Pantai Lenggoksono dan Semua Dongeng di Dalamnya

Sekiranya saya ingin menuliskan kisah perjalanan saya bersama teman-teman hari ini, Sabtu (10/10). Tanggal yang sakral, bukan? 

Setelah sekian lama tidak bermain dengan alam, akhirnya kesempatan itu datang pada hari yang sakral itu. Tulisan terakhir saya yang mengisahkan tentang perjalanan ke pantai pada 2012 silam: Soal Pulau Sempu.

Kawan tahu sendiri, sejak entah mulai kapan—bahkan diri saya sendiri tak bisa mengingatnya—terlalu sibuk dengan urusan duniawi. Sibuk mencarikan makan cacing di perut dan segala kerepotan di kampus; menyelesaikan skripsi, tepatnya. 

Alhamdulillah, sekarang semua sudah beres. Bolehlah dikatakan perjalanan ini untuk merayakan dan melepaskan semua kepenatan yang ada di kepala selama masa-masa sulit itu. Hal-hal yang bikin badan kurus tak karuan. 

Halah!

Baiklah, untuk menyingkat cerita ini menjadi pendek, ketika saya mau melakukan perjalanan ke pantai, saya tak lupa minta izin pada orang tua, tetangga, dan seluruh handai tolan.

Seperti yang saya bilang, ini penting. Sama pentingnya mengenalkan perempuan yang akan saya nikahi. Duh, opo ae seh! Oleh karenanya saya harus pamitan. 

Ayo berangkat! Seperti yang direncanakan, kita...o, iya, hampir lupa, perjalanan ini diselenggarakan oleh teman-teman kantor. Sesuai rencana yang telah dibuat, kita akan berangkat pukul 6 tepat. Tepat artinya boleh terlambat asal tidak lebih dari 5 jam. Itu keterlaluan. 

Lha kok dlalah ada teman saya, Yuda, yang rencananya mau ikut, sudah bayar, telat 1 jam 15 menit. Dihubungi secara berkesinambungan tak ada balasan, maka ditinggal.

Apapun itu kasusnya, satu peristiwa maka akan melahirkan peristiwa baru, demikian menurut Max Weber. Maaf, masih terbawah bayang-bayang skripsi. Tapi dalam kasus perjalanan menuju pantai Lenggoksono ini, ternyata teori itu juga berlaku.

Lantas peristiwa apa yang terjadi? 

Dengan hilangnya satu peserta, maka setiap dari kami yang melanjutkan berangkat harus menambah urunan. Sewa mobil Elf seharga 900 ribu yang awalnya akan ditanggung 10 orang sekarang mesti dibayar oleh 9. 

Jadi sekarang setiap peserta—saya, Aga, Cakra, Ari, Heri, Mamat, Dimas, Rero, Putri, harus membayar 175 ribu. Lebih dong? Itu nanti akan digunakan sewa perahu untuk melawan Tsunami. Tsunami? Nanti saya kisahkan.

Maka berangkatlah...

Pantai Lenggoksono, secara administratif terletak di bawah kekuasaan Pak RT Lenggoksono, di atasnya ada Pak Lurah Purwodadi, selanjutnya di bawah kekuasaan Pak Camat Tirtoyudo, dan Pak Bupati Malang, Abah Anton. Untuk nama perangkat desa hingga kecamatan tak bisa saya sebutkan karena memang tidak kenal.

Dari tempat saya menulis ini, di Tidar Villa Estate, Karangwidoro, Dau Malang... Lenggoksono dan sekitarnya sejauh 72 km; bisa ditempuh 2 jam 11 menit. 

Malang-Sukun-Gadang-Turen-Dampit pun harus terlewati. Perjalanan menggunakan Elf berkapasitas 12 orang, namun hanya ditumpangi 9 penumpang, maka terasa longgar. Saya sambil mendengar lagu-lagu Coldplay selama perjalanan.

Setelah melewati Dampit, nama-nama tempat atau desa sudah tidak akrab dengan ingatan. Yang saya tahu sejak itu jalan mulai naik turun, turun naik, naik lagi, turun lagi, naik turun, turun naik sampai saya tak bisa membedakan kapan naik dan kapan turun karena jatuh tidur.

Sesekali bangun ketika mobil digoyang jalan yang berlubang. Masih naik turun, saya tidur lagi. Digoyang, bangun lagi. Dan mata saya baru benar-benar terbuka ketika sudah tampak ada tanda-tanda pantai. Masih jauh di sana. Tapi sudah terlihat anunya. 


pantai lenggoksono malang
Pantai Lenggoksono tampak dari jauh
Mendekati pantai saya bisa pastikan jalan turun curam. Mungkin Anda tak akan percaya jika saya mengatakan kemiringannya hingga 90 derajat. Benar jangan percaya!

Tapi pastikan rem Anda kuat menahan roda. Pastikan pegangan perempuan yang Anda bonceng juga kuat; sekuat dalam menjalani kesabaran dan menapaki kesetiaan. Sebab, dua hal inilah yang terpenting dalam membangun cinta. Apalagi jika Anda ingin membawanya menjadi keluarga bahagia. 

Jika Anda seorang lelaki yang tak memiliki wajah rupawan, bukan pria yang memiliki banyak modal untuk memikat perempuan, dua hal tersebut—sabar dan cinta—adalah azimatnya. Sungguh saya mendapat pelajaran yang sangat bijaksana ini dari seorang filosof cinta di pinggir pantai Lenggoksono. Dengan alasan itu saya harus menginterupsi tulisan yang ingin menceritakan perjalanan ke pantai ini. 

Sudah, balik cerita ke pantai lagi. Cinta itu gombal!

Bagaimana Anda menyebutnya demikian, kurang ajar! Cinta itu kesetiaan. 

Cok!

Oke. Oke. Oke.

Setelah membayar 5 ribu untuk setiap kepala, petugas di depan gerbang pantai baru memberi izin masuk. 5000 x 10 (plus sopir) = Rp. 40 ribu. Tak masuk logika, tapi itu kenyataannya. 

Sebelum benar-benar menginjak pantai, kami harus lebih dulu menginjak tanah kuburan. Ini sungguhan, saya tidak bohong. 

Sebagai orang yang sering merenung, saya mendapatkan pelajaran penting bagi diri saya sendiri pada kunjungan saya ke pantai kali ini. Tapi tak bolah saya bagikan di tulisan ini. Jika Anda berkunjung ke sini, tentu Anda juga bisa minta pelajaran sendiri. Mungkin hasilnya beda. 

Setelah melewati kuburan, barulah deburan ombak menyambut. Menurut saya suara ombak itu selalu terdengar syahdu.

Inilah ombak pantai Lenggoksono:
Pantai Lenggoksono malang
Pantai Lenggosono, Malang
Pantai Lenggoksono ini punya bukit-bukit yang mengelilingi, di sisi kanan dan di kiri, dan di depan sana. Artinya pantai ini memberikan perpaduan antara nuansa pegunungan dan kelautan. Macam nama kementerian Pak Jokowi  saja.. Ha Ha. Udara di sini tidak terlalu menyengat panas meskipun pada tengah hari ketika matahari tepat di atas kepala. Pada waktu itu saya dan rombongan sampai di pantai ini. 

Lenggoksono bukan tujuan terakhir. Rugi jika Anda ke sini tapi tapi cuma sampai di sini. Kami akan menuju sebuah tempat yang katanya seperti negeri dalam dongeng. Tapi untuk menuju ke sana kami harus menaklukkan ‘Tsunami’ lebih dulu.

Selanjutnya baca di sini: Pantai Anjlok, Sebuah Negeri Dongeng

0 Comments