Surat dari Presiden

Kisah sebelumnya, Celana Dalam Nabila JKT 69

Pagi-pagi sekali pagar pintu rumah saya ada yang membuka. Engsel pagar mengerit sedemikian keras di pagi buta. Tak biasanya ada orang datang sepagi ini. Saya yang sedang membaca wirid pagi setelah salat subuh langsung bangkit, membuka gorden jendela, mengintip dari balik jendela kaca. 

Di depan rumah, terdapat mobil hitam sedang parkir. Seseorang yang wajahnya masih tersamarkan sisa-sisa malam sedang melangkahkan kaki menuju pintu rumah saya. Semakin mendekat, semakin tampak wajahnya. Orang yang tak saya kenal akan bertamu ke rumah saya

Seragam yang dipakai mulai dari atas sampai bawah berwarna serba hitam. Dengan perasaan agak diselimuti rasa was-was, saya memutar kunci, menarik gagang pintu, dan membuka pintu. Sekarang orang yang tak saya kenal itu berdiri tegak tepat di depan saya. Tubuhnya tegak tinggi. Untuk melihat wajahnya saja saya harus mendongakkan wajah. 

“Selama pagi, apakah benar ini tempat tinggal Mas Haris Suhud?” suaranya tegas dan jelas. Ia mengulurkan tangan mengajak salaman. 

“Benar, benar,”satu kata harus saya ulang dua kali karena ucapan pertama tersendat oleh cairan kotor di tenggorokan. 

Orang yang tidak saya kanal itu lantas menyunggingkan senyum, yang kemudian membuat saya cukup tenang. Senyuman yang saya rasakan tulus dan menandakan kedatangannya yang tak biasa ini bukan untuk bermaksud jahat. 

“Silakan masuk,” suruh saya. 
“Tidak perlu, Mas. Nama saya Dullah, saya utusan dari bapak presiden untuk mengantar surat ini pada anda. Saya harus segera kembali ke Jakarta setelah memastikan surat ini tersampaikan.” 

Surat dari presiden, untuk saya? Bingung dan kaget sedang saya rasakan. Saya kira orang ini sedang bercanda. Atau, jangan-jangan ini modus penipuan. Hati-hati! 

Setelah menerima surat itu, saya melirik plakat nama yang menempel di atas saku bajunya. Di sana terdapat nama persis seperti yang diucapkan ketika mengenalkan dirinya pada saya. Di sana juga terdapat gambar burung garuda. 

Saya masih tak percaya. Sementara itu, cepat-cepat ia minta pamit undur diri. 

Saya masih terbengong-bengong ketika melihat mobil plat merah dengan embel-embel RI itu melaju meninggalkan jalan depan rumah. Ini membuat saya semakin tak percaya lagi.


Cerita selanjutnya, Isi Surat

0 Comments