingin yang terbuat dari beras yang sudah direndam air dan dihaluskan jadi bubuk . Sebelum tidur, bisa kita pakai sebagai krim malam agar santriwati Abah awet muda. Sedemikian detail itu beliau perhatian dengan kami. Itulah beberapa nasihat beliau yang saya rangkum jadi tips ganteng dan cantik ala abah Moehaimin Taman.

O, ya, masih ada nasihat beliau yang tak kalah penting. Abah bilang, agar kelak jika sudah hidup di masyarakat, jangan menghormati orang karena hartanya. Kenyataan ini sungguh sering saya temui di tengah masyarakat. Banyak orang yang mengagungkan orang karena kekayaan tapi meremehkan yang sebenarnya lebih pantas dimuliakan yakni orang yang berilmu. Hormatilah manusia karena ilmunya, akhlak, kesepuhannya, dan kebijaksanaannya. Itulah salah satu prinsip hidup yang ditanamkan Abah kepada santrinya sebagai bekal hidup bermasyarakat.

Jika suatu saat kita jadi pemimpin atau apa saja yang posisinya atasan, Abah berpesan agar jangan sampai kita yang mengurus keuangan. Masalah keuangan harus ditangani orang lain dan kita hanya perlu mengawasi karena uang benar-benar membuat kehilangan fokus.

Dulu, Abah adalah pengusaha. Awalnya Abah ingin kaya dulu baru mendirikan pesantren. Tapi ternyata, Abah justru bisa membangun pesantren di saat sudah bangkrut dan tidak punya uang.

“Orang hidup harus membangun. Jika hidup tapi tidak berkembang, dia sama seperti orang mati” pesan Abah.

Membangun artinya setiap santri harus melakukan sesuatu, berkarya apa saja yang memiliki nilai manfaat untuk orang lain. Tidak masalah jika cobaan datang bertubi–tubi. Sebab, kata Abah, hidup tanpa ujian itu seperti hidup di tengah taman bunga. Walaupun indah, tapi jika terus begitu-begitu saja, maka akan datang masa kebosanan.

Terakhir yang ingin saya sampaikan dari nasihat beliau adalah, bahwa kita tak perlu bingung menjalani hidup. Jika datang keadaan di mana kita tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa, jangan pernah takut. ‘Sal dhomiraka!’ —bertanyalah pada hati nuranimu. Nurani selalu berkata jujur. Dengan begitu maka kita akan terhindar dari hal-hal yang tidak baik di dunia.

“Hidup sekali, hiduplah yang berarti,” Abah Moehaimin Tamam.

0 Comments